Obral Ide
Menyadari Luhurnya Kekuasaan Politik
Monday, November 4, 2019
0
Dokumen foto dari facebook Efendy Baptista Marut |
Quote Amor - Hari ini, berbicara perihal kekuasaan tidak pernah terpisahkan dari politik. Pun sebaliknya. Politik tidak bisa tidak terkait pada kekuasaan. Dalam politik, kekuasaan biasanya selalu dikejar, baik yang sifatnya lokal maupun yang kompleks dan mungkin bersifat multinasional. Orang awam di bidang politik barangkali bertanya-tanya; untuk apa orang-orang (baca: politisi) mengejar kekuasaan? Untuk dirinya ataukah untuk orang lain? Apa yang ‘sexi’ dari politik, sehingga begitu banyak orang meminatinya, lantas diperbincangkan setiap saat?
Yang Luhur dari Politik
Citra politik hari ini buruk. Bahkan kerap kali orang beranggapan kalau politik itu memang kotor. Berpolitik berarti berikhtiar dengan kotor, bergelut dengan dusta, bertingkah dengan kasar dan berjuang dengan korup. Politik adalah wilayah yang penuh intrik, dendam dan dengki. Mereka yang terlibat di dalamnya adalah orang yang bergelimang dosa dan salah. Anggapan seperti ini tentu bukan tanpa dasar.
Hal ini secara terang benderang nampak dari wajah politik tanah air yang koruptif. Kita mafhum, bahwa beragam hal yang terkait dengan politik kekuasaan tanah air tidak bisa tidak terkait dengan korupsi, salah satu problem besar Indonesia. Rantai korupsi di Indonesia sampai saat ini belum dapat ditemukan ujungnya. Pemberitaan media akan memperlihatkan dengan jelas beragam fakta korupsi tersebut. Dari coraknya, tampak bahwa persoalan korupsi itu selalu terkait dengan politik dan kekuasaan.
Politik (dan) kekuasaan punya nilai pada dirinya. Demikian pula orang-orang yang terlibat di dalamnya tentu punya orientasi, baik yang luhur maupun yang sebaliknya. Secara tersamar dan terang-benderang, cara hidup yang diperlihatkan oleh orang-orang yang berpolitik dan yang memunyai kekuasaan lantas menutup mata kita untuk melihat sisi yang luhur dan mulia dari politik. Akan tetapi, kita mesti ingat bahwa berpolitik dan berkekuasaan juga merupakan tugas panggilan yang sah dari diri kita sebagai makhluk personal dan insan sosial. Kesadaran ini sesungguhnya mulia, namun acap kali diabaikan, lantas disalahgunakan sekadar untuk memenuhi hasrat pribadi dan kelompok tertentu.
Jika demikian, kita patut bertanya; apakah pada akhirnya kekuasaan politik hanya berujung pada penyalahgunaan dan penistaan terhadap keluhurannya? Kita mungkin berhak bertanya perihal model kekuasaan macam apa yang muncul di benak para politisi dan penguasa. Apakah pernah terpikirkan urusan pelayanan terhadap masyarakat, paling tidak sebelum mereka memutuskan turut serta dalam kontestasi menuju kekuasaan. Saya toh percaya bahwa kebanyakan dari mereka yang terjerembab dalam kubangan korupsi pernah memikirkan pelayanan terhadap masyarakat. Sangat mungkin pula mereka mau terjun ke dunia politik karena mengetahui dengan baik kesulitan yang dialami masyarakat, lantas dengan demikian mendedikasikan diri untuk membantu melalui jalur politik.
Bagaimanapun, politik adalah jalan termudah untuk membuat perubahan karena ia berurusan langsung dengan tatanan kekuasaan dan persoalan rakyat. Kekuasaan dapat memaksakan perubahan melalui program dan kebijakan; kekuasaan dapat memaksakan terciptanya kebaikan. Kekuasaan menyediakan kekuatan untuk memuluskan niat-niat luhur kemaslahatan umum. Bagi kita pun demikian. Keterlibatan kita dalam wilayah politik publik adalah sebuah konsekuensi logis dari kenyataan dasariah bahwa kita tidak hidup sendirian dan bahwa kita dipanggil untuk mengupayakan kesejahteraan bersama.
Jika demikian, di mana pembelokan orientasi mulai terjadi? Mengapa banyak politisi banyak terjerembab dalam praktik korupsi? Bagaimana persisnya seorang dapat mengubah prinsip bonum commune menjadi bonum personale? Barangkali terdapat banyak faktor penentu dalam dinamika kekuasaan, namun saya kira keseluruhannya akan merujuk pada akar yang sama. Kesadaran akan kuatnya kekuasaan tidak dibarengi oleh kesadaran akan keluhurannya. Keluhuran kekuasaan terlalu mudah tersamarkan oleh keinginan-keinginan yang tidak pada tempatnya. Hasrat untuk berkuasa (the will to power) yang demikian mendominasi kesadaran tampaknya menjadi bencana besar, yang kerap dilupakan oleh sebagian besar elit dan para politisi. Seiring dengan ketamakan itu, akal sehat pun dinafikkan, lantas irasionalitas tidak mendapat tempat di ruang publik. Para politisi mengabaikan kesadaran rasionalnya, lalu dihasutnyalah rakyat dengan narasi-narasi emosional dan minim nilai. Bukankah nilai luhur dari politik kekuasaan akan dengna mudah terejawantah tatkala pemimpinnya berakhlak?
Perlu selalu disadari bahwa Bonum Commune adalah tujuan luhur dari kekuasaan politis. Dalam Gereja Katolik, dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes art. 26 mengetengahkan kesejahteraan bersama itu sebagai “…..keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri.” Jadi, apa yang dicita-citakan dari sebuah kekuasaan politis itu luhur dan mulia adanya karena berorientasi pada kesejahteraan semua orang. Menyelamatkan semua orang adalah panggilan luhur dan merupakan hakikat keberimanan yang paling fundamental. Kesadaran ini akan selalu menjadi ‘alarm’ tatkala hasrat untuk menyalahgunakan kekuasaan menguasai diri.
Yang Luhur dari Kekuasaan
Pada sekitar tahun 33 Masehi, dalam sebuah pengadilan politik, Pontius Pilatus melontarkan pertanyaan kepada Yesus; “Quid est veritas? apa itu kebenaran?” Pontius Pilatus adalah seorang pejabat Romawi yang mengemban tugas dari kekaisaran Romawi untuk menjadi gubernur atau wali negeri atas Yudea. Ia dikenal sebagai seorang penguasa yang korup pada masa kekuasaannya di Yudea. Pilatus disebut sebagai seorang pemimpin yang tidak berani bertanggungjawab, memilih cuci tangan saat menghadapi persoalan demi tetap langgengnya kekuasaan yang digenggamnya. Kepada Yesus, ia menanyakan perihal kebenaran. Suatu pertanyaan penting yang hingga kini masih relevan dan bahkan menjadi tantangan bagi siapa pun. Ketika seorang penguasa mempertanyakan apa itu kebenaran, bukankah padanya masih ada nilai luhur kemanusiaan yang inheren pada dirinya baik sebagai insan maupun sebagai penguasa? Meski bukan kekuasaan yang dipertanyakannya, melainkan kebenaran yang memang menjadi pencarian setiap manusia.
Perihal kekuasaan itu, Victor Frankl (1905-1907), profesor dalam bidang neurologi dan psikiatri di The University of Vienna Medical School, berpendapat bahwa kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sekadar sarana atau alat. Kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri hanya melahirkan paradigma kekuasaan atas manusia lain (dan rakyat), bahkan termasuk menghalalkan kekerasan, pemaksaan, pelecehan, air mata, dan darah-persis praksis kekuasaan di negeri ini. Nilai kekuasaan sejatinya adalah untuk mencapai nilai kemanusiaan.
Oleh karena itu, segala macam kenyamanan, kesejahteraan, keistimewaan, dan lain sebagainya hanyalah konsekuensi logis dari pemenuhan akan makna. Sementara kekuasaan sekadar sarana untuk menemukan makna tersebut. Jadi, manusia yang telah mencapai kemanusiaannya tak akan menggunakan kekuasaannya untuk menyengsarakan orang lain, khususnya rakyat. Mereka menggunakan kekuasaan untuk menguasai diri sendiri agar keinginan menemukan makna hidup terpenuhi.
Kekuasaan itu, meminjam Daniel Dhakidae (2015), “begitu nyata, sekaligus juga misterius.” Dimensi kekuasaan mengaitkannya dengan kebijakan dan tanggung jawab sosial. Ia berurusan dengan publik. Pendek kata, kekuasaan harus memberikan kemaslahatan bagi semua. Akan tetapi, apakah kekuasaan itu menyejahterakan rakyat atau tidak, sangat bergantung pada niat (intensi). Niat merupakan akar kekuasaan. Niat baik tidak dapat dibuktikan hanya dari kata-kata,tetapi dari hasil kerja nyata.
Di hadapan kita terpampang realitas perihal ciri-corak orang memperebutkan kekuasaan. Kita mengamini bahwa memang kekuasaan itu memabukkan; membuat orang tergila-gila. Karena memberikan kenikmatan dan tak jarang membuat lupa diri. Akibatnya, ketika saatnya harus melepas kekuasaan, tak jarang orang masih berusaha mempertahankannya. Ketika sudah tidak berkuasa, tetap belagu seperti masih memegang kekuasaan karena kenikmatan dan keistimewaannya itu.
Kekuasaan itu memang tremendum (menggetarkan) dan fascinosum (memesona). Yang banyak terjadi, di mana-mana, termasuk di negeri ini, adalah kekuasaan itu memabukkan. Banyak orang rela mabuk, lupa diri, demi mendapat kue bernama kekuasaan itu.
Dalam Catatan Pinggir Tempo 2 Oktober 1976, Goenawan Mohamad menulis perihal kekuasaan: “….Kekuasaan, atau kedudukan, dengan begitu hampir mendekati sejenis kesaktian. Tak mengherankan bila hilangnya kekuasaan, sebagaimana datangnya, tak dirasakan sebagai kekalahan atau kemenangan yang wajar terjadi pada setiap pertandingan…
Kekuasaan, selain luhur namun juga sakti dan kerap membuat orang mesti hati-hati menjaganya. Yang luhur darinya adalah tujuannya untuk menciptakan bagi banyak orang suatu kebaikan, kesejahteraan umum. Dan karena itu, bagi orang kristiani, makna kekuasaan politik adalah menjadi “garam dan terang bagi dunia dan sesama” (Mat. 5:13-16). Dan kita perlu memanggul tugas tersebut dengan penuh gairah dan rasa syukur.
Efendy Marut OFM
Tinggal di Kramat 67 Jakarta.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment