filsafat
Humaniora
Lifestyle
Cara Menjaga dan Merawat Relasi Dengan Yang Lain
Saturday, November 30, 2019
0
Relasi dengan yang lain bisa terjaga dan terawat melalui gambaran relasi sepasang kekasih |
Oleh Albertus Dino
Quote Amor - Bagaimana Anda membangun relasi dengan orang lain. Apakah Anda berelasi dengan orang lain hanya terbatas pada kepentingan saja atau betul-betul memahami bahwa relasi itu adalah bagian dari hidup yang harus dilakukan sebagai makhluk sosial, tanpa mempertimbangkan balasan yang harus diterima dari orang tersebut.
Ada banyak contoh yang bisa diambil, misalnya dalam dunia kerja, orang membangun relasi dengan rekan kerjanya karena dia ingin mendapatkan sesuatu dari orang tersebut tetapi kalau hubungan itu tidak lagi menguntungkan dirinya maka orang tersebut mengakhiri relasi tersebut. Relasi seperti ini bersifat semu, tidak akan bertahan lama. Lalu bagaimana seharusnya berelasi supaya relasi itu bisa bertahan dan melekat sehingga relasi itu menjadi sebuah tanggung jawab untuk peduli, memberikan diri kepada yang lain.
Relasi yang menempatkan yang lain dengan setara
Dalam tulisan lain, Quote Amor sudah mengulas pandangan Martin Buber mengenai relasi manusia. Menurutnya, relasi manusia itu bersifat dialogis atau setara. Relasi antar manusia itu harus bersifat setara, artinya manusia sebagai pribadi yang unik harus memperlakukan yang lain sebagai pribadi yang unik juga, menempatkan yang lain sebagai pribadi yang mempunyai kerinduan yang sama untuk dihargai.
Maka di sini tidak ada peluang untuk mengobjekkan yang lain, memandang yang lain sebagai bawahan atau bersikap sebagai tuan atas dirinya. Dengan kata lain kalau kita ingin dihargai maka kita juga harus menghargai yang lain. Apakah relasi manusia itu hanya sampai di situ saja?
Nampaknya bentuk relasi Martin Buber ini bisa membawa orang pada relasi semu, yaitu relasi karena kepentingan. Karena itu, Quote Amor memberikan satu pandangan lagi, dari seorang filsuf yang juga mempunyai perhatian yang sama, perhatian pada relasi antar manusia, yakni tentang kenapa kita harus berelasi dengan yang lain?
Kehadiran yang lain mengundangku untuk bertanggung jawab
Pertanyaan kenapa kita harus berelasi dengan yang lain, dapat dijawab dengan menggunakan pandangan Emanuel Levinas. Filsuf ini sama juga dengan Martin Buber yang mengkritik pandangan filsafat modern yang sangat menekankan egosentrisme, memandang diri manusia sebagi pusat segala sesuatu, manusia sebagai tuan dan pembuat sejarah.
Levinas mengatakan bahwa konsep egologia filsafat modern sebagaimana terdapat dalam konsep Descartes, “saya berpikir maka saya ada.” Konsep ini melahirkan suatu tindakan yang melihat diri sendiri sebagai pusat segala sesuatu dan memandang yang lain sebagai korban yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Orang lain hanya dipandang sebagai yang sama seperti benda dan tidak punya keunikan masing-masing yang harus dihargai.
Baca juga:
- Menemukan Makna Hidup dalam penderitaan
- Sains dan Petunjuk adanya Tuhan
- Tindakan Yesus setelah memberi makan5000 orang
Bertolak dari kritik tersebut, Levinas merumuskan pandangannya tentang yang lain sebagai yang paling utama dan kebenaran fundamental. Menurutnya, ada dua pandangan fundamental dalam relasi dengan yang lain.
Pertama, penegasan orang lain sebagai yang lain. Pandangn ini membawa manusia kepada pengalaman religius. Karena kehadiran langsung dari orang lain sebagai yang lain tidak ditentukan dan tidak dapat ditotalisasi oleh penalaran saya, artinya kehadiran dan keseluruhan diri yang lain tidak dapat dipahami secara penuh oleh penalaran saya. Yang lain mempunyai sisi misteri, yang tidak dapat ditelusuri oleh manusia lain. kehadiran yang lain membawa jejak-jejak dari yang Tak-Berhingga (Allah).
Dengan demikian, melalui tatapan wajah dengan yang lain, seseorang dibawa kepada tatapan Yang Maha Tinggi (Allah). Saya sebagai pribadi dapat memahami sedikit tentang Yang Ilahi (Allah), yang tersembunyi dan penuh misteri. Dengan kata lain, ketersingkapan Allah dapat dipahami melalui kehadiran manusia lain, meskipun Yang Ilahi (Allah) itu masih misteri.
Kedua, pengakuan “yang lain” tidak hanya terbatas pada tingkat hubungan intim dan privasi tetapi harus menjadi tuntutan etis dan objektif. Artinya kita menghargai dan bertanggung jawab kepada yang lain bukan karena kita mempunyai hubungan pribadi, misalnya karena orang tersebut adalah keluarga saya, atau teman saya yang banyak mengorbankan dirinya untuk saya, atau anak, istri dan suami saya, melainkan sikap dan tindakan tanggung jawab kita harus melampaui semuanya itu.
kehadiran “yang lain menjadi tanggung jawab etis yang harus kita lakukan kepada orang tersebut. Pengakuan tersebut tidak terlepas dari perjumpaan konkrit dengan orang lain, misalnya perjumpaan dengan orang miskin, para janda, orang lapar, dan orang terpinggirkan.
Mereka semua menghendaki dirinya diperlakukan sebagai orang lain, yang unik dan serta pantas dihargai. Kehadiran orang lain, wajah yang lain yang tampak di hadapan kita akan terus menuntut kita untuk bertanggung jawab. Tuntutan wajah yang lain itu merupakan haknya yang harus kita jawab dengan tanggung jawab dan peduli kepadanya.
Dengan demikian, menurut Levinas, relasi antar manusia yang sesungguhnya adalah relasi yang menempatkan yang lain sebagai yang istimewa dari aku dan memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban etis saya. Itulah yang disebut oleh Levinas sebagai relasi asimetris, dimana dalam relasi, orang lain ditempatkan sebagai orang istimewa yang harus dihargai dan diutamakan dalam seluruh tindakan baik kita.
Relasi Kasih Yesus
Relasi yang ditawarkan oleh Levinas, sebenarnya sudah dilakukan oleh Yesus kepada umat manusia. Dia rela mengorbankan diri-Nya, mati di kayu salib untuk menembus dosa manusia. Yesus menempatkan umat manusia sebagai yang istimewa di hadapan Bapa-Nya. Dia memberikan diri untuk membawa manusia pada keselamatan.
Memang bentuk relasi ini sangat radikal dan sulit dilakukan oleh manusia biasa tetapi Yesus telah menunjukkan kepada kita kesempurnaan relasi yang harus dimiliki setiap manusia. Kita harus berjuang dan berusaha agar kita bisa melakukan bentuk relasi yang diteladankan Yesus Kristus kepada kita. Kalau kita masing-masing mampu melakukan relasi seperti itu maka kehidupan kita akan menjadi indah dan pasti kejahatan tidak akan pernah terjadi.
Mari kita mencoba dan terus mencoba, seperti yang dikatakan St. Fransiskus Asisi, “Marilah kita mulai lagi karena kita belum berbuat apa-apa.”
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment