Ads Right Header

Hosting Unlimited Indonesia
Cloud Hosting Indonesia

Mengapa Yesus Mengalami Kematian sedangkan Maria Luput dari Maut?

Susan Cipriano
Dokumen dari pixabay.com - foto Susan Cipriano
Quote Amor - Peristiwa kematian merupakan fenomena yang tak terelahkan dalam hidup ini. Seorang filsuf termasyur seperti Socrates  menyatakan bahwa semua yang terlahir atau semua yang hidup pasti akan mati. Olehnya dikatakan bahwa berfilsafat sebenarnya adalah juga seni melatih diri untuk mati. Kematian dan kehidupan bak sekeping mata uang logam yang tak terpisahkan. Yesus Kristus yang adalah Tuhan pun tidak luput dari nasib yang paling pasti dalam hidup manusia itu. Akan tetapi, ada pribadi yang tidak mengenal kematian atau nasib kubur. Pribadi itu adalah Maria ibu Yesus. Sehingga tradisi dan doktrin Gereja menyatakan bahwa Maria diangkat ke Surga dengan jiwa dan raganya (Pius XII; 1950).

Ada banyak pertanyaan, perkara dan soal di belakang dogma tersebut. Tidak sedikit kaum cendekiawan atau akademisi, orang beriman maupun ateis yang skeptis (meragukan) hingga menyangkal dengan tegas kebalnya Maria dari kematian. Gereja tentunya tetap berpegang pada tradisi seperti apa yang dikatakan oleh Timotius dari Yerusalem (thn. 400) bahwa Maria tidak pernah mengalami kematian.

Pengakuan-pengakuan ini tentu menghadirkan sejumlah pertanyaan kritis: bagaimana mungkin seorang manusia tidak mengalami kematian, sedangkan Yesus yang adalah Tuhan mengalaminya? Apa yang memungkinkan Maria tidak mengalami kematian? Apa dasar teologis biblis yang menjadi pijakan bagi credo “kebangkitan badan” dalam hubungannya dengan Maria?

Dalam pandangan teologis-biblis, kematian adalah upah dari dosa (Rm. 6:23), dan dosa jugalah yang memimpin manusia kepada kematian (Rm. 6:16). Teks Kejadian 3:19 menyatakan oleh karena manusia berdosa maka ia akan kembali menjadi debu, mengalami kematian, dan terurai kembali menjadi tanah. Oleh rasul Paulus, manusia yang menerima dosa, sejatinya ia telah mati secara rohani sekalipun hidup secara fisik (lih., Ef. 2:1). Menurut Prof. Nico Sykur Dister, arti mati bukan hanya mati tubuh atau fisik melainkan ada juga yang disebut dengan kematian rohani, yakni terpisahnya manusia dengan Allah yang secara konkret dinyatakan dalam kematian fisik, yakni kembali menjadi debu oleh karena kematian.

Ini berarti bahwa Yesus Kristus yang tidak berdosa pun harus memperoleh maut dan gelapnya kubur, oleh karena dosa semesta; “Kristus telah menebus kita dari kutuk (dosa)…dengan jalan menjadi kutuk (dosa) karena kita” (Gal 3:13). Dia mengalami kematian karena ketika disalib, Yesus menerima dosa manusia. Singkatnya, Kristus mengalami kematian karena Ia dalam kesucian-Nya terkena dosa. Meski mengalami kematian, raga-badan-Nya tidak hancur menjadi debu, melainkan dalam kebangkitan, raga-badan itu dimuliakan sehingga Ia memperoleh “Tubuh Mulia” yang tidak akan pernah mati lagi (bdk.,1 Kor. 15:40. 44).

Lalu mengapa Maria luput dari maut? Jawaban sederhana yang dapat diberikan adalah karena ia tidak berdosa, menurut Santo Agustinus, uskup Hippo. Ia disucikan oleh Allah, dikandung tanpa dosa, dan terlepas dari kecenderungan jahat (concupiscentia), sehingga ia benar-benar murni untuk menerima dan mengandung Kristus dalam dirinya. Sebagaimana Tabernakel merupakan tempat suci maka Maria yang adalah “Tabernakel Hidup” adalah suci untuk selamanya.

Berkat rahmat kesucian itu, Maria dimampukan oleh Allah untuk tidak mengalami kematian. Bila yang berdosa harus kembali menjadi debu-kematian maka itu tidak berlaku pada Maria yang suci. Jika perempuan yang terkena kutuk dosa mengalami sakit bersalin sewaktu melahirkan (Kej. 3:16), maka ibu Tuhan terluput dari penderitaan itu. Logikanya adalah tidak ada satupun bukti teks Kitab Suci yang menunjukkan penderitaan Maria sewaktu melahirkan Yesus. Ini menandakan isi hukuman di Eden (lih., Kej. 3:16.19) bahwa semua yang berdosa kembali menjadi debu dan perempuan akan menerima sakit bersalin tidak berlaku pada Maria.

Menurut Injil, Maria telah menderita bersama Kristus mulai dari nubuat Simeon (Luk. 2:35) sampai pada bagaimana ia menyaksikan penderitaan Putra dalam peristiwa salib (Yoh. 19:25). Rasul Paulus menyatakan, sebagaimana Kristus menerima “Tubuh Mulia” melalui kematian dan kebangkitan-Nya (1 Kor. 15:40) maka semua orang yang menderita bersama Dia memperoleh kemulian serupa (Rm. 18:7). Itu berarti, Maria secara istimewa menerima karunia “kebangkitan badan” (menerima tubuh mulia) dalam kebangkitan Tuhan, sebab ia telah tersalib bersama Yesus anaknya. Sebagai suatu refleksi, sesungguhnya tidak ada penderitaan yang seperih penderitaan Maria sebab jiwanya sebagi seorang ibu turut tersalib bersama Anaknya yang terkasih; kelak “suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” (Luk. 2:35).

Jadi, oleh karena dosa Yesus mengalami kematian, tetapi melalui kematian-Nya, Ia memperoleh kebangkitan (jiwa-badan) dan naik ke Surga; tubuh dosa telah hilang kuasanya (Rm 6:6), maut kehilangan sengatnya (1 Kor. 15:55). Sedangkan Maria terhindar dari kematian oleh karena anugerah kesucian yang datang dari Allah, dan pada saat gilirannya, ia menerima tubuh mulia oleh karena telah menderita bersama Putranya, dan ia pun diangkat ke Surga.


Oleh : Fr. Antonio Viali Tawa, OSA
Previous article
Next article

Leave Comments

Post a Comment

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel