Obral Ide
Kebebasan dan Aktualisasi diri Dalam Konteks Kehidupan Masyarakat di Papua
Wednesday, December 11, 2019
0
Salah satu tarian tanah Papua; Tari Suku Papua (foto dari www.pixabay.com) |
Quote Amor - Tidak dapat dipungkiri bahwa semua manusia mengharapkan adanya kebebasan, entah kebebasan itu bersifat politik, ekonomi, sosial, agama ataupun lain sebagainya. Tentu kebebasan yang diharapkan itu tidak didasarkan pada intervensi dari pihak mana pun melainkan dengan kehendak bebas dan suka rela. Kebebasan yang diharapkan itu juga merupakan unsur hakiki yang berkaitan dengan martabat manusia yang tidak terpisahkan dengan eksistensi manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, kebebasan dapat diartikan sebagai kenyataan dimana manusia sungguh merasa dirinya bebas sebagai seorang manusia. Hal ini dapat juga mengandaikan bahwa manusia dan batinnya sungguh merasa bebas berekspresi, bebas berkehendak, tidak terikat oleh suatu hal dan mampu menentukan keputusan secara leluasa.
Kendati demikian perlu disadari bahwa kebebasan yang merupakan unsur hakiki martabat manusia tidak sertamerta terlepas dari tuntutan moral dalam seluruh aspek kehidupan manusia karena kebebasan itu memiliki keterkaitan dengan norma-norma ‘moral’ yang berlaku. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap kebebasan yang dihayati oleh manusia hendaknya tidak dilepaskan dari norma-norma moral itu. Norma-norma moral yang berlaku itu bukannya membatasi kebebasan melainkan menjadikannya lebih bebas dalam arti yang mendalam.
Baca juga :
- Agama dan Perubahan Sosial di Tanah Papua
- Cukuplah Engkau Menderita Ibuku
- Tak Merasa Bagian dari NKRI: Sebuah Refleksi akan Keadilan
Dengan melihat kebebasan yang tidak terpisahkan dengan norma-norma moral yang berlaku maka kebebasan tidak dapat diartikan sebagai suatu sikap sewenang-wenang. Kebebasan juga tidak dapat diartikan dengan unsur perasaan seperti merasa bebas. Kebebasan juga tidak dapat diartikan sebagai sebuah kenyamanan fisik, dan bertindak sekehendaknya, karena yang mendasar dari kebebasan itu ialah bertindak secara sukarela tanpa ada intervensi dari pihak manapun yang didasarkan pada norma-norma yang berlaku umum. Jika hal demikian dapat berlaku maka kebebasan tersebut dapat dikatakan sebagai kebebasan yang benar. Kebebasan juga selalu dilihat untuk memaknai seluruh kebaikan sebagai bagian dari dirinya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Fenomena kebebasan (tidak sama dengan berbuat semaunya)
Melihat fenomena yang terus terjadi di Papua yang marak dengan kekerasan dan pelanggaran HAM dapat mengindikasikan bahwa orang cenderung mendefenisikan tindakan kebebasannya tanpa ada kaitannya dengan norma-norma moral yang berlaku. Suasana perasaan seperti merasa bebas, berbuat semaunya, menikmati kehidupan secara bebas, bertindak berdasarkan kehendaknya sering dipandang sebagai suatu bentuk kebebasan mutlak.
Padahal paham dan praktek kebebasan demikian tidak dapat dipandang sebagai bentuk kebebasan melainkan penyelewengan dari paham kebebasan yang sebenarnya. Dalam tatanan otonomi kebebasan individu, kebebasan merupakan hak asasi dari setiap manusia sehingga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan. Kebebasan yang bersifat otonom memiliki arti tersediri terhadapat setiap individu. Namun kebebasan itu sering disalah gunakan oleh kebanyakan orang maka ada istilah kebebasan yang sesewenang-wenang (arbitrariness).
Kebebasan ini dimengerti sebagai tindakan bebas sesuka hati. Orang atau organisasi ataupun juga instansi yang disebut bebas dalam kaitannya dengan paham kebebasan ini, “bila mereka dapat berbuat sesuatu sesuka hati mereka tanpa mempertimbangkannya”. Paham kebebasan yang sewenang-wenang ini, mengartikan kata bebas sebagai terlepas dari kewajiban dan keterikatan. Secara sederhana dan lebih familiar dalam kehidupan sehari hari dikenal dengan istilah berbuat semaunya.
Selain itu, adapun paham kebebasan yang menyangkut seluruh eksistensi manusia dan dipandang memiliki nilai yang tinggi dan mendasar yang oleh Bertens adalah paham kebebasan eksistensial. Paham tersebut dipandang memiliki nilai yang tinggi dan mendasar karena telah mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas dan kematangan rohani. Orang yang memiliki kebebasan eksistensial dapat memiliki dirinya sendiri dalam membangun kehidupannya.
Orang yang memiliki kebebasan ini juga memiliki kesadaran penuh. Orang-orang seperti itu jika, berbuat baik bukan karena alasan tertentu tetapi karena hatinya melekat pada kebaikan. Ia berbuat baik karena hal itu baik bukan karena alasan-alasan yang letaknya diluar kebaikan. Orang-orang seperti itu dirinya sudah diresapi dengan sesuatu yang baik sehingga berbuat baik menjadi second nature (“kodrat Kedua”) untuk dia.
Dalam hal ini kebaikan terus melahirkan kebaikan. Selain itu, dalam konteks kebebasan eksistensial orang yang mencapai taraf otonomi adalah orang yang dapat memahami tentang dirinya sendiri. Orang semacam itu mampu merealisasikan dirinya secara mandiri. Ia juga mampu merealisasikan dirinya secara kreatif. Ia akan hidup secara bebas dan memiliki komitmen yang kuat dalam menata dan membangun kehidupannya.
Bersandar pada ciri ini sebenarnya ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh manusia di Papua dalam kehidupan ini untuk merealisasikan dirinya. Tentu jika mereka memiliki sikap otonom, mereka tidak menjadi budak perkembangan dunia ini dengan berbagai isu yang menghancurkan dirinya. Mereka akan mampu menguasai diri dalam setiap perkembangan yang ada demi suatu kontribusi yang lebih baik ke depan. Adapun dalam konteks ini ciri orang yang dengan bebas mengekspresikan diri dalam kehidupnnya adalah orang yang dewasa.
Kebebasan dan tanggung jawab
Orang yang dewasa secara moral selalu berkaitan dengan bagaimana ia mencetuskan ide-ide kreatifnya dalam membangun kehidupannya. Ia memiliki pemikiran yang mendalam terkait bidang kehidupan tertentu dan dengan kreatif merealisasikannya dalam kehidupannya. Tentu orang yang mandiri dan dewasa dapat dipercayai oleh siapapun. Ia dipercaya karena memiliki pandangan hidup yang baik dan mendalam serta mampu memberikan nilai-nilai baru yang berguna dalam membangun kehidupan manusia.
Selain itu, dalam konteks kebebasan ini pula orang akan dipandang memiliki kematangan rohani. Orang yang mencapai kematangan rohani adalah orang yang mewujudkan kebebasan hidupnya dengan hal-hal yang baik. Ia berbuat baik karena keterlibatan hatinya yang menghendaki berbuat demikian. Ia berbuat baik karena justru sesuatu itu baik. Ia berbuat baik karena seluruh hidupnya diresapi oleh kebaikan. Ia memandang bahwa berbuat baik sudah menjadi kodrat kedua untuk dia. Oleh karena itu, kebebasan yang dilakukannya selalu dipandang sebagai suatu syarat untuk mempertangungjawabkan tindakan yang dilakukannya.
Dalam hal ini setiap pertanggngjawaban terhadap sesuatu hal yang didahului oleh penyebab dapat mempertangungjawabkan yang disebabkan olehnya itu dengan bebas. Sehingga kebebasan itu menjadi syarat mutlak untuk dapat bertanggungjawab. Memang ada banyak kensekuensi yang mesti dipertangungjawabkan baik yang ringan maupun yang berat, namun seberapa besar konsekuensi yang harus dipertangugngjawabkan, kebebasan selalu menjadi dasar yang menopang tangungjawab itu.
Berkaitan dengan itu diperlukan adanya pemikiran ulang dari semua pihak ataupun elemen-elemen dalam masyarakat terhadap tindakan kebebasan yang sering melahirkan kekerasan dan pelanggaran HAM, seperti sering kali terjadi di tanah Papua. Karena pada dasarnya kebebasan yang menjadi hak dasar dari setiap manusia sebagai anugerah dari Tuhan mestinya mengarahkan manusia pada pengembangan diri yang lebih baik ke depannya.
Selain itu, sebenarnya kebebasan yang menjadi hak dasar setiap manusia ini dapat diarahkan untuk membangun kehidupan manusia baik secara pribadi, kelompok, maupun sosial. Dalam hal ini seseorang yang dinyatakan bebas sudah tentunya berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, dalam konteks paham kebebasan ini sudah semestinya dicari dan diperjungankan oleh setiap manusia khususnya di di tanah Papua, untuk membuat dirinya berguna, baik pada dirinya sendiri, maupun bagi orang lain.
Berkaitan dengan itu pula kebebasan ini membuat manusia semakin memperoleh apa yang didambakan tanpa merugikan orang lain ataupun kelomok lain. Pada tataran inilah kebebasan yang secara moral mendapat tempat di dalam kehidupan bermasyarakat dan tentunya kebebasan itu mengarahkan kita kepada kebaikan dan menjadikan kodrat kedua untuk kita.
Dalam hal ini istilah yang diungkapkan oleh K. Bertens ini “scond Nature” menjadi acuan untuk menjadikan kebebasan kita bermakna pada kebaikan dan menjadikan kebebasan kita untuk terus berbuat baik sehingga kebebasan dan kebaikan menjadi kodrat kedua dalam kehidupan masyarakat di tanah Papua.
Oleh Theodorus Tepa
Mahasiswa Pascasarjana
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment