Lain-lain
Obral Ide
Quote Amor - Dalam
bahasa Latin dan bahasa-bahasa
yang diturunkannya dipakai kata consencintia
untuk mendefenisikan hati nurani. Kata ini berasal dari kata kerja sciere (mengetahui) dan awalan con-(bersama
dengan, turut). Dengan demikian consciencia
sebenarnya berarti “turut mengetahui”. Perkataan ini masih tampak dalam
bahasa inggris : consciousness yang
berarti kesadaran dan conscience yang
berarti hati nurani. Dalam bahasa Prancis, dipakai kata yang sama, conscience yang berarti baik kesadaran
maupun hati nurani (K. Bertens, Etika).
Haruskah Penderitaan Mengabaikan Hati Nurani?
Thursday, November 21, 2019
0
Dokumen Pribadi Sdr. Berto OFM |
Hati
nurani berarti penghayatan akan sesuatu yang baik dan benar dan bahkan
kesadaran akan yang baik dan benar. Antara kesadaran dan hati nurani memiliki
kaitan yang erat. Kesadaraan akan yang baik dan buruk, benar dan tidak benar,
adil dan tidak adil, kejujuran dan kebohongan, dll. Hati nurani dapat dikenali
melalui suara hati. Suara hati akan menyuarakan putusan yang baik dan benar
atau memberi pertimbangan yang buruk pula. Suara hati berkaitan dengan pilihan konkret
yang akan dilaksanakan.
Hati
nurani, hemat saya mesti dibahas bila ingin memahami tindakan manusia karena tindakan
manusia tidak pernah lepas dari pertimbangan hati nurani. Dengan demikian,
bertindak seturut hati nurani berarti selalu bertindak baik dan benar. Lalu mengapa
manusia dapat bertindak buruk?
Pada
dasarnya, orang menolak untuk memfitnah yang lain bukan karena ia takut
ketahuan, melainkan karena memfitnah itu jahat. Kesadaraan akan memfitnah itu
jahat adalah hati nurani yang disuarakan oleh suara hati. Tindakan kebaikan ini
selalu berasal dari hati nurani. Karena hati nurani selalu murni kesadaraan akan
memilih yang baik dan benar.
Hati Nurani membutuhkan Penalaran
Hati
nurani selalu berkaitan erat dengan rasio sebagai pengetahuan. Untuk memastikan
apa yang baik maka kita memerlukan nalar, tetapi bahwa apa yang baik itu harus dipilih secara
intuitif, dan dalam pengetahuan itu termuat juga bahwa keharusan itu bersifat
mutlak, tak bersyarat sama sekali. Kesadaran akan yang baik dan benar adalah
sikap intuitif karena yang baik dan benar akan selalu dipilih. Meminjam istilah
K. Bertens bahwa sikap intuitif itu berlangsung bagaikan tembakan: langsung,
satu kali tembak, dan berarti bukan tidak mungkin langsung memilih yang benar.
Namun
untuk mengetahui yang benar dan baik selalu ada penalaran. Penalaran itu
merupakan sikap intuitif untuk selalu memilih yang benar. Pada keadaan seperti
itu K. Bertens menilai hati nurani sebagai norma moral yang subyektif. Demikian tulisnya : “
Tapi terdapat suatu yang kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani
secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian.
Alasannya, karena hati nurani, memberi satu pilihan, artinya, suatu putusan
(judgement). Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau itu buruk dan
tidak boleh dilakukan” Maka tepat bahwa hati nurani itu
selalu disertai dengan penalaran. Penalaran itu memikirkan ini yang baik dan
benar atau ini
yang buruk. Selanjutnya hati nurani
memberikan keputusan bahwa ini yang baik dan kamu harus memilih ini.
Baca juga :
- Menjadi Suci, Mungkinkah?
- Radikalisme Agama mulai bertumbuh di Tanah Papua
- Kontradiksi Kekayaan Alam Papua dan Kehidupan Masyarakatnya
Selanjutnya
Bertens membedakan antara dua jenis rasio yaitu rasio teoritis dan rasio
praktis. Rasio praktis memberi jawaban atas pertanyaan apa yang harus
dilakukan? Rasio teoritis bersifat konkret. Putusan hati nurani mengkonkterkan
pengetahuan etis kita yang umum. Pengetahuan etis kita (prinsip-prinsip moral
yang kita pegang dan nilai-nilai yang kita akui). Hati nurani seolah-olah
merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita (berdasarkan
prinsip-prinsip yang kita pegang; ditambahkan oleh penulis) dengan perilaku
konkret.
Rasio
praktis berhubungan dengan tindakan konkret tentang apa yang akan dan harus dilakukan.
Rasio praktis mengkaitkan suatu keadaan atau kejadian yang oleh karena kejadian
itu manusia mesti bertindak. Namun untuk memilih apa yang harus dilakukan, hati
nurani membantu untuk menyatakan pengetahuan etis kita (tergantung sudut
pandang kita) tentang yang baik dan benar. Hati nurani menjembatani pengetahuan
etis kita tentang yang baik dan buruk dan tindakan konkret kita. Rasio teoritis
itu akan memilih apa yang ada di hati nurani. Mencuri dalam pengetahuan etis
seseorang adalah tindakan buruk.
Misalnya
seseorang tengah berada di dalam sebuah kelas bersama teman-teman kelasnya. Ia
melihat sebuah dompet di dalam tas seorang temannya. Seperti yang dikatakan
tadi bahwa dalam pengetahuan etisnya bahwa mencuri itu buruk, maka ia akan
berusaha untuk tidak mencuri. Pengetahuan etisnya merupakan sebuah penalaran
teoritis yang menjembataninya dengan tindakan konkret yakni tidak mencuri.
Itulah rasio praktis yang menjembatani hati nurani dengan pengetahuan etis kita.
Rasio
teoritis memberi jawaban atas pertanyaan: apa yang dapat saya ketahui? Atau
bagaimana pengetahuan saya dapat diperluas? Dengan demikian rasio dalam arti
ini merupakan sumber pengetahuan, juga ilmu pengetahuan. Menjadi jelas bahwa
rasio yang dimaksudkan yang berhubungan dengan hati nurani adalah rasio praktis
yang menghubungkan pengetahuan etis kita dengan tindakan konkret kita.
Hati Nurani sebagai Norma Moral
Seperti
yang diuraikan sebelumnya bahwa Bertens menyebut hati nurani sebagai norma moral
yang subyektif, bahwa pengetahuan etis kita tentang baik dan buruk menjadi
sebuah norma moral. Pengetahuan etis itu adalah kaidah-kaidah yang mengatur
kita untuk bertindak. Bahwa hati nurani menjadi kaidah bagi kita untuk
bertindak. Norma itu (pengetahuan etis kita) bersifat sangat subyektif karena
norma moral itu bersifat dari sudut pandang ‘aku’ sendiri. Norma moral itu bersifat ke-aku-an sesuai sudut
pandang kita tentang yang baik dan buruk, atau yang benar atau salah. Hati
nurani dibentuk atau disusun seturut pengetahuan etis dan itu menjadi kaidah
yang mengatur kita untuk bertindak dan berperilaku bahkan membatasi tindakan
kita.
Namun kadangkala hati nurani kita dapat
diabaikan. Hati nurani telah pupus tarikan kebaikannya. Hati nurani sebagai kaidah
yang mengatur hidup bisa saja meruntuh, misalnya karena rasa sakit atau ketika mengalami
penderitaan. Dalam kondisi tersebut, hati nurani sering kali mengalami
dilematis antara mengikuti kaidah yang mengatur hidup atau menghindari
penderitaan. Viktor
Frankl
mengatakan manusia pada hakikatnya adalah homo
patient, mahkluk yang dapat menderita di
mana
manusia adalah suatu yang pasif.
Manusia
sebagai homo patient ini
tidak dipahami sebagai sebuah model deskriptif tentang keadaan manusia, melainkan lebih
dimengerti sebagai kerangka khusus keutamaan, yakni manusia harus dapat
menderita secara tepat. Manusia yang dapat menderita itu dalam konteks pengertian
di atas dikerjakan
oleh sesuatu yang menyusahkan (KBBI) dan dikerjakan oleh painfull dan unhappiness
(Oxford Dictonary). Namun,
pada dasarnya penderitaan adalah sebuah keadaan yang sulit didefenisikan,
seperti ketika mendefinisikan kebahagiaan. Kesulitan tersebut disebabkan karena
penderitaan memang merupakan perasaan yang bersifat subyektif.
Dalam
kaitannya dengan penderitaan,
kita dapat mengatakan bahwa malum adalah
sesuatu yang menyebabkan orang merasa menderita atau yang menyebabkan
penderitaan. Malum itu adalah
keburukan dan lawan dari kebaikan bonus. Manusia
menderita karena adanya malus atau
keburukan yang menimpa manusia. Paul Budi Kleden dalam bukunya “Membongkar Derita,”
mengatakan bahwa Agustinus dalam sejarah filsafat membedakan malum dalam tiga bentuk. Pertama, Malum Physicum sebagai keburukan alamiah
yang terletak pada kenyataan negatif yang ditimpakan alam kepada manusia, misalnya bencana alam, penyakit,
kecacatan dan lain-lainnya. Kedua, Malum
Morale sebagai keburukan moral yang ditimpakan manusia atas manusia seperti
perang, ketidakadilan, kekerasan, penindasan, dan lain-lain. Dan ketiga, Malum Metaphysicum sebagai keburukan
metafisik, yang melampaui penjelasan fisis dan moral; keburukan yang melampui
akar ontologis, yakni terletak pada kenyataan struktur dasar keterbatasan
manusia dan dunia serta pada ketakkekalan manusia; bahwa manusia itu fana, bisa
mati. Sebab ketiga malum ini
mempunyai kaitan yang erat.
Kehadiran
penderitaan bisa saja melahirkan tindakan-tindakan atau perasaan-perasaan baru,
misalnya kecemasan, rasa rendah diri, pikiran untuk bunuh diri, obsesi, dan
rasa panik. Semua afeksi destruktif ini (penderitaan yang mengerjakan rasio:
ditambahkan oleh penulis) dapat meremukan manusia bila tidak ada sarana
perlindungan di dalam jiwanya. Menjadi jelas bahwa perasaan destruktif atau
penderitaan atas rasio diatas dapat menghancurkan manusia. Lalu apa yang dapat
dihancurkan?
Yang
dihancurkan dapat saja kehidupan manusia seutuhnya karena tidak ada sarana perlindungan
diri. Misalnya seorang perempuan ingin
bunuh diri karena telah dicabuli oleh sekelompok orang yang tak dikenal. Peristiwa
tersebut membuat perempuan itu mengalami trauma, perasaan takut, depresi dan
sebagainya. Dalam situasi seperti itu,
dia bisa saja memilih untuk bunuh diri. Lalu dalam situasi seperti itu,
dimanakah hati nurani?
Barangkali
hati
nurani telah diabaikan oleh lebih besarnya rasa sakit akibat penderitaan itu.
Sikap intuitif kita tentang yang baik dan benar telah kehilangan kekuatannya
karena beban psikis. Rasa sakit akan penderitaan lebih kuat dibandingkan tarikan
kebaikan hati nurani. Bahkan pengetahuan etis kita justru dikalahkan oleh
besarnya rasa sakit. Pada dasarnya bunuh diri itu tidak baik dan tidak benar
secara moral. Namun besarnya rasa sakit itu bisa mengabaikan hati nurani.
Tarikan kebaikan hati nurani yang intuitif itu telah kalah oleh kuatnya rasa
sakit. Sehingga apapun caranya, penderitaan itu harus dihentikan atau
dikalahkan. Tidak ada lagi pertimbangan tentang yang baik dan yang buruk, yang ada hanyalah keinginan
mengakhiri penderitaan
entah apapun caranya. Namun ini tidak menjadi alasan bahwa tindakan
fatalistis seperti ini dapat dibenarkan. Penguraian ini bermaksud untuk
menelaah realitas sikap manusia ketika menanggapi penderitaan.
Oleh : Vredigando E. Namsa OFM
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment