filsafat
Obral Ide
Tak Merasa Bagian dari NKRI; Sebuah Refleksi akan Keadilan
Thursday, September 26, 2019
1
Sdr Vredigando E. Namsa, OFM |
Quote Amor - Hak Asasi Manusia (HAM) berbentur pada kekuasaan yang keji. Jeritan dan tangisan kaum pribumi di Papua terus merajalela, ketika sebuah sistem kekerasan dan militerisasi menjadi tolak ukur dalam menyelesaikan persoalan keamanan. Orang Asli Papua (OAP) hidup dalam keadaan seperti ini. Hidup seperti orang buangan di atas tanahnya sendiri. Dimanakah demokrasi yang sejati? Dimanakah rekonsiliasi Negeri ini? Tinggal sebuah pertanyaan yang merongrong setiap anak negeri cendrawasi ini. Mungkin ada benarnya, kita harus bertanya pada rumput yang bergoyang? (kata Ebiet Gade). Perjuangan kemanusiaan terinspirasi oleh pengalaman penindasan yang terjadi di Papua. Bangsanya diperbudak di atas tanahnya sendiri. Banyak Orang Asli Papua (OAP) dihukum oleh keangkuhan penguasa bangsa.
Sejarah mengoreskan penderitaan rakyat Papua sejak 1963 sampai saat ini dengan, sebuah lingkaran kekerasan yang diatasnamakan keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam buku “Moral Sosial Aktual “ yang ditulis oleh Christopher Danes, ia mejelaskan situasi seperti ini sebagai sebuah praktek rasisme yang terstruktur dan terlindungi oleh sistem keamanan pemerintah. Ekspresi kebebasan OAP dilihat sebagai bentuk aktual yang mengancam kesatuan Negara ini. Tidak dapat dipungkiri OAP masih terus berjuang untuk mendapat pengakuan tentang identitas dan haknya sebagai manusia yang utuh.
Theys Aluay dibunuh pada tahun 2001 adalah bentuk mematikan aspirasi Orang Asli Papua (OAP) dengan berbagai tuduhan sabotase, pengkhianatan dan usaha memisahkan diri dari NKRI. Kejadian ini adalah salah satu bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Masih banyak persoalan pelanggaran HAM yang membelunggu dan terus terjadi di atas bumi cenderwasi tercinta ini. Kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, berawal sejak Soekarno (Presiden pertama RI) mendeklarasikan TRIKORA, 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Isi TRIKORA ialah pertama, bubarkan Negara Boneka Irian Barat buatan Belanda. Kedua, mobilisasi massa dan ketiga, kibarkan sang merah putih di Irian Barat (sekarang Papua). Ketika itu, banyak warga sipil Papua di intimidasi dan dibunuh. Sejak Papua masuk ke dalam Negara Kesatuan RI, pemerintah Jakarta mulai menggunakan pendekatan militer dengan melakukan operasi militer di berbagai wilayah Papua. Kurang lebih 100.000 (seratus Ribu) masyarakat Papua dibunuh selama 38 tahun sejak Papua menjadi bagian dari NKRI. Proses penghancuran ini semakin menjadi-jadi terutama ketika rakyat Papua menuntut memisahkan diri dari Indonesia sejak reformasi 1998 dengan jatuhnya Presiden Soeharto. Berbagai aksi damai menuntut merdeka dihadapi dengan kekerasan, seperti Biak berdarah, 6 Juli 1998, Sorong, 5 Juli 1999, Timika, 2 Desember 1999, Merauke, 16 Februari 2000, Wamena, 6 Oktober 2000, Paniai 8 Desember 2014, penembakan di Kampung Onaibo, Deiyai 2017, peristiwa Nduga (Alguru dan Yigi) 2018, penembakan di Wagehte dan Asmat tahun 2019, penembakan mahasiswa pada aksi demo menetang rasisme di Exo Wamena pada 23 September 2019 dan masih banyak bentuk kekerasan yang terjadi.
Orang Asli Papua (OAP) menghidupi semangat kenabian yang mengagumkan bila dilihat dari sejarah penderitaan yang terus terjadi. Di satu sisi ia sendiri berani menerima resiko dari perjuangan menentang ketidakadilan penguasa. Di sisi lain, ia memperjuangkan pengampunan, rekonsiliasi dan dialog tanpa membedakan perbedaan. Orang Asli Papua (OAP) belajar dari sejarah, betapa kebencian dan keangkuhan kekuasaan telah menghancurkan dunia, banyak jiwa Orang Papua dibunuh dengan tidak ada rasa bersalah dari pelaku, Orang asli Papua hidup susah dan semakin terpinggirkan di atas tanahnya sendiri. Ini salah siapa? Sampai saat ini orang Papua belum sungguh-sungguh merasa bahwa mereka adalah bagian dari NKRI.
Hukum, keadilan dan rasa aman terus dicari di Tanah Papua. Hukum dalam bingkai legalitas de jure dan praksis de facto di tengah teka-teki misteri kenyataan publik. Diskursus hukum sebagai obyek formal pengetahuan seringkali berbenturan dengan subyek penafsir di tengah gelombang kekuasaan. Daya kuat orang hukum melindas kebutaan masyarakat akan ranah hukum dalam bingkai Hak Asasi Manusia (HAM) bagi masyarakat Papua. Hukum dilihat sebagai sahabat praksis kuasa, modal dan prestise. Sampai saat ini, orang yang melanggar hukum di Papua masih terus merasakan kebebasan sebagai mana mestinya. Hukum dikambing hitamkan atas nama penindasan dan pelanggaran HAM. Bila dicermati dengan baik, hukum seperti sebuah slogan yang membungkus peradaban kekuasaan di negeri ini. Sampai kapan situasi ini terus menjerat kita? Apakah ini adalah tanda absolut yang harus kita hadapi bersama sebagai suatu bangsa yang juga mendapat kenyamanan hukum dan kebebasan berpendapat?
Mungkin ada benarnya, kita kembali kepada hukum rimba yang pernah ada di atas panggung sandiwara ini. Hukum jalan tanpa norma. Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan dsb. Namun sebagai manusia hal ini tak mungkin lagi terjadi. Kebutuhan akan hukum dan keadilan merupakan penyempurnaan hukum kodrati. Karl Heinze menegaskan arti penting hukum manusia sebagai penyempurnaan hukum kodrati dalam bingkai mencapai suatu keadilan dan rasa aman bagi manusia. Karl Pesche menyebutkan tiga alasan penting yakni; pertama, hukum manusia memperjelas ketidakpastian dan penerapan lebih jauh dari hukum kodrati. Kedua, hukum manusiawi menetapkan norma-norma tingkah laku konkret, terutama manakalah hukum moral kodrati dapat dipenuhi dengan cara berbeda. Ketiga, hukum manusiawi dibutuhkan untuk menjamin perlindungan bagi nilai-nilai yang sangat penting bagi kesejahteraan umum dan rasa keadilan yang nyata. Maka, bila mengacu pada tiga alasan ini, masyarkat Papua membutuhkan hukum yang benar-benar menjamin keadilan demi suatu nilai yang luhur.
Kenyataan hukum kita masih menghadirkan sejuta misteri di atas cita-cita dan idelisme. Masyarakat Papua membutuhkan hukum sebagai koridor pasti agar dapat menggapai rasa aman dan keadilan di atas tanahnya sendiri. Di sisi lain, masyarakat pun membutuhkan rasa keadilan, ketika ketidakadilan dan kekerasan terselubung dilindungi oleh produk hukum yang berlaku. Kisah kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi di Papua mestinya menjadi keprihatinan utama di NKRI, tanpa melihat keprihatinan faktor-faktor yang lain. Hukum mestinya melindungi orang-orang yang lemah dan tak berdaya. Orang Papua membutuhkan hukum yang benar-benar menjamin kebebasan, keadilan dan kenyamanan akan Hak Asasi Manusia yang pada intinya melepaskan segala kepentingan pribadi, golongan maupun atas nama keutuhan suatu bangsa.
Sdr. Vredigando E. Namsa, OFM
Mahasiswa Pasca Sarjana STFT Fajar Timur – Abepura Papua
Previous article
Next article
Nayak waaaaa.
ReplyDelete