Humaniora
Obral Ide
Teologi
Wabah COVID-19 dalam Perspektif Teologi Pengharapan
Sunday, June 7, 2020
0
Frater Fransiskus Batlayeri (foto pribadi) |
Oleh: Fr. Fransiskus Batlayeri
Quote Amor - Wabah Covid-19 merupakan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China. Virus ini menyerang paru-paru manusia. Gejalanya mirip seperti orang yang sakit pneumonia. Hingga saat ini covid-19 telah merebak hampir di seluruh dunia dan menciptakan ketakutan bagi banyak orang. Negara-negara yang paling parah terdampak pandemi ini adalah China, Italia, Amerika, dan termasuk juga Indonesia. Jumlah korban dari pandemi ini terus berjatuhan. Data dunia menunjukkan bahwa manusia yang terpapar akibat wabah ini sudah mencapai 2 juta orang dan akan terus bertambah.
Hal ini kemudian menjadi ancaman yang serius bagi umat manusia. Aktivitas manusia secara global menjadi terhambat. Semua orang dihimbau untuk tinggal di rumah dan bekerja dari rumah. Sekolah-sekolah dan perkantoran dirumahkan. Itu semua sebagai langkah-langkah praktis untuk mencegah penyebaran covid-19 yang semakin mengganas.
Situasi penderitaan dan ketidakpastian akan kapan berakhirnya wabah ini menjadi kesempatan bagi teologi pengharapan untuk memberikan peneguhan bagi orang yang merasa dilemma atau putus asa karena terserang virus ini. Karena fakta menunjukkan bahwa orang yang terserang virus ini cenderung dijauhi oleh yang lain karena takut terinfeksi. Mereka mendapatkan penolakan di mana-mana, bahkan ada rumah sakit yang tidak mau melayani mereka. Keadaan tersebut membuat mental mereka menjadi terpuruk.
Dalam keadaan pandemi Covid-19 ini, ada orang yang menjadi ragu akan keberadaan Allah. Orang bertanya dimanakah Allah dalam situasi seperti ini? Mengapa Allah begitu terasa jauh dari kehidupan manusia? Mengapa Allah meninggalkan manusia sendiri dalam penderitaan? Jika Allah itu memang ada mengapa manusia harus menderita bahkan terkena wabah yang mengerikan? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang kemudian mengguncang iman, harapan dan kasih bagi orang kristiani. Keutamaan teologal kristiani ini dihadapkan pada situasi yang sulit sekarang ini.
Kita menjadi marah kepada Allah, seolah-olah Allah tidak berpihak pada kita. Allah tidak menolong kita dan membiarkan kita sendirian. Dalam situasi demikian inilah kita akan mencoba merefleksikan sejauh mana teologi harapan memberikan kepastian akan kehadiran Allah dalam pergumulan hidup kita.
Membongkar derita dengan pengharapan
Penderitaan dan kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Haruslah dipahami dalam konteks kekristenan bahwa orang kristiani menjadi kuat dalam penderitaan karena memiliki harapan. Harapan memampukan orang beriman untuk terus mengasihi Allah dalam segala persoalan yang dihadapinya. Berkaitan dengan situasi covid-19 saat ini, manusia memang diperhadapkan pada situasi penderitaan. Situasi di mana wabah ini membuat manusia tidak berkutik. Manusia tidak mampu mengandalkan diri sendiri melainkan sifat spiritual manusia mengarahkan dirinya untuk keluar dari kekuatan dirinya dan melihat kekuatan lain di luar dirinya yakni Allah.
Dalam penderitaan yang luar biasa ini, kisah Ayub (Ayub 1-2) menjadi rujukan yang tepat untuk diteladani oleh umat kristiani saat ini. Ayub mengajarkan kita untuk tetap bertahan pada situasi penderitaan sambil terus berharap akan pertolongan Allah. Bertahan dalam penderitaan bukan berarti kita bersifat naif melainkan dengan iman yang kita miliki, kita berusaha keluar dari penderitaan menuju pada kesempurnaan akan bahagia bersama Allah.
Kitab Ayub mengajarkan tentang pentingnya persahabatan dalam penderitaan, khususnya tentang bahasa nasihat yang terlalu sederhana atau naif, ataupun penghiburan palsu. Dalam hal ini, Ayub tidak memperlihatkan bahwa ia menyerah terhadap penderitaan namun karena imannya ia lalu berserah pada Allah. Ia tetap yakin bahwa Allah penyelamat akan menolong dan membantunya keluar dari penderitaan itu.
Dalam situasi penderitaan, Ayub tidak berpaling dari Allah. Justru ia semakin kuat dan terus memupuk pengharapan dalam kasih Allah. Kesetiaan Ayub kepada Allah adalah kunci baginya dalam menghadapi penderitaan. Dengan demikian harapan akan penyelamatan dalam Allah sungguh terjadi dalam kisah Ayub (bdk.Lasor, dkk., 2001: 142).
Dalam penderitaan dan situasi maut, umat kristiani diajak untuk terus menghayati harapan dengan sungguh-sungguh. Iman yang dimiliki seharusnya menjadi senjata utama dalam berpengharapan kepada Allah. Sambil menantikan keselamatan yang datang dari pada Allah sendiri, umat manusia harus terus-menerus memupuk kerinduan, sambil tetap percaya kepada kehendak Allah. Karena jelaslah bagi umat kristiani bahwa pengharapan merupakan penjabaran iman, dan iman menghindarkan kita dari bahaya yang melayang-layang di angkasa khayalan subjektif-psikologis atau objektif-apokaliptif, seperti yang dikatakan Moltmann bahwa pengharapan memampukan kita memikul salib sekarang (Dister, 2004: 539).
Pergumulan iman manusia dalam menghadapi situasi wabah covid-19 saat ini adalah persoalan keterlibatan. Panggilan untuk terlibat adalah cara kita membongkar derita dengan iman dan harapan yang kita miliki. Dengan memiliki iman dan harapan yang besar, kita diajak untuk terlibat membantu mengatasi situasi penderitaan saat ini. Kita percaya bahwa Allah telah menunjukkan kasih-Nya kepada kita melalui Yesus Kristus yang mengangkat kodrat kita menjadi serupa dengan-Nya.
Allah dalam diri Yesus telah menunjukkan keterlibatan total dalam solidaritas penderitaan kepada manusia. Oleh sebab itu, Keterlibatan adalah proses kita membantu sesama atau membantu diri sendiri keluar dari penderitaan. Komunitas yang kuat berdasar pada kehendak Allah memampukan setiap orang untuk melihat penderitaan bukan akhir dari kehidupan melainkan penderitaan menguatkan orang untuk terus memperbaiki diri dan mempersiapkan diri menuju pada harapan kebersatuan dengan Allah.
Melihat Allah sebagai kekuatan melawan penderitaan dan kematian berarti percaya bahwa Allah yang menderita tidak mengekalkan penderitaan atau Allah sendiri hancur dalam penderitaan. Keterlibatan Allah di dalam penderitaan tidak membuat penderitaan menjadi tanpa akhir tetapi menempatkan penderitaan itu pada satu horizon harapan akan berakhirnya penderitaan (Kleden, 2006:327).
Kesimpulan
Keterlibatan manusia dalam penderitaan menjadi harapan dan kekuatan dalam mengahadapi wabah covid-19 ini. Dalam situasi ini, teologi pengharapan memberikan makna penderitaan yang dalam bagi umat kristiani. Penderitaan bukan dilihat sebagai suatu ketakutan melainkan dalam penderitaan terutama dalam menghadapi situasi covid-19 ini, manusia dibuat semakin kuat dalam iman, harapan dan kasih. Manusia terpanggil untuk terlibat dalam menghadapi situasi wabah covid-19. Panggilan untuk terlibat ini tentunya berasal dari harapan yang besar akan keselamatan yang dimiliki oleh manusia.
Dengan demikian, harapan kristiani tidak hanya bersifat menantikan ciptaan yang baru pada akhir zaman. Roh Tuhan diutus untuk memperbaharui muka bumi, maka harapan-harapan yang sekarang ini pun menjadi obyek harapan kristiani: keterlibatan dalam penderitaan, pembaharuan hati manusia dalam keadilan dan kesucian, menatah dunia yang lebih baik, menegakkan perdamaian di antara bangsa-bangsa. Itulah akan menjadi pijakkan harapan untuk mengantisipasi akan harapan masa depan.
Penulis adalah Calon Imam Diosesan Jayapura dan
Anggota Aplim Apom Research Group (AARG)
sementara kuliah di STFT “Fajar Timur” Abepura, Papua.
Daftar Pustaka
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika II. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kleden, Budi Paul. Membongkar Derita; Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi. Maumere: Ledalero, 2006.
Lasor, W.S.,dkk. Pengantar Perjanjian Lama 2. Terj. Lisda Tirtapraja & Lili W. Tjiputra. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment