Humaniora
Teologi
Trinitas
Polemik Trinitas dan Ketuhanan Yesus dalam Islam
Thursday, August 22, 2019
0
Foto ilustrasi tentang Trinitas |
Oleh Efendy Marut OFM
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta
Pengantar
Doktrin Trinitas diakui sebagai ajaran yang amat sulit dipahami. Di dalam ajaran Kristiani, Trinitas dibahas dalam waktu yang tidak singkat dengan melibatkan banyak pemikir, teolog, ahli Kitab Suci dan para pemuka agama Kristiani. Demi meratifikasi doktrin ini, maka dibentuklah konsili, suatu pertemuan resmi penetapan diterima atau tidaknya suatu doktrin. Pembahasan mengenai Trinitas pertama-tama dimulai dengan meletakkan dasar-dasar alkitabiah dan unsur-unsur awal suatu ajaran Trinitas, sejauh termaktub dalam Kitab Suci.
Bersamaan dengan itu, juga dibicarakan tentang ketuhanan Yesus dan Roh Kudus, mulai dari tampilnya Arius dan ketetapan konsili Nikaia, serta berbagai kontroversi yang muncul antara para penganut Arianisme dan kaum ortodoks mengenai penafsiran syahadat Nikaia, sampai dengan penyelesaiannya oleh konsili Konstantinopel. Agustinus dari Hippo beserta para teolog lainnya juga terlibat penuh dalam membahas dan menerangkan ajaran ini.
Pada tempat pertama perlu ditekankan bahwa agama Kristen merupakan agama monoteis, sebagaimana agama Islam. Keesaan Tuhan dijunjung tinggi, aneka ajaran dan praktik idolatry dan politeisme sebisa mungkin ditolak, demi untuk mengokohkan keesaan Tuhan. Akan tetapi, di dalam Kristianitas keesaan Tuhan itu dimaknai dengan suatu corak tertentu, yang justru menjadi keberatan di kalangan Islam. Ajaran tentang Allah Tritunggal atau Trinitas tidak diterima oleh sebagian umat Islam karena bertentangan dengan keesaan Tuhan. Monoteisme Kristen dipertanyakan lantaran ajaran Trinitas ini dipandang sebagai suatu ajaran yang justru kontraproduktif dengan keesaan Tuhan. Trinitas memang tidak mudah dipahami banyak orang dan kalangan.
Terhadap hal di atas, banyak polemik Al-Qur’an terhadap Kristen dijadikan alasan oleh kelompok Muslim radikal untuk menjustifikasi sikap eksklusif bahkan tindakan kekerasan. Kenyataannya, kita temukan banyak kritik Al-Quran terhadap Kristen, terutama perihal ketuhanan Yesus dan doktrin Trinitas. Tidak mudah memahami kritik-kritik Al-Quran tersebut karena sepertinya yang dikritik bukanlah doktrin yang diyakini oleh kaum Kristiani sendiri. Beberapa ayat Al-Quran kerap kali dijadikan suatu penolakan terhadap ketuhanan Yesus dan ajaran Trinitas, misalnya Q. 4:171, Q 5:73, Q. 116, dan sebagainya.
Rumusan Masalah
Serangan terhadap paham Ketuhanan Yesus dalam teologi Kristen tampak nyata dari dakwah Zakir Naik, seorang da’i dari India yang sempat memukau pada beberapa waktu silam. Kehadiran dr. Zakir Naik di Indonesia menyulut kontroversi di media sosial. Naik merupakan salah satu da‟i (pedakwah) di televisi paling populer sekaligus kontroversial di dunia saat ini. Sejak November 2016, pemerintah India melarang aktivitas dakwahnya di India, tanah kelahirannya, dan memulai investigasi soal aliran dana sumbangan dari luar negeri dan keterlibatan dalam aksi-aksi teror, termasuk radikalisasi anak-anak muda untuk bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) .
Soal ceramah-ceramahnya yang bisa memicu kebencian dan radikalisasi, memang tak dapat dinafikan. Naik yang semula berprofesi sebagai dokter dan kemudian beralih menjadi da‟i fulltime itu kerap menyerang keyakinan dan kitab suci agama lain sembari menyulut permusuhan dan mengobarkan api radikalisasi. Dalam berbagai kesempatan, Naik mengumbar betapa bahagianya dia sebagai fundamentalis.
Dalam ceramahnya tahun 1998, misalnya, Naik berkata.”A terrorist is... someone who terrorizes. When a robber sees a policeman he is terrified.. So.... every Muslim should be a terrorist.” Dari tayangan video yang mudah dijumpai dalam media soaial, sikap Naik terhadap Kristen sangat keras. Tema ceramah yang menjadi favoritnya ialah soal ketuhanan Yesus dan ketidakotentikan Alkitab. Dia mengulang-ulang pertanyaan; bagaimana mungkin seorang manusia (Yesus) pada saat yang sama disebut Tuhan? Bagaimana mungkin Tuhan yang disebut Bapa atau Anak? Karena itu, Naik mempertanyakan jika kaum Kristiani masih bisa dikatakan menganut agama monoteis. Naik mengajukan dua alasan kenapa kaum Kristiani “salah” dalam memahami ketuhanan Yesus. Pertama, Kitab Suci kaum Kristiani sendiri tidak pernah mengklaim Yesus sebagai Tuhan. Kata Naik,” in fact there is no a single unequivocal statement in the entire Bible where Jesus (pbuh) himself says „ I am God‟ or where he says‟worshipme.” Kedua, konsep “satu Tuhan dalam tiga dan tiga dalam satu” dianggapnya tidak rasional atau “logically impossible.”
Bertolak dari fenomena ini, apa sebenarnya masalah yang cukup mengganggu dan meresahkan, sehingga lantas mengundang kepedulian dari para cendekiawan religius? Demi suatu upaya mencari titik temu dan dialog iman, bagaimana seharusnya metodologi hermeneutik Kitab Suci Islam dan Kristen memberi sumbangsih yang signifikan bagi agama? Dalam aneka bentuk polemik alkitabiah dan juga historisitas, sejauhmana interpretasi para tokoh agama dan cendikiawan religius mengupayakan suatu pewartaan dan dakwah yang lebih humanis dan tidak berpotensi konflik?
Rumusan masalah ini akan dibahas dalam ulasan berikut ini yang berfokus pada polemik Trinitas dan paham Ketuhanan Yesus. Tinjauan ini merupakan suatu ikhtiar dialog dalam corak hermeneutika sederhana dengan sedikit berlandas pada dimensi historis yang memengaruhi polemik tersebut.
Perihal Ketuhanan Yesus
Tidak mudah menunjuk secara pasti apa yang sebenarnya dikritik Al-Quran perihal ketuhanan Yesus. Di satu sisi, Al-Quran menempatkan Yesus dalam deretan nabi-nabi agung, bahkan menekankan keunikan-Nya yang tidak dimiliki nabi-nabi lain. Di sisi lain, Al-Quran mengritik keyakinan para pengikutnya. Salah satu ayat yang sering dikutip orang adalah: “Telah berbuat kufur orang yang mengatakan Allah adalah Almasih (Yesus) anak Maryam” (Q.5:17 dan 72). Pertanyaannya, apakah ini kritik terhadap keyakinan kaum Kristiani? Jika kita merujuk ke pemahaman umum di kalangan Kristiani, maka jawabannya: tidak. Kitab Suci kaum Kristiani tidak pernah menyebut Tuhan sebagai Yesus. Ada perbedaan yang sangat jelas antara “Tuhan adalah Yesus” dan “ Yesus adalah Tuhan”.
Titik berangkat pemahaman sebagian umat Islam akan Yesus adalah mengenai status Yesus sebagai anak Allah. Al-Quran menolak kemungkinan Tuhan memiliki putera atau puteri. Surat ke-112 (al-Ikhlash) menyajikan tentang teologi Al-Quran yang menegaskan “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan” (Q. 112:3). Al-Quran memang menolak secara tegas gagasan tentang status Isa sebagai anak Tuhan. Pada masa Muhammad penekanan terhadap ketuhanan Yesus dalam kelompok Kristen mengantar pada kesimpulan bahwa orang Kristen menyekutukan Tuhan, dan bahwa kaum Kristiani bukanlah penganut monoteisme yang benar dan murni. Al-Quran menyebut Isa bukan sebagai anak Tuhan. Yesus adalah seorang hamba, seorang manusia yang makan dan minum dan tidak lebih dari seorang rasul seperti rasul-rasul lainnya. Di dalam Al-Quran, Yesus bukanlah anak Allah, tetapi dikenal sebagai anak Maryam. Dia sebagai anak Maryam disebut sebanyak 33 kali dalam Al-Quran, berbeda dengan Perjanjian Baru yang hanya sekali menyebut-Nya sebagai putera Maria (Mrk. 6:3).
Problem ketuhanan Yesus dalam Islam tercatat dalam Q. 5:17 dan 5:72, di mana di sana ditegaskan penolakan terhadap ketuhanan Isa; “Sesungguhnya telah kafirlah orang yang berkata Allah itu ialah Almasih putera Maryam.” Dalam konteks zaman saat itu, misi nabi adalah untuk mendakwahkan keesaan Tuhan kepada bangsa Arab yang biasa mengasosiasikan tuhan-tuhan mereka dengan Tuhan yang Maha Agung. Dosa yang tak terampuni di dalam Islam adalah penyembahan berhala, dan itu tercatat di dalam Al-Quran. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa orang yang percaya pada ketuhanan Yesus berarti meremehkan keesaan Tuhan. Setiap orang yang menyamakan Tuhan dengan manusia tergolong dalam dosa yang dinamakan shirk, yang dalam Al-Quran merupakan dosa yang tak termaafkan (unforgivable sin). Aneka bentuk penyembahan berhala termasuk dalam jenis dosa ini.
Argumentasi konvensional orang Islam adalah bahwa monoteisme absolut Tuhan tidak dapat ditawar dengan cara apa pun, karena upaya apa pun untuk menyejajarkan makhluk dengan Tuhan dan kemudian mengagungkannya seperti mengagungkan Tuhan dipandang sebagai sebuah bentuk kemusyrikan (Q. 4:116). Bagi orang Islam secara umum, Almasih bukanlah Tuhan karena tidak ada seorang manusia pun yang berbagi ketuhanan dengan Allah, yang jika demikian maka bertolak belakang dengan konsep Tauhid (teologi Allah yang esa). Menerima Yesus sebagai Tuhan sama dengan menolak keesaan Tuhan. Penolakan Al-Quran terhadap status Isa sebagai anak Tuhan adalah alasan di balik penolakan terhadap ketuhanan-Nya.
Terkait dengan polemik ketuhanan Yesus, Mun’im Sirry mencatat bahwa para sarjana Islam terbelah ketika mendiskusikan sekte apa yang memengaruhi cara pandang Al-Quran terhadap Kristen. Sarjana Jerman Gunter Risse menulis buku berjudul ‘Gott ist Christus, der Sohn der Maria’ (1989), dengan argumen; penolakan Al-Quran terhadap ketuhanan Yesus sebenarnya diarahkan pada sekte Monophysites yang bukan hanya menyebut ketuhanan Yesus tapi juga mengidentifikasi Tuhan dengan Yesus. Risse menyebutkan, keyakinan Monophysitisme cukup dominan di kalangan Kristen Arab zaman Nabi dan menjadi kritik Al-Qur’an.
Di pihak lain, sarjana Inggris Geoffrey Parrinder dalam bukunya Jesus in the Qur’an (1965) menekankan pengaruh Nestorianisme dalam kritik Al-Qur’an. Pada abad V Nestorius, bapa bangsa Konstantinopel, memprotes meningkatnya penggunaan gelar 'Bunda Allah' (theotokos) yang diterapkan pada Maria. Dia mengatakan bahwa seharusnya adalah 'ibu dari manusia' Yesus (antropo-tokos), atau 'ibu dari Kristus' (christo-tokos). Sungguhpun demikian, kedua kutub kesarjanaan ini sepakat bahwa al-Qur’an tidak lahir dari kevakuman, tapi merespons fenomena tertentu. Menariknya Al-Quran tidak mengritik keyakinan umum di kalangan kaum Kristiani, melainkan ajaran yang sebenarnya juga ditolak oleh mereka sendiri.
Secara lebih terperinci, Josef Imbach dalam Three Faces of Jesus, How Jews, Christians, and Muslims See Him, menegaskan beberapa perbedaan khas mengenai Yesus atau Isa dalam Kristianitas dan Islam, yakni: Pertama, gambaran Yesus dalam Al-Qur'an pada dasarnya berbeda dengan gambaran Yesus dalam Injil. Muhammad tidak mengenal dan belajar tentang Yesus melalui agama Kristen, tetapi melalui tradisi penginjil, catatan apokrif (Injil masa kecil) dan sekte-sekte Kristen yang telah menyebar ke seluruh Arab. Kedua, Islam mengetahui banyak istilah Kristen dan gelar kehormatan untuk Yesus (Anak Maryam, yang diberkati Allah, Firman yang menjadi Daging, Hamba Allah, Mesias-Kristus, Nabi, utusan Allah) tanpa menyerap konten Kristen apa pun yang tersirat di dalamnya. Ketiga, orang-orang Muslim menolak doktrin Kristen tentang penebusan, tentang status anak Allah, pra-eksistensi Anak Allah, dan Tritunggal.
Keempat, Al-Quran memberikan gambaran stereotip tentang Yesus. Yesus adalah seorang nabi, sama seperti Injil menggambarkan Yohanes Pembaptis sebagai nabi utusan Allah. Sebagaimana dipahami bahwa Yohanes adalah pendahulu Yesus dan dia adalah nabi yang mendahulului nabi Isa. Kelima, sebagai utusan Allah, Yesus memiliki kedudukan tinggi dalam Islam; Dia adalah pemberita kehendak Tuhan dan pada saat yang sama dia adalah ‘cikal bakal’ Muhammad. Karena Dia - dan bukan Yesus dari orang-orang Kristen - adalah "utusan Allah" dan karenanya "Meterai Para Nabi" (33.40). Al-Quran, bagi orang Islam mewakili salinan buku surgawi asli (56.78; 85.21-22) dan karena itu merupakan otoritas yang tidak dapat dipertanyakan, dan bahkan bisa dikatakan bahwa Al-Quran adalah "Kristus Islam."
Yesus Kristen dan Isa Islam
Gambaran Yesus dalam Al-Quran memerlihatkan bahwa Dia bukanlah penebus. Islam tidak mengakui dosa asal sebagaimana orang Kristen melihat keniscayaan penebusan dalam diri Yesus. Oleh karena itu, Islam menyangkal keilahian Yesus. Memang penolakan ini berkaitan dengan paham monoteisme radikal dalam Islam, akan tetapi sebenarnya hal ini didasari oleh interpretasi yang salah terhadap ajaran trinitas kristen yang dalam kalangan Islam lebih dipahami sebagai kepercayaan pada tiga Allah.
Polemik Al-Quran pada prinsipnya bukan menolak Kristus, melainkan menolak orang Kristen yang menghormati Yesus sebagai Allah. Meskipun demikian, beberapa dari kalangan Islam tetap memegang teguh pada apa yang mereka pahami dari Al-Quran. Sebab bagi orang Islam, Al-Quran adalah pedoman utama mereka. Mereka meyakini adanya primat Al-Quran atas Muhammad dan nabi-nabi lain. Lantas apa yang tertulis dalam Al-Quran adalah kehendak Allah sendiri, yang setelahnya akan dihayati dan diamalkan Muhammad. Bagi mereka Sabda Allah menjelma dalam sebuah kitab, dibedakan dari ajaran inkarnasi dalam Kekristenan. Orang Kristen akan berkutat dengan iman akan keilahian Yesus, sedangkan orang Islam mengakui dan menghayati keilahian Al-Quran.
Dalam Kristianitas, peristiwa inkarnasi (Allah menjadi manusia) adalah manifestasi yang memerlihatkan solidaritas Allah pada manusia. Di dalam diri Yesus, manusia mengimani dan meyakini bahwa Allah menyelamatkan mereka dari segala dosa. Allah begitu mengasihi umat-Nya sehingga Dia mengutus Putera-Nya ke dunia. Di dalam doktrin Katolik, Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Penegasan doktrin ini telah melalui dinamika yang panjang, dan melalui silang pendapat di antara para teolog Kristen.
Dalam tradisi Kristen, diskusi ketuhanan Yesus punya sejarah yang panjang, hingga melahirkan dua Konsili, yakni Konsili Nicea pada 325 dan Chalcedon pada 451. Kedua konsili tersebut dimaksudkan untuk mendiskusikan beragam pendapat soal kodrat ketuhanan Yesus. Kedua konsili tersebut dimaksudkan untuk mendiskusikan beragam perbedaan pendapat mengenai ketuhanan Yesus. Konsili Chalcedon menyikapi dua pandangan berseberangan antara monophysitisme yang menekankan kesatuan kodrat Yesus dan Nestorianisme yang menekankan Yesus memiliki yang dua kodrat: ilahi dan manusiawi. Konsili Chalcedon mengambil jalan tengah: Yesus memiliki dua kodrat yang menyatu dalam dirinya. Yesus Kristus adalah wujud yang satu dan sama sempurnanya dalam wujud ketuhanan dan dalam wujud kemanusiaan, wujud Tuhan sejati dan juga manusia sejati. Kristus yang satu dan sama dalam dua sifat, tanpa pertukaran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa pemisahahan. Inilah yang menjadi keyakinan kaum Kristen hingga saat ini.
Polemik seputar Doktrin Trinitas
Sebenarnya yang dikritik Al-Quran adalah triteisme, bukan Trinitas. Misalnya dalam ayat berikut: “Telah berbuat kufur orang yang mengatakan ‘Allah itu ketiga dari tiga” (Q.5:73). Atau juga dalam surat al-Ma’idah ayat 116, kita dapat simpulkan Trinitas yang dikritik al-Qur’an terdiri dari Allah, Yesus dan Maryam, bukan Bapa, Anak dan Roh Kudus. Pertanyaannya, kenapa Al-Quran memahami Tirinitas seperti itu?
Sebagian orang beranggapan Al-Quran salah paham terhadap doktrin Trinitas. Ada juga yang mengatakan, yang dikritik Al’Quran bukan Trinitas, melainkan triteisme yang menganggap Tuhan itu tiga (Allah, Yesus dan Maryam). Memang perlu dicatat juga bahwa apa yang ditolak itu juga ditolak oleh Kristen ortodoks.
Parrinder menulis, “Yang lebih mungkin adalah bahwa yang ditolak dalam Al-Quran adalah doktrin heretik, dan orang Kristen Ortodoks pasti sepakat dengan kebanyakan pernyataannya.” Parrinder berpendapat bahwa Al-Quran sebenarnya merujuk kepada sebuah sekte yang menuhankan Maryam, yang disebut Collyridians. Sekte ini terdiri dari kaum perempuan yang menyembah Maryam dengan mempersembahkan roti kecil, yang dalam bahasa Yunani disebut “Collyris.” Dari praktik itulah mereka dikenal dengan Collyridians. Awal sekte ini muncul di Thrace kemudian berkembang ke selatan menuju Jazirah Arabia. Menurut kelompok Collyridian ini, Tuhan ada tiga, yakni Bapa, Anak dan Maryam. Jadi sangat dimungkinkan Al-Quran mengalamatkan kritiknya pada sekte ini, bukan keyakinan umum di kalangan Kristen. Sekte ini kemudian ditolak keras oleh Epifanius, seorang bapak Konstantinopel dari abad IV dengan menuliskan sebuah surat penolakan.
Perlu diakui bahwa hal yang membuat beberapa ulama berpikir bahwa konsepsi Al-Quran tentang Trinitas meliputi Allah, Isa dan Maryam adalah karena Al-Quran tidak secara eksplisit menyatakan terdiri dari siapa saja Trinitas itu. Beberapa ulama tentu tidak sepaham dengan doktrin Trinitas ini terutama karena tampaknya berlawanan dengan prinsip monoteisme yang diyakini, baik di dalam Islam maupun di dalam ajaran Kristiani itu sendiri.
Akan tetapi, gagasan dasar dalam Islam terkait Allah yang satu tetap menjadi suatu keyakinan yang tidak bisa ditawar. Allah hanya satu dan tiada tuhan selain Allah. Sebagaimana dalam surah 10.68 bahwa Allah adalah cukup pada diri-Nya sendiri (“self-sufficient”). Dia tidak membutuhkan teman, anak, isteri (7. 23; 6.101).
Islam sangat menekankan monoteisme, di mana selalu ditegaskan bahwa Tuhan itu satu dan tidak dapat dibanding dan dihubung-hubungkan dengan makhluk apa pun. Sedangkan paham Kristiani menekankan Allah yang memang esa tetapi memiliki tiga pribadi yang menyatu, yakni Bapa, Putra dan Roh Kudus. Relasi kasih di antara Bapa, Putra dan Roh Kudus selalu mendapat tekanan dalam cara memahami dan menghayatinya.
Dalam ajaran Kristen, doktrin Trinitas tidak menghancurkan tetapi justru memperkuat keesaan Tuhan. Dalam hubungan kekal dan diberkati dari Bapa, Anak, dan Roh Kudus, satu-satunya Allah yang sejati dipersatukan dan dibagi tanpa pemisahan. Dalam Islam sendiri, ada dua aspek pada prinsip tauhid: (1) keesaan sebagai lawan dari penyembahan berhala, dan (2) keesaan sebagaimana didefinisikan sebagai kesendirian di dalam keberadaan Allah yaitu, unitarianisme. Perspektif mengenai keesaan Tuhan di dalam Kristen justru berbeda. Allah yang esa tidak berada dalam ketertutupan (isolasi), yang sendiri dan sepi. Dia hidup dalam persekutuan yang total, dalam relasi dan kasih. Dalam uraian biblis, relasi Allah Tritunggal constitutive bagi diri Allah sendiri: bapa memberi (gives), Putera menerima dengan taat (receive), dan Roh Kudus berasal (=keluar) dari keduanya (proceeds).
Penutup
Doktrin Trinitas dan iman kristen akan Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia memang agak sulit diterima dan dipahami di kalangan Muslim karena bagi mereka menerima pandangan itu sama dengan menolak keesaan Tuhan. Doktrin Kristen sering dipandang bertentangan dengan prinsip tauhid yang diajarkan oleh para Nabi. Al-Quran menyebutkan bahwa risalah utama para Nabi adalah sama, yaitu keesaan Tuhan. Trinitas memang sulit diterima, terutama jika dipandang sebagai ekspresi tauhid.
Selain itu, di kalangan Muslim juga mengatakan bahwa Trinitas itu tidak diajarkan di dalam Kitab Suci Kristiani, dan merupakan perkembangan ajaran belakangan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa memang dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tidak ada ajaran tentang Trinitas. Hal ini tidak mengherankan sebab pada umumnya Kitab Perjanjian Baru kurang bermaksud menyampaikan ajaran tertentu daripada memaklumkan Kerajaan Allah, suatu Kerajaan yang fajarnya menyingsing dengan dan dalam diri Yesus Kristus. Akan tetapi, akar-akar ajaran Trinitas memang dapat ditemukan dalam Kitab Suci.
Sentralitas Yesus di dalam ajaran Kristiani berimplikasi pada banyak hal terutama dalam kaitannya dengan konsep keselamatan. Allah menjadi manusia (inkarnasi) adalah topik sentral dalam pembahasan mengenai keselamatan, di mana Yesus dihayati sebagai sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Allah yang dipahami di dalam Kristen adalah Allah yang mengasihi umat-Nya, Allah yang menjadi manusia, bersolider, dan rela datang ke dunia. Inti wahyu ini berimplikasi pada aneka ajaran Kristiani. Memang selalu ada pertanyaan; bagaimana mungkin “peristiwa Yesus” memiliki makna universal, yakni menyelamatkan semua orang?
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan refleksi khas Kristiani di hadapan aneka tawaran dialog iman dalam lintas agama. Yesus yang diyakini sebagai Allah dan manusia itu merupakan silih bagi dosa-dosa manusia. Yesus diutus Allah untuk menjadi penebus bagi semua orang. Kasih-Nya yang tanpa bataslah yang menjadi alasan kedatangan-Nya ke dunia. Ketuhanan Yesus memang akan menjadi pertanyaan penting bagi orang Islam. Bagi mereka Almasih bukanlah Tuhan kerena tidak ada seorang manusia pun yang berbagi ketuhanan dengan Allah, yang jika demikian maka bertolak dengan konsep Tauhid.
Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa doktrin Trinitas dan juga perihal ketuhanan Yesus merupakan perbedaan teologis yang kompleks dan paling sulit diselesaikan. Meskipun di satu sisi, kita tetap berharap bahwa perbedaan konseptual ini bisa didamaikan dan tidak menimbulkan friksi dalam konteks kehidupan lintas agama. Memang perbedaan antara kristen dan Islam mengenai Trinitas teletak pada dimensi keesaan Tuhan, meskipun sebenarnya lebih pada penekanan mengenai sifat atau karakteristik dari keesaan tersebut. Baik kristen maupun Islam sama-sama menolak triteisme dan ajaran serta praktik penyembahan berhala. Namun dari situ juga tampak adanya perbedaan dalam memandang keesaan Tuhan. Islam lebih menekankan keesaan Tuhan secara ketat, sedangkan Kristiani menekankan keesaan Tuhan dengan corak relasi kesatuan Allah Tritunggal. Keduanya sama-sama mengakui keesaan Tuhan, meskipun berbeda dalam cara menghayati dan mengungkapkannya.
Oleh karena itu, sebenarnya perlu dipikirkan serius bagaimana kritik-kritik Al-Quran ditafsirkan secara lebih humanistik agar berkontribusi bagi pergaulan dan interaksi lintas agama. Diharapkan agar upaya memahami kritik-kritik tersebut secara kreatif mengubah persoalan teologis yang rumit itu menjadi kesempatan untuk suatu perbincangan yang harmonis dan saling memperkaya.
Selain itu, perlu diberi porsi perhatian yang lebih pada dialog lintas agama, dalam hal ini Islam-Kristen. Demi menghindari polemik yang berujung konflik (dan bahkan kekerasan), salah satu kuncinya adalah belajar ajaran agama lain secara seksama dan mendalam. Apabila seorang Krsitiani ingin melakukan semacam dialog dan atau diskusi (juga kritik), dia hendaknya memelajari secara sungguh ajaran agama lain itu secara lebih mendalam, demi terhindar dari kesalahpahaman. Begitu pun sebaliknya.
Kita menyadari bahwa sikap fanatik yang berlebihan di tanah air ini merupakan ‘boomerang’ bagi kedamaian negeri. Fanatisme sempit yang mengakui bahwa ajaran mereka paling benar adalah suatu paham yang akan memecah-belah persatuan. Di negara yang beraneka cara pandang ini, sikap terbuka dan moderat adalah sikap ideal. Oleh karena itu, keterbukaan dalam cara berpikir (open-minded) dan bertindak adalah niscaya. Kita akan menjadi makin kaya dalam cara berpikir hanya jika kita memiliki kesediaan untuk memelajari banyak hal, termasuk ajaran yang bertolak belakang dengan keyakinan kita.
Dialog lintas agama dan lintas iman adalah mutlak perlu di negara ini. Dialog itu mesti diupayakan semaksimal mungkin, demi membendung aneka ideologi destruktif atas nama agama yang akhir-akhir ini merisaukan banyak pihak. Agama ada untuk kebaikan manusia, bukan untuk dimanipulasi dan dipolitisasi demi kepentingan politik tertentu dan atau demi memuaskan hasrat berkuasa dari oknum-oknum tertentu. Dialog iman adalah sarana yang amat perlu dan penting bagi kekayaan cara berpikir dan berkeyakinan bangsa Indonesia. Dialog iman adalah ‘tanah’ yang akan menyuburkan kedamaian dan toleransi di negara ini. Makin kita mengetahui secara mendalam ajaran agama lain, kita pun akan makin kaya dalam cara berpikir dan bertindak.
Ikhtiar para sarjana yang telah melakukan upaya penelitian ilmiah terhadap doktrin ini merupakan pilihan tepat dan memberi semacam titik terang perihal metode memahami dan menghayati suatu ajaran. Upaya ilmiah dengan bertitik tolak pada dimensi historis dan konteks serta alam pikiran pada beberapa abad silam merupakan usaha yang mutlak perlu dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan dari masa ke masa. Banyak polemik seputar ajaran iman lintas agama yang perlu ditelaah secara lebih sistematis lagi.
Paham mengenai ketuhanan Isa Almasih dan doktrin Trinitas hanyalah sebagian dari upaya ‘titik-temu’ cara berpikir dan paham Islam-Kristen. Masih banyak hal lain yang mesti dielaborasi demi terjalinnya suatu pertukaran konsepsi yang sehat, dan demi terjalinnya dialog yang ideal antara kedua agama besar ini.
Daftar Pustaka
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika I. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
______“Tak Pernah Cukup Mengenai Maria: Minat akan Sosok Maria dalam Agama Katolik dan Agama Islam,” dalam Edy Kristiyanto OFM (ed). Sinar Sabda dalam Prisma, Hermeneutika Kontekstual, Jogjakarta: Kanisius. 2005
George, Timothy. Is The Father of Jesus, The God of Muhammad. Michigan: Zondervan. 2002.
Imbach, Josef. Three Faces of Jesus, How Jews, Christians, and Muslims See Him. Munich: Templegate Publishers. 1992.
Parrinder, Geoffrey. Jesus in the Qur’an. New York: Barnes & Noble. 1965.
Phipps, William E. Muhammad and Jesus A Comparison of the Prophets and Their Teaching. London: SCM Press Ltd. 1996
Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci, Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Qur’an Terhadap Agama lain. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2013.
____. Islam Revisionis, Kontestasi Agama Zaman Radikal. Yogyakarta: Suka Press. 2018.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment