Cerpen
Derita
Sastra
Seberkas Harapan
Seberkas Harapan dalam Derita (Cerpen)
Wednesday, April 8, 2020
0
Seberkas Harapan dalam Derita (foto dari pixabay.com) |
Quote Amor - Juni, anak lelaki berumur 7 tahun dengan tubuh yang kurang terurus dan wajah mungil yang nampak pucat dan kotor, mengintip-intip di balik pagar sekolah. Ia sesekali tersenyum melihat anak-anak sebayanya yang sedang asyik bermain kejar-kejaran di lingkungan sekolah yang terlihat bersih nan asri dengan hiasan aneka warna-warni bunga yang tumbuh di pekarangan sekolah itu.
Juni, memang tidak seberuntung seperti anak-anak yang dilihatnya di lingkungan sekolah itu. Sehari-hari, ia hanya bisa memikul karung kumal yang berisikan barang-barang bekas hasil buangan masyarakat, untuk kemudian ditukarkan dengan nilai rupiah yang kadang tidak sebanding dengan segala usaha dan kerja kerasnya.
Keceriaan yang seharusnya bisa ia nikmati seperti anak-anak sebayanya, tak dapat dirasakannya karena ia mesti bekerja untuk membantu orang tuanya. Dengan memulung sampah, ia telah meringankan beban orang tuanya yang hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Sesekali Juni memang terkadang menampakkan senyum dan keceriaannya tatkala ia bersama teman-teman pemulung beramai-ramai mencari barang-barang rongsokan di pinggir-pinggir jalan ataukah langsung di tempat pembuangan sampah.
Baca juga :
Suatu sore, ibunya terlihat meneteskan air mata ketika melihat Juni anaknya kembali ke rumah dengan karung kumalnya sambil menghitung-hitung jumlah rupiah yang tak seberapa di tangannya. Ibunya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci tak sanggup melihat anaknya yang polos dan lugu itu, harus menanggung beban hidup yang sedemikian beratnya.
Sebuah kehidupan yang hanya terbatas pada tempat-tempat sampah, tempat yang semestinya tak layak untuk ditempati oleh anak seumurannya. Ia seharusnya bersekolah, tapi apa mau dikata, kehidupan ekonomi yang tak berpihak pada mereka, mengharuskan ia mengalami kehidupan yang demikian. Masa depannya pun seakan menjadi korban. Tidak hanya itu, ia dan ibunya juga masih harus berjuang merawat ayahnya yang sedang sakit.
Sang ayah tak bisa ikut meringankan beban keluarga karena kedua kakinya sudah lama mengalami kelumpuhan. Sesering mungkin apabila Juni sepulang memulung, ia menyempatkan diri menemani dan menghibur ayahnya yang hanya bisa terbaring itu.
“Pa, senang ya bisa bersekolah kayak anak-anak yang tadi siang aku lihat ketika sedang memulung di sekitar sekolah. Mereka itu, selalu terlihat ceria, bermain-main dan banyak teman Yah..! Tapi kenapa kok aku tak bisa seperti mereka? Ungkapnya kepada sang bapa yang terbaring di tempat tidur.
Ayahnya hanya bisa meneteskan air mata ketika mendengar anaknya yang polos itu berkata demikian. Keadaannya yang lumpuh, tambah menusuk hatinya tatkala ia menyaksikan istri dan anaknya berjuang mempertahankan hidup hanya dengan menjadi buruh cuci dan pemulung sampah.
Juni…! Juni….! Juni…! Teriak teman-teman pemulungnya yang hendak mengajaknya pergi memulung.
Yaa……! Tunggu…..! Sahutnya sambil berlari mengabil karung kumalnya.
"Juni makanannya dihabiskan dulu sayang!” Panggil ibunya.
Nanti aja Bu baru Juni lanjutin kalau sudah pulang. Makanannya biar ibu simpan dulu…! Demikan sahutnya.
Memang sudah menjadi kebiasaan baginya untuk tidak menghabiskan makanan pagi apabila teman-temannya sudah mengajaknya untuk pergi memulung.
Teng…..! Teng…..! Teng…..! Bunyi lonceng sekolah terdengar. Serentak Juni dan teman-temannya mengarahkan pandangan mereka di balik pagar sekolah kepada anak-anak yang berseragam putih- merah yang sedang berbaris rapi hendak memasuki kelas.
Ia dan teman-temannya sejenak hening membisu, menyaksikan anak-anak kitu, mungkin dalam hati mereka ingin seperti anak-anak sekolah itu. Ingin mengenakan seragam putih-merah, berbaris rapih dan memasuki kelas serta bermain-main di halaman sekolah dengan teman-teman. Namun sayang, keinginan itu hanyalah sebuah khayalan, yang tampaknya tak akan mungkin terjadi.
Mereka harus kembali memikul karung kumal, karung yang menjadi teman setia mereka setiap hari, karung yang menjadi tempat untuk menampung puing-puing rongsokan, yang kemudian ditukarkan dengan rupiah yang tidak seberapa nilainya. Mereka tak seberuntung seperti anak-anak sekolah yang berbaris itu, yang setiap harinya memikul tas-tas cantik dengan gambar-gambar kartun atau robot-robot yang menjadi idola mereka, atau tas yang mungkin isinya bekal makanan yang enak-enak, tidak sama seperti makanan Juni yang mesti harus disimpan di bawah tutupan sobekan gardus.
Juni, kapan ya… kita bisa kayak anak-anak sekolah itu? Tanya salah seorang temannya ketika mereka sedang asyik mengorek-ngorek tumpukan sampah.
Juni tak dapat menjawab. Pertanyaan yang sama, pernah ia ajukan kepada ibu dan ayahnya, tapi jawaban yang diterimanya hanyalah tetesan air mata.
Yuk mendingan kita isi karung sampai penuh, mumpung belum terlalu panas ni..! Ajak Juni karena tak tahu harus menjawab apa.
Mungkin jawabannya ada di dalam hati para pembaca, dengan membagi apa yang bisa kita bagikan kepada yang membutuhkan sehingga kerinduan Juni dan sahabat-sahabatnya bisa terwujud.
Sdr. Wandi, OFM,
biarawan sedang menjalani Tahun Orientasi Karya
di Seminari Menengah St. Fransiskus Assisi, Jayapura
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment