Covid-19
Humaniora
Refleksi
Renungan
Teologi
Virus Corona
Memaknai Paskah di Tengah Ancaman Covid-19
Sunday, April 5, 2020
0
Foto pribadi David Dapi Losor OFM |
Quote Amor - Virus Corona muncul pertama kali di Wuhan-Cina, di penghujung tahun 2019 dan sudah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Walaupun virus yang kemudian disebut sebagai Covid-19 ini telah menelan banyak korban, tetapi bersamaan dengan itu muncul sebuah harapan karena sudah mulai banyak yang sembuh. Sampai dengan saat saya menulis refleksi ini, Italia adalah negara dengan korban pandemi COVID-19 terbanyak di dunia.
Pandemi Covid-19 ini telah memberikan dampak yang sangat besar dalam seluruh dimensi kehidupan manusia, misalnya ekonomi, sosial dan religius. Negara-negara dengan devisa terbesar di bidang pariwisata sedang dan akan mengalami krisis ekonomi karena tidak ada wisatawan yang berkunjung ke negaranya. Peredaran uang pun akhirnya tidak lancar. Sedangkan pada segi sosial, orang harus tetap menjaga social distancing, bahkan dianjurkan untuk tinggal di dalam rumah, tidak berkumpul dalam jumlah yang besar.
Selain itu, pada aspek religius, orang tidak bisa melaksanakan ibadat bersama di tempat ibadah seperti Gereja, Masjid, dan tempat ibadat lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Pemerintah terus mengeluarkan larangan untuk tidak ke luar rumah selain karena urusan yang mendesak. Hal ini tentu saja menimbulkan kepanikan dalam masyarakat. Tetapi tujuannya jelas yaitu untuk memutuskan mata rantai penyebaran COVID-19. Semua demi kebaikan bersama (bonum commune) . Bapa Suci Fransiskus sendiri mengatakan bahwa tidak ada perayaan bersama umat dan peziarah selama Pekan Suci di Vatikan. Begitu juga di Tanah Suci, tempat di mana Yesus pernah hidup, wafat, dan bangkit.
Oleh karerna itu, melalui tulisan ini, saya ingin membagi refleksi saya tentang bagaimana memaknai paskah dalam situasi pandemi Covid-19. Saya merefleksikan situasi tersebut dengan mengacu pada teks Kitab Suci, khususnya Kitab Suci Perjanjian Lama.
Paskah Kristiani berakar dari Paskah Ibrani
Untuk sepenuhnya memahami apa itu Paskah Kristiani, kita perlu melihat Perjanjian Lama yang berakar pada pengalaman umat Yahudi. Kristus adalah seorang Yahudi, (kadang-kadang kita melupakan ini). Semua yang dihidupi-Nya, dijalani-Nya sebagai seorang Yahudi, melalui tradisi nenek moyang-Nya. Ekaristi yang kita rayakan bersama setiap hari Minggu (dan juga hari-hari biasa) bagi kita orang Kristen adalah Paskah baru, berakar pada perjamuan terakhir yang dihidupi oleh Yesus bersama para rasul, sebelum Sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.
Bagiamana Paskah menurut orang Yahudi?
Paskah, yang dalam bahasa Ibrani disebut PeºsaH פֶּ֙סַ×— (Kel 12,27) berarti "melewati", dan merupakan puncak dari kisah sepuluh tulah (Kel 7,14-12,36), di mana Tuhan melihat darah domba di pintu rumah-rumah Israel dan "lewat", yang kemudian membunuh hanya anak sulung laki-laki orang Mesir, termasuk putra Firaun (Kel 12,21-34). Oleh karena itu PeºsaH menunjukkan pembebasan Israel dari perbudakan orang Mesir dan awal dari kebebasan baru bersama Allah menuju tanah yang dijanjikan.
Paskah dalam Kekristenan telah memperoleh makna baru, yang menunjukkan tindakan penyelamatan Allah kepada umat pilihan-Nya, sehingga tertebus dari dosa lewat sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus. Karena itu, Paskah Kristen disebut “Paskah kebangkitan”, sedangkan Paskah Yahudi adalah “Paskah pembebasan” dari perbudakan Mesir. Salah satu pemikir Yahudi yang terkenal yaitu Philo dari Alexandria menulis bahwa Paskah tidak hanya peringatan dan ucapan syukur kepada Tuhan untuk penyeberangan Laut Merah (Kel 14:15-31), tetapi juga memiliki makna spiritual yaitu pemurnian jiwa.
Merayakan PeºsaH di dalam masing-masing Rumah Tangga
Setelah kita melihat sekilas tentang makna Paskah dalam tradisi Yahudi dan Kristiani, saya mengajak kita untuk memfokuskan diri pada perintah Tuhan kepada umat Israel dalam merayakan Paskah. Dalam Keluaran 12: 3, Tuhan memerintahkan demikian “Katakanlah kepada segenap jemaah Israel: Pada tanggal sepuluh bulan ini diambillah oleh masing-masing seekor anak domba , menurut kaum keluarga, seekor anak domba untuk tiap-tiap rumah tangga.” Selanjutnya dikatakan bahwa darah anak domba itu haruslah dioleskan pada kedua tiang pintu dan pada ambang atas, pada rumah-rumah di mana orang memakannya (12: 7).
Dalam Perjanjian Baru, Kristus adalah domba Paskah kita (1 Kor 5: 7). Kristus adalah Anak Domba Allah (Yoh 1:29). Tidak ada satu pun tulang domba yang harus dihancurkan dan ini digenapi dalam Kristus (Yoh 19:33), lambang kekuatan Kristus. Darah anak domba itu harus dipercikkan, lambang percikan jasa kematian Kristus pada jiwa kita dan karenanya kita harus berdamai dengan Allah (Rm 5:11).
Baca juga:
- "Bila kamu sendirian, itu artinya kamu berdua" : Cara mengatasi ketakutan akan kematian dan kesepian karena Covid-19
- Virus Corona mengambil alih peran malaikat pencabut nyawa
- Harapan Kristen akan kehidupan setelah kematian
Fokus kita ialah perayaan itu dilakukan di rumah tangga masing-masing. Pertanyaannya ialah mengapa perayaan itu dilaksanakan di masing-masing rumah tangga? Ikatan keluarga dalam tradisi Yahudi sangat kental. Apalagi pada saat itu, Israel sedang berada di bawah penindasan orang-orang Mesir maka semangat kekeluargaan itu menjadi kuat. Allah menghendaki agar anak domba yang disembelih itu harus dimakan sampai habis oleh anggota keluarga yang bersangkutan. Mereka harus saling berbagi satu sama lain. Di saat itulah, tercipta suasana kasih dan persaudaraan.
Masih dalam semangat kekeluargaan itulah, kita ingin menghadirkan kembali Paskah Yahudi dalam konteks sekarang ini. COVID-19 telah membuat kehidupan beragama menjadi berjarak satu dengan yang lain. Bukan berarti bahwa kita telah terlepas atau memisahkan diri dari persekutuan dengan jemaat beriman yang lain. Kini saatnya kita merayakan Paskah di dalam keluarga kita masing-masing. Setiap anggota keluarga berkumpul, berdoa, membaca firman Tuhan dan bersyukur kepada Tuhan.
Cara hidup jemaat perdana juga menunjukkan hal yang sama. Mereka berkumpul bersama di rumah lalu memecahkan roti dan berdoa (Kis 2: 41-47). Meskipun dikisahkan juga bahwa mereka melakukan hal itu secara bergilir dari rumah ke rumah. Tetapi untuk saat ini, dianjurkan agar minimal hanya kita dalam keluarga inti, dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Social Distancing
Pertama-tama perlu dihayati bahwa Gereja adalah kita, umat Allah, orang yang dibaptis. Sementara keluarga adalah persekutuan gereja terkecil. Di dalam gereja kecil itulah kita merayakan Paskah. Dengan merayakan Paskah dalam keluarga dengan situasi seperti ini justru membuat iman kita semakin kuat. Bedanya ialah kita tidak merayakan Ekaristi. Tetapi jika kita bandingkan dengan saudara-saudara kita di pelosok-pelosok yang jauh dari paroki, mereka hanya merayakan ekaristi hanya setahun sekali.
Sementara itu ada di antara kita yang merayakan Ekaristi hampir setiap hari. Jika kita menoleh ke belakang pada sejarah Gereja perdana, jemaat Kristen perdana dikejar-kejar dan dibunuh karena menjadi pengikut Kristus. Mereka masuk ke katakombe-katakombe atau ruangan-ruangan bawah tanah untuk berkumpul dan berdoa.
Dalam situasi sulit seperti ini pemerintah menganjurkan kita untuk menjaga jarak, tidak berkumpul dalam jumlah yang besar. Dengan demikian apakah dengan tidak ke gereja pada Pekan Suci membuat iman kita pudar? Pertama-tama saya katakan tidak. Kita sedang berada dalam situasi sulit, dilema. Kita harus memilih satu dan mengabaikan yang lain dengan pertimbangan demi “kebaikan bersama.” Misalnya kita pergi ke gereja mengikuti Perayaan Ekaristi, dengan durasi waktu sekitar 3-4 jam (misalnya perayaan malam Paskah) dan duduk saling berdempetan. Hal itu sangat rentan untuk penyebaran virus, jika ada di antara umat beriman yang sudah terkena virus sebelumnya. Virus itu kemudian ditularkan ke orang lain dan selanjutnya ke orang lain lagi.
Di satu sisi kita sungguh-sungguh mengamalkan ajaran iman kita, tetapi di sisi lain kita menjadi sumber malapetaka bagi yang lain. Semoga kita tidak seperti orang-orang yang dikatakan oleh Allah dalam kitab Yesaya “Bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya padahal hatinya menjauh dari pada-Ku dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan” (Yes 29: 13).
Covid-19 tidak mengenal orang beriman atau tidak beriman, orang kaya atau orang miskin. Salah satu contoh di Italia. Ada beberapa pastor di sebuah keuskupan yang meninggal karena terpapar COVID-19. Mereka terinfeksi pada saat mendengar pengakuan dosa. Di sini saya hendak katakan bahwa siapa saja bisa terpapar oleh COVID-19. Seorang pastor yang misa setiap hari saja bisa terpapar COVID-19 dan meninggal.
Lalu apakah kita mulai mempersalahkan Tuhan bahwa mengapa Tuhan mendatangkan virus ini dan membunuh ribuan orang? Apakah virus ini adalah sebuah hukuman dari Tuhan atas manusia yang berdosa? Saya berharap kita jangan terlalu jauh mengadili Tuhan. Tuhan yang kita imani adalah Mahabaik, Mahamurah, panjang sabar dan penuh kasih setia.
Tuhan tidak akan pernah menimpahkan malapetaka kepada umat-Nya. Virus ini adalah sebuah kejadian alamiah, datang dan pergi begitu saja. Kita adalah makhluk hidup yang punya rasa sehingga mampu merasakan adanya sakit penyakit termasuk kemungkinan untuk diserang oleh COVID-19 dan juga jenis penyakit lainnya.
Mengambil Hikmah dengan Sebuah Perspektif Baru
Saya ingin mengakhiri refleksi ini dengan mengajak kita semua mengambil hikmah dari situasi COVID-19. Perasaan takut dan panik adalah wajar. Untuk itu pemerintah dan gereja menganjurkan untuk social distancing agar mata rantai penyebaran virus ini bisa diputuskan. Mari kita dengarkan Allah yang sedang berbicara kepada mereka. Kita tidak seperti bangsa Israel di padang gurun yang tegar hatinya dan tidak mendengarkan Musa.
Di satu sisi saya setuju dengan anjuran untuk tetap berada di rumah jika tidak ada kesibukan yang sangat mendesak di luar rumah. Apalagi dalam suasana Pekan Suci dan Paskah nanti. Bisa jadi bahwa di tahun-tahun sebelumnya ada anggota keluarga kita yang terlalu sibuk di luar rumah sehingga jarang kumpul bersama di rumah. Maka inilah saatnya untuk setiap anggota keluarga berkumpul dan membagi sukacita Paskah.
Di sisi lain, dengan merayakan Pekan Suci di rumah juga kita menjadi solider dengan saudara-saudara kita di belahan bumi lain yang masih dilanda COVID-19, di mana setiap hari masih banyak korban bahkan banyak dari korban itu yang meninggal. Kita berkumpul dalam keluarga dan berdoa bagi mereka yang sedang sakit agar sembuh dan yang sudah meninggal dunia agar diberikan keselamatan kekal oleh Allah. Tidak lupa pula kita berdoa bagi para medis yang bekerja siang dan malam tanpa kenal lelah untuk merawat para penderita COVID-19.
Semoga momen Paskah yang spesial di tahun 2020 ini, semakin membuka wawasan kita untuk solider dengan saudara-saudari di belahan bumi lain dan semakin memantapkan iman kita bahwa dalam situasi apapun “Tuhan lewat” di depan rumah kita. Kali ini kita tidak datang ke gereja untuk merayakan Ekaristi, tetapi Tuhan yang akan mendatangi rumah kita masing-masing, makan bersama kita dan bersama-sama merayakan misteri keselamatan kita lewat sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18,20). Selamat Paskah 12 April 2020.***
Oleh David Dapi Losor OFM
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment