Cerpen
Headline
Rumah Singgah
Sastra
CERPEN: Tempat Persinggahanmu yang Terakhir
Sunday, March 11, 2018
0
Foto: Oma Gina yang lagi duduk santai di teras depan Rumah Singgah St. Antonius Padua |
Quote Amor - Belasan tahun, rumah para musafir, pencinta kemiskinan telah menjelma sebagai saudara di tengah-tengah mereka yang kecil dan sederhana. Rumah yang telah menjadi pohon rindang yang teduh, yang memberikan naungan bagi mereka yang kepanasan karena himpitan bangunan pencakar langit yang tak lagi peduli dengan siapa pun di sekitarnya.
Para musafir pencinta kemiskinan menamakan rumah itu sebagai rumah singgah yang mengidentifikasi dirinya untuk melayani mereka yang terlempar dari hamparan apatisme yang mengelora dalam gelombang kemapanan. Seribu mata yang hanya bisa memandang lalu mengiba. Tapi aneh, tanpa menyapa dan mengulurkan tangan. Katanya takut terinfeksi kemiskinan yang akan menipis kekayaan tanpa usaha.
Para kelana dari berbagai penjuru datang dan pergi, mencicipi hidangan kasih dari pelayanan para musafir pencinta kemiskinan. Mereka datang dengan wajah yang kusuh dan kelam, seakan tak lagi punya harapan bertahan hidup.
Ada yang kehausan kasih dari istri dan anaknya, tak lagi peduli dengannya karena tak punya tenaga lagi untuk mencari nafkah. Atau ada yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan, dan rel Kereta Api. Mereka tak punya saudara dan tenaga lagi untuk membagi kisah dalam kasih. Mereka hanya bisa berpasrah dan berharap kepada mereka yang bisa membaca suasana batin mereka. Dengan penuh kasih, para musafir pencinta kemisikinan memberikan diri untuk melayani mereka.
Di sinilah para musafir mengasah hati nuraninya, membeningkan benih kasihnya yang selalu diolah melalui kesabaran dan ketulusan agar bisa bertumbuh subur menjadi pohon Ara yang dapat memberikan naungan bagi lebih banyak orang lagi.
Para musafir pencinta kemiskinan berusaha terus hadir, dengan kekhasannya, memakai mantol kesederhanaannya, menyambut mereka dengan guratan yang khas pada wajah serta bersama sebakul roti dan secanggkir Anggur merah di tangan untuk hidangan bersama para kelana dalam perjamuan persaudaraan.
Perjamuan itu membuat mata sayu menjadi ringan, mulut pun berkata-kata, dan akhirnya terbitlah senyum yang membias hingga gelak tawa memenuhi isi rumah itu. Inilah suasana yang menjadikan gubuk kecil itu sebagai tempat pemulihan bagi mereka yang sakit, terlantar dan terbuang dari tata kehidupan sosial.
######
Di malam yang telah menorehkan tinta dengan penuh kenangan, seorang musafir pencinta kemiskinan, setelah melayani para pasien, dia merebahkan badannya dan duduk terpaku pada bangku di depan beranda rumah yang menjadi tempat belasan kasih bagi para kelana yang kehilangan sanak saudaranya.
Di bangku itu, sang pemuda menyandarkan badannya yang berotot, sambil menikmati dinginnya angin malam, yang menembus sampai ke kedalaman hatinya. Sang pemuda, entah kenapa, tiba-tiba ia tersenyum sendiri lalu menggelengkan kepalanya. Mungkin karena tadi siang dia berjumpa dengan teman lamanya atau kekasih lamanya waktu di SMA, pikirku. Entalah, aku hanya bisa menatap sambil menduga-duga.
Saudara,..” tiba-tiba dia membuka keheningan di antara kami berdua, “kita sekarang berada di tengah-tengah pusaran hidup manusia yang berwajah ganda, kayaknya juga kita berada di sebuah ruangan luas yang remang dan dijejal orang-orang yang saling bersesakkan. Yang tak kuat akan diinjak, takpeduli siapa pun dia.” Katanya dengan penuh santai sambil menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. Aku tidak langsung bertanya apa maksud dari ungkapannya yang bernas itu. Aku hanya mengikuti ajakkannya, duduk di samping dia.
“Tapi saudaraku,” katanya lagi, “kita telah menjadi “Lilin Harapan” yang terus meleleh bagi mereka yang tak punya daya tuk bertahan di tengah kerumunan banyak orang,” jelasnya penuh semangat.
Aku menjadi semakin tidak mengerti kata-katanya, karena tidak biasanya dia berbicara seperti itu. Apalagi kata-katanya cukup abstrak. Aku pun hanya bisa menganggukkan kepala dan membalas dengan senyum.
“Karena itu,” dia semakin menggurui aku, “perjumpaan kita dengan para pasien di rumah ini, telah memberikan perbendaharaan makna yang terus mengisi kantong pengalaman kita yang belum terisi penuh untuk lebih terbuka melayani orang lain dengan tulus. Sebab mereka telah mengajarkan kita bagaimana melayani dengan penuh kesabaran dan ketulusan.”
Tangannya meyeka wajahnya lalu menatap aku. “hei,… kenapa kamu tidak menjawab.”
Aku tetap diam, melongo menatap dia tanpa kata-kata, karena aku tak tahu harus berkata apa. Sebab ucapannya seperti api unggun yang memberikan kehangatan di tengah malam yang sangat dingin menusuk tulang.
“Maklumlah dia memang sudah patah arang berjumpa dan melayani para pasien di rumah singgah ini. Bisikku dalam hati. “bahkan dia bersama beberapa saudaranya, sering mengunjungi orang-orang yang tinggal di pinggir rel Kereta Api. Pasti dia merasa terpukul dengan kehidupan orang itu.”
“Memangnya apa yang terjadi saudaraku.” Tanyaku untuk tidak terkesan aku hanya mendengar saja.
“Ya... Aku selalu mendapat kejutan ketika melayani para pasien di sini.”
“kan setiap saat, kita selalu dikejutkan oleh waktu yang terus berlalu.” Aku coba mengkritisi kata-katanya. “tapi kita kadang tenggelam dalam aktivitas. Ehhh, tidak, maksud aku tidak menyadarinya.”
“Oh, tidak..!!! justu kita berkesan karena hal itu jarang kita alami.” katanya dengan penuh yakin. “Apa kamu masih ingat sama Oma Gina yang pernah tinggal di sini?” tanyanya.
“Ya. Aku ingat, memangnya kenapa?”
“Dia telah menunjukkan kepadaku bagaimana melayani dengan penuh pengorbanan.”
“Kamu tahu,” katanya lagi, “oma Gina sebelum tinggal di sini. Dia hanya punya gubuk rehot di samping rel Kereta Api. Setiap hari dia bekerja keras hanya untuk mencari makanan untuk kucing-kucing yang ada di sekitar rel Kereta Api. Dia tak peduli dengan dirinya, semuanya dia berikan untuk kucing-kucing itu.”
“Kemudian nasib menimpanya ketika usia dimakan waktu,” dia melanjutkan kata-katanya, “tak ada yang peduli dengannya, kucing pun yang dia layani selama itu tak memahami keadaanya.”
“Tapi…,” jari-jari tangannya memijit kepalanya sambil berpikir keras, “mungkin karena doa kucing-kucing yang dilayaninya itu, oma Gina akhirnya bertemu dengan kita.”
“Ya, bisa jadi.” Jawabku seadanya.
“Dan juga sebelum dia pergi untuk selamanya, dia kembali mengetuk hatiku. Dia meminta aku menginjakkan badannya yang kurus kerempeng. Aku tak tegah tapi karena dia terus menjerit. Katanya, dia akan bisa tidur kalau diinjak badanya. Akhirnya aku melayaninya.”
“Kamu tahu,” katanya lagi, “dia bilang, dia sudah lama menanti hari kematiannya tapi tak kunjung datang dan selama hidupnya dia tak pernah minta bantuan siapa pun tapi malam itu dia kehabisan tenaga menahan sakitnya itu, dia pun meminta aku untuk terakhir kalinya. Esoknya dia tak bangun lagi dan tidur untuk selamanya.”
####
Perjumpaan dengan oma Gina meninggalkan sekuntum bunga mawar yang menggugah sekaligus menusuk hati dan pikiranku ketika melihat orang kecil dan sederhana. Mereka hidup miskin dan sederhana seperti itu bukan karena mereka malas tetapi karena keberuntungan tidak berpihak pada mereka.
Karena itu, oma Gina telah menjadi guru yang tak dapat dibalas dengan apa-apa. Akhirnya waktu tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktunya untuk tidur karena esok pagi harus cepat bangun untuk memandikan para pasien. Kami berdua pun kembali ke kamar tidur untuk istirahat malam.***
Oleh Albertus Dino
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment