Berziarah Bersama Paulo Coelho untuk Menemukan “Pedang” kita Sendiri – dari Novel The Pilgrimage
Albertus Dino (foto Pribadi) |
Oleh : Albertus Dino
Quote Amor - Helo, sahabat Quote Amor dimana pun Anda berada. Kali
ini, saya ingin mengulas isi novel Ziarah (The Pilgrimage), karya Paulo
Coelho. Oh ya, apakah sobat-sobat
sudah mengenal sang Novelis ini?
Saya yakin pasti ada yang sudah mengenalnya, tentu
mengenalnya melalui novel-novelnya yang sudah sangat mendunia (termasuk saya). Tetapi
mungkin ada juga yang belum mengenalnya. Oke baiklah, sebelum saya mengulas
novelnya yang berjudul “Ziarah” (The Pilgrimage), saya ingin memberikan gambaran
singkat tentang dirinya.
Bagi orang yang mengenal Paulo Coelho (membaca karya-karyanya),
saya yakin mereka dapat mengidentifikasi betapa menarik dan memikatnya tulisan-tulisan
yang dihasilkannya. Saya sudah membaca beberapa novelnya dan saya sangat suka
dengan alur cerita dan sudut pandang yang digunakannya.
Tulisannya mengajak orang berefleksi tentang hidup dan
dirinya, bagaimana menemukan makna dari setiap pertualangan hidup. Paulo, melalui
novelnya, mengajak pembacanya mengikuti petualangan bersamanya hingga sampai
akhir cerita, dan di akhir cerita orang akan menemukan suatu pencapaian atau
kesadaran tentang dirinya sendiri. Cerita-ceritanya pun sangat dekat dengan
pengalaman hidup kita sehari-hari. Bagaimana kita bisa keluar dari setiap
persoalan dan menjadi diri kita sendiri.
Coelho adalah seorang penulis asal Brasil yang telah
menjual lebih dari 140 juta buku di seluruh dunia. Sebagian besar bukunya
bersifat otobiografi, menulis ulang pengalaman hidup dan pengetahuannya. Gaya penulisannya
bernuansa puitis tetapi sedikit kontroversi karena cenderung ke hal-hal yang
mistis.
Saya menyarankan kalau sobat-sobat Quote Amor ingin mendapatkan
perspektif yang lebih luas tentang kehidupan dan karya-karyanya, sobat-sobat bisa
membaca terlebih dahulu novelnya yang berjudul “The Alchemist.”
Nah, sekarang saya ingin mengajak sobat-sobat untuk
menggali harta karun yang tersimpan dalam novelnya yang berjudul Ziarah - “The Pilgrimage.”
Menemukan harta
karun dalam Ziarah – The Pilgrimage
Ziarah merupakan novel yang membuka jalan bagi
novelnya yang sangat terkenal, The
Alchemist. Novel ini terbagi menjadi 11 bagian dan isinya berkisah tentang
pengalaman Paulo Coelho ketika dia berziarah ke Santiago di Spanyol Utara
(Santiago de Compostela Camino).
Dia menyajikan kisahnya sebagai kisah nyata (dan saya sangat yakin bahwa Paulo Coelho berjalan di Camino) tetapi kisah itu mengandung beberapa elemen esoterik yang menurut saya, Paulo mengkombinasikannya dengan bahasa puitis sehingga enak dibaca. Meskipun begitu, ceritanya menarik karena mengisahkan tentang seorang petualang yang melakukan ziarah untuk mengenal jati dirinya.
Baca juga:
- Harga Sebuah Kepercayaan (dari Novel Tere Liye)
- Satu Harapan Bisa Mengubah Seluruh Dunia
- God's Spy : Mata-Mata Tuhan Menyelidiki Pembunuh Berantai di Vatikan
Paulo Coelho menceritakan kisah perjalanan ziarahnya
dalam kerangka kisah latihan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam
masyarakat esoteris yang dia sebut sebagai "The
Tradition". Dalam tradisi ini, Paulo belajar bahwa orang yang bisa
mencapai level tertinggi akan dianugerahkan pedang kepadanya dan pedang itu
sebagai simbol yang menjadikannya sebagai guru.
Namun Paulo Coelho gagal dalam ujian terakhir. Dia tidak
bisa melewati tantangan terakhir sehingga dia dinyatakan gagal mendapatkan
pedangnya. Dia diperintahkan oleh gurunya untuk melakukan penebusan dosa dengan
melakukan ziarah Santiago. Apabila dia berhasil menyelesaikan ziarah dan mampu
mengikuti latihan sepanjang perjalanannya ke Santiago, ia akan menerima pedang
dan diangkat menjadi seorang guru.
“…Tapi hal yang kutakutkan akhirnya terjadi, pada saat
terpenting kau jatuh dan terperosok. Karena kesombonganmu, kini kau harus
kembali mencari pedangmu di antara orang-orang biasa. Karena kekagumanmu akan
mukjizat-mukjizat, kau harus berjuang mendapatkan kembali apa yang hampir diberikan
kepadamu dengan penuh kemurahan hati.”
Sang novelis menyusun “Ziarah” menjadi sebelas bagian,
yang masing-masing merupakan cerita tentang pelajaran yang didapatnya dalam
perjalanannya ke Santiago. Paulo, yang didampingi oleh Petrus, melakukan ziarah
ini untuk mendapatkan kembali pedangnya, yang menunjukkan pada proses pencarian
iman, kerendahan hati dan keyakinannya. Proses pencarian itu didasarkan pada
hidupnya, dan perjalanannya untuk menemukan tujuan yang dimulai pada tahun
1986, ketika dia memutuskan untuk mengambil langkah itu.
Ceritanya dimulai dengan Coelho mengalami krisis
spiritual, dan pemandunya mengatakan kepadanya bahwa untuk mencapai
kepenuhannya sebagai manusia, dia harus menyelesaikan "Jalan Menuju
Santiago." Paulo Coelho pada awalnya enggan,
tetapi dia menyadari bahwa hal itu perlu untuk berkembang sepenuhnya sebagai
manusia. Dia bertemu dengan pembimbingnya, yang mendorongnya untuk keluar dari
cara berpikirnya yang lama dan berusaha melampaui batas pemikiran itu.
Paulo Coelho menggunakan prosa yang sama dan sangat
mudah dipahami untuk secara efektif menyampaikan kebijaksanaan dan inspirasi
yang dialaminya, seperti yang dia gunakan dalam buku terakhirnya, The Alchemist. Dalam “Ziarah” -The Pilgrimage- Paulo menggunakan pedang
sebagai simbol pangkat yang diinginkannya dan sebagai tujuan ziarahnya itu. Dia
juga menegaskan bahwa orang harus bisa menjalankan hidupnya secara efektif
dengan terus berjuang untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Sedangkan dalam The Alchemist, Coelho menyajikan konsep
yang sama dengan menemukan harta karun yang tersimpan dalam diri setiap orang.
Namun secara keseluruhan, Paulo Coelho, melalui “Ziarah”;
The Pilgrimage menunjukkan pergulatan
yang dialaminya dalam perjalanan ziarahnya ke Santiago. Melalui latihan-latihan,
dia belajar membuat pertimbangan-pertimbangan dan itu sangat menginspirasi saya.
Sepanjang jalan, dia bercakap-cakap dengan malaikat
dan iblis, berkelahi dengan anjing yang dirasuki iblis, dan terlibat dalam
ritual kuil kuno di serangkaian reruntuhan di tengah malam. Dia menyajikan
semua ini sebagai fakta, dan saya tidak akan mengabaikannya. Alam semesta itu luas
dan saya berpikir, kita pada umumnya, tidak sepenuhmya memahami seluruhnya, siapa
kita dan di mana kita berada. Setidaknya, kita bisa belajar dari kisah
perjalanan ziarah Paulo Coelho dalam perziarahan hidup kita, supaya kita
memiliki keyakinan dan kerendahan hati dalam menempuh perjalanan hidup kita dan
akhirnya kita bisa menemukan “pedang” yang kita cari.
Latihan bersama
Paulo Coelho menemukan diri kita sendiri
Pada satu titik dalam perjalanan ziarah ke Santiago, Coelho berkata, “Saya mulai merasakan sakit yang luar biasa, karena sekarang saya tahu saya hanya selangkah dari kesuksesan. Ini adalah saat ketika kekuatan seseorang mulai melemah dan seseorang kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Pada beberapa kesempatan dalam hidup saya, saya tenggelam di menit-menit terakhir berenang menyeberangi lautan dan tenggelam dalam gelombang penyesalan. Tapi saya sedang dalam perjalanan ke Santiago dan pengalaman lama itu tidak boleh terulang kembali. Saya harus menang.”
Kutipan ini sangat membantu dalam memahami perjuangan
dan pergulatan yang dialami Paulo sepanjang ziarahnya ke Santiago. Tantangan
dan pergulatan sepanjang perjalanan itu tidak menghilangkan semangatnya untuk
terus berjuang.
Justru pengalaman kegagalan mendapatkan pedang menjadi
kekuatan baru untuk menghadapi dan melewati setiap rintangan yang dilaluinya. Paulo
terus meyakinkan dirinya, dibantu oleh Petrus, pemandunya, untuk bersikap lebih
bijak melawan keraguan yang terus menderu dalam pikirannya.
Memang Paulo kadang ragu bahwa dia bisa melakukan
perjalanan itu, merasa pesimis, lelah, kecewa karena harus mengulang lagi
latihannya untuk mendapatkan pedang, dan marah kenapa harus melakukan ziarah
tersebut. Perasaan-perasaan itu menguras energinya tetapi Coelho kemudian membuat
satu keputusan yang sangat menentukan proses selanjutnya.
Paulo akhirnya memilih untuk melakukan perjalanan
ziarah itu menuju Santiago. Dia mengikuti instruksi dari pemandunya dan
mengikuti berbagai latihan yang diberikan di sepanjang perjalanan itu. Dan
latihan itu akhirnya membantunya mengenal dirinya dan mengetahui bagaiaman
seharusnya bersikap dalam menghadapi setiap tantangan dan kesulitan.
Ceritanya dimulai
ketika dia sudah mencapai tahap terakhir untuk menjadi guru dalam tradisi RAM.
Pada saat itu, dia diberikan cobaan oleh gurunya dengan memberikan pedang
kepadanya. Tanpa berpikir panjang, Paulo Coelho, segera menerima pedang tersebut
tanpa ragu sedikit pun. Namun apa yang terjadi, gurunya mengatakan bahwa dia
belum layak menerima pedang itu. Paulo gagal mendapatkannya.
Kalau Paulo masih ingin mendapatkan pedang itu, dia
harus melakukan perjalanan ziarah ke Santiago sebagai jalan penebusan.
“Jalan Tradisi bukan hanya untuk mereka yang terpilih.
Semua orang dapat menempuh jalan itu. Dan kekuatan yang kaurasakan kaumiliki
tidaklah berguna, karena kekuatan itu dapat dikuasai semua orang. Seharusnya
kau harus menolak pedangmu.Jika kau menolaknya, pedang itu akan diberikan
kepadamu, karena penolakanmu menunjukkan kemurnian hati. Tetapi tetapi hal yang
kutakutkan benar-benar terjadi, pada saat terpenting kau jatuh dan terperosok.
Karena kesombonganmu, kini kau harus kembali mencari pedangmu, di antara
orang-orang biasa. Karena kekagumanmu akan mukjizat-mukjizat, kau harus
berjuang mendapatkan kembali apa yang hamper diberikan kepadamu dengan penuh
kemurahan hati.”
Sobat-sobat bisa membayangkan ekspresi wajah Coelho
ketika dia kehilangan sesuatu yang sebenarnya selangkah lagi mendapatkan hal
tersebut. Dia sudah melewati proses yang panjang untuk mendapatkan pedang itu
tetapi di akhir perjalanan, dia dinyatakan gagal dan harus mulai dari awal
lagi.
Mungkin kita pernah mengalami momen seperti itu. Kita
sudah berjuang dengan sepenuh hati, mengeluarkan seluruh kemampuan kita dan
berharap kita akan berhasil mendapatkannya, namun ternyata gagal. Apa yang
harus kita lakukan pada saat seperti itu?
Mungkin ada yang putus asa lalu meninggalkan
perjalanan itu. Tetapi apa yang akan kita dapat setelah kita meninggalkan dan
tidak mau berjuang lagi. Ya, yang ada, pasti hanyalah penyesalan yang panjang,
yang akan membuat diri kita merasa tidak berarti lagi dan perlahan-lahan
perasaan itu membuat kita semakin terpuruk.
Namun pilihan untuk berjuang lagi menjadi kekuatan
baru untuk belajar dari kegagalan agar tidak gegabah dalam sikap dan tindakan,
lebih hati-hati agar tidak terjadi kegagalan lagi. Inilah yang dilakukan oleh
Paulo Coelho. Dia memutuskan untuk menerima tantangan itu, melakukan perjalanan
ziarah ke Santiago
Paulo memang berat menerima kenyataan tersebut tetapi
dia kemudian tidak berhenti untuk berjuang kembali. Karena kegagalan pada
hakikatnya adalah suatu bagian hidup yang harus dialami oleh setiap orang
supaya orang tersebut mampu memiliki keutamaan kerendahan hati, bahwa dia hidup
bersama orang lain dan membutuhkan yang lain.
Kekecewaan pun kadang diperlukan, karena kekecewaan
itu akan menjadi kesempatan untuk mengenal dan memahami diri sendiri sehingga
dengan mudah untuk mengenal dan memahami keadaan dan orang-orang yang ada di
sekitarnya. Pengalaman ini akan membawa kita menjadi orang yang lebih baik
lagi.
Mengejar iman dan kebaikan akan menuntut kita untuk
bertarung dalam beberapa pertempuran, baik di dalam diri kita sendiri maupun
yang telah terjadi di sekitar kita. Hal tersebut membutuhkan fokus, waktu,
komitmen, dan kesabaran kita.
Pemandunya, Petrus, terus mengingatkan Paulo bahwa: “saat
kita bergerak menuju suatu tujuan, sangat penting untuk memperhatikan jalannya.
Jalan itulah yang mengajari kita cara terbaik untuk sampai ke sana, dan jalan
itu memperkaya kita ketika kita menempuh jaraknya. Itu hal yang sama ketika kita
mempunyai tujuan dalam hidup, tujuan itu akan menjadi lebih baik atau lebih
buruk tergantung pada cara yang kita pilih untuk mencapainya dan bagaimana kita
menegosiasikan cara tersebut.”
Gagasan reflektif dalam novel ini membuat saya membolak-balik
setiap lembar dan menggali lebih jauh kedalaman refleksi kehidupan pribadi
Paulo Coelho. Bagaimana dia bisa menemukan dirinya, bertarung dengan egonya dan
bagaimana dia menanggapi situasi yang terjadi di sekitarnya.
Bagi orang yang mungkin sudah berjuang untuk
mewujudkan impian mereka dan menemukan tujuan dari apa yang mereka lakukan, novel
“Ziarah”- The Pilgrimage, karya Paulo
Coelho memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa hidup bukan soal sejauh
mana kita mencapai suatu perjalanan tetapi yang paling utama adalah bagaimana
kita menyikapi setiap peristiwa dan pengalaman dalam proses perjalanan itu. Kesadaran
itulah yang membuat ziarah hidup kita akan menemukan maknanya.
Karena kita semua memiliki sesuatu yang perlu
ditambahkan atau dihapus dari hidup kita tetapi apa yang kita pilih pada
akhirnya akan berhubungan satu sama lain.
Oke, sobat-sobat Quote Amor, sampai disini saja ulasan
saya tentang novel Ziarah – The Pilgrimage,
karya novelis terkenal asal Brasil. Saya menantikan ulasan-ulasan sobat-sobat
tentang novel ini. Tentunya, sobat-sobat harus membacanya terlebih dahulu, hehehe….
Satu kutipan terakhir dari Ziarah yang ingin saya
bagikan bagi sobat-sobat Quote Amor, yang menurut saya, dapat membanu sobat
sekalian dalam menghadapi kesulitan hidup, khususnya di masa pandemi covid-19
ini.
“Waktu bukanlah sesuatu yang selalu berjalan dengan
kecepatan yang sama. Kitalah yang menentukan seberapa cepat waktu berlalu.”
Sampai jumpa lagi pada tulisan-tulisan berikutnya.
Pace e Bene.
Leave Comments
Post a Comment