Berita
Quote Amor - Sang misionaris di tanah Papua, Pater Frans Lieshout, OFM, telah dijemput saudari maut pada 1 Mei 2020, Pukul 13.15 waktu setempat, di salah satu Biara OFM, Amsterdam Belanda. Misionaris yang pernah berkarya di Bumi Cenderawasih ini berpulang dengan tenang dan senyum tanpa mengeluh sakit yang ia derita.
Misionaris yang sangat mencintai Tanah Papua telah kembali ke Rumah Bapa
Saturday, May 2, 2020
0
Pastor Frans Lieshout OFM |
“Perjalanan yang tak muda, tak serba pasti namun yakin dan percaya ada sejuta harapan”. Begitulah kira-kira perjalanan hidup Pater Frans Lieshout, OFM. Ketika datang ke Papua untuk mewartakan Kabar Sukacita bagi orang-orang di bumi Cederawasih ini, Pater Frans belum mengetahui banyak hal tentang Papua saat itu. Hanya bermodalkan iman dan harapan, ia datang sebagai seorang Misionaris Fransiskan dari Belanda.
Beliau lahir di Kota Montfoort (Belanda), pada 15 Januari 1935. Ia mulai bermisi di Papua sejak 18 April 1963, sebagai seorang misionaris Fransiskan. Baginya berkarya di Papua merupakan sebuah pilihan dan karena itu ia berkomitmen untuk memberikan seluruh hidupnya bagi umat Papua. Itu terbukti melalui pengabdiannya, ia telah melayani umat di Papua selama 56 tahun, dan sebagian besar pengabdiannya dihabiskan di Lembah Balim (Wamena). Keberadaannya di Wamena kurang lebih 26 Tahun. Pada tahun 1986, ia memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI).
Pilihan Pater Frans untuk melayani umat di pedalaman Papua tidak menjadi tantangan berat baginya. Karena ia juga pernah mengalami kehidupan di kampung halamannya. Pater Frans menghabiskan masa kecilnya bersama keluarga asal di kampung halamannya, selain itu ia mengeyam pendidikan dasar juga di kampung tersebut. Masa kecilnya penuh dengan pergolakan karena perang dunia ke-2. Dampak perang tersebut membekas dalam ingatan Pater Frans bersama keluarganya.
Setelah tamat dari sekolah menengah (Gynasium), pada 1955 dalam usia 20 tahun, Pater Frans memutuskan untuk bergabung dalam Ordo Fratrum Minorum (OFM), studi Filsafat dan Teologi pada tahun 1956-1962. Pada tahun 1962 ia ditabiskan menjadi imam dalam Persaudaraan Fransiskan Provinsi Belanda. Sebelum ia ditugaskan sebagai Pastor muda di Papua (Kala itu New Guinea), ia menjalani kursus persiapan sebagai seorang misionaris. Pada April 1963, Pater Frans datang ke Papua. Setelah menempuh perjalanan yang panjang dari benua Eropa, akhirnya Pater Frans tiba di Papua.
Karya –Karya Selama Di Papua
Tempat-tempat karya pater Frans selama menjadi misionaris di Papua: Pada 1963, ia memulai masa tugasnya di Waris (Kab. Keerom). Tugas ini pada dasarnya sebagai bagian dari penyesuaian sebelum berkarya. Pada 1963-1964, menjadi sekretaris II di Keuskupan Jayapura. Pada 1964- 1967, Pastor paroki di Paroki Musatfa Balim. Pada 1967 - 1973, ditugaskan menjadi pastor paroki di Bilogay (Kab. Intan jaya). Pada 1973- 1983, menjadi rektor SPG Teruna Bakti Waena (sekarang menjadi SMA Katolik Teruna Bakti). Pada 1983 - 1985, ditugaskan menjadi Pastor koordinator 3 paroki kota di Jayapura (Katedral, APO dan Argapura). Pada 1985 - 1996, menjadi pastor Dekan Dekenat Jayawijaya (sekarang Dekenat Pegunungan Tengah). Pada 1996 - 2002, ditugaskan sebagai pastor Dekan Dekenat Jayapura dan merangkap sebagai Dosen Liturgi pada STFT Fajar Timur, Abepura. Pada 2002 - 2007, ditugaskan sebagai pastor paroki di paroki Biak. Pada 2007-2019, memasuki masa pensiun. Sebagai bentuk kecintaannya kepada orang Balim, ia memutuskan untuk kembali ke Balim dan tinggal di sana untuk menikmati masa pensiunnya.
Pater Frans adalah orang yang pantang mundur dalam mewartakan Kabar Baik bagi semua orang yang ia layani. Pater menjadi pelaku pembawa damai di Papua pada umumnya dan Lembah Baliem pada khususnya. Ia juga aktif mengajar budaya Baliem dan Sejarah Gereja kepada Postulan OFM di Pikhe Wamena. Ia juga sangat fasih dalam bahasa Baliem, sampai-sampai ia sendiri memimpin Ekaristi menggunakan bahasa setempat.
Tetapi tidak hanya aktif dalam berpastoral, Pastor kelahiran Belanda ini juga telah menulis beberapa buku seperti buku Sejarah Gereja Katolik Lembah Baliem, Kamus bahasa Balim dan dua buku yang lain. Ia bekerja sama dengan petugas pastoral Beliem dalam menyelsaikan buku-buku tersebut. Pada 17 Oktober 2019, Sdr. Frans pamit dari Lembah Agung (Baliem) untuk kembali ke Belanda, dan tepat pada 28 Oktober 2019, Sdr. Frans meninggalkan Papua untuk selamanya. Keputusan ini memang berat baginya tetapi semua ini terjadi karena pertimbangan kesehatannya.
Perjumpaanku dengan Pater Frans, OFM
Saya berjumpa dengan Pater Frans untuk pertama kalinya di Wamena pada tahun 2011. Ia datang menjemput saya bersama dengan beberapa saudara yang lain, yang waktu itu mau mengikuti masa Postulan. Saya sangat terkesan dengannya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai saudara kepada saya. Bagi saya ungkapan ini menjadi salah satu gambaran sosok Pater Frans yang sangat rendah hati. “Saya Saudara Frans. Saya datang untuk menjemput saudara-saudara calon Postulan,” ungkapnya kalah itu.
Selain itu juga, Pater Frans dikenal sebagai pribadi yang sangat peduli kepada yang lain. Pernah pada suatu kesempatan, saya bertanya kepada beliau ketika dia datang mengajar kami di Postulan OFM Pikhe. Tempat Postulan ini sangat jauh dari tempat tinggalnya, kurang lebih 7 km.
“Pater nayak, tidak capek datang mengajar kami di sini? tanya saya kepadanya.
“Berto Nayak, bagi kalian, saya datang untuk memberi pengabdian saya. Jarak tidak menghalangi saya untuk datang. Saya sendiri merasa senang dan bahagia bila berjumpa dengan kalian semua. Kalian adalah masa depan Ordo di Papua ini. Saya sudah tua,” ungkapnya dengan penuh persaudaraan.
Itulah caranya memberikan teladan kepada kami untuk memiliki sikap rendah hati dalam memberikan diri bagi Persaudaraan OFM dan Gereja Katolik di Papua.
Dia sangat menghayati hidup sebagai Fransiskan yang mencintai perdamaian. Dengan semangat itu, dia berjuang bersama orang Papua untuk mewujudkan perdamaian. Dulu, katanya, dia pernah terlibat dalam perang untuk membela kota kelahirannya. Tetapi dengan pengalaman iman yang luar biasa, ia kemudian menyadari bahwa peperangan tidak akan membawa kedamaian yang berasal dari Kristus.
Ketika bertobat dan memulai hidup yang baru sebagai seorang religius yang mencintai perdamaian, ia berani menyuarakan perdamai itu kepada semua orang yang ia jumpai. Bahkan ia rela menjadi martir di Timur Tengah demi suatu perdamaian pada saat perang salib sedang berlangsung. Cita-citanya tersebut tidak tercapai, tetapi tidak mematahkan semangatnya untuk menebarkan cinta kasih dan perdamaian kepada semua orang. Hingga akhir masa hidupnya, ia masih terus menyuarakan perdamaian yang tentunya bergandengan dengan sukacita bagi saudara-saudaranya. Pater Frans yang adalah salah satu Fransiskan yang membawa perdamaian kepada orang Papua, ia datang dari Belanda tanpa ragu-ragu tentang situasi dan kondisi yang ada di Papua saat itu.
Setiap orang Kristen dipanggil untuk mewartakan damai. Tentu damai yang dimaksudkan berasal dari Tuhan. Setiap kita yang sudah dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan tugas ini, dalam situasi apapun kita harus berani untuk mewartakan damai itu. Kita harus berani keluar dari kenyaman hidup kita, keluar dari kebiasaan buruk kita, keluar dari rasa ego kita sehingga, kedamaian itu bisa dirasakan oleh setiap insan manusia. Pater Frans telah menunjukkan hal ini dengan tindakan nyata. Ia berani datang dari tempatnya untuk membawa perdamaian itu.
Sejak bulan Agustus 2019, kesehatan Pater Frans mulai terganggu, sehingga ia menghabiskan banyak waktunya di Jayapura untuk berobat. Ketika selesai operasi pada bulan September 2019, satu bulan kemudian terdengar kabar bahwa Pater Frans memutuskan untuk kembali ke Negeri asalnya di Belanda. Berita itu mengagetkan orang Wamena, tetapi keputusan itu adalah pilihan terbaik demi kesehatan pater Frans.
Perjumpaan dan perpisahan
Benar orang mengatakan ketika ada perjumpaan, maka pasti akan ada perpisahan. Pater Frans pun mengakhiri perjalanan misinya di tanah Papua dan kembali ke Belanda. Sebuah perpisahan yang meninggalkan kenangan dan kenangan itulah yang akan selalu hidup dalam hati masyarakat Papua. Dan sebelum meninggalkan tanah Papua, Pater Frans berpamitan dengan masyarakat Papua.
Berturut-turut, di beberapa tempat, Pater Frans merayakan pesta perpisahan; 26 Oktober 2019 dengan seluruh masyarakat Wamena dan Moni di Jayapura, pada 27 Oktober 2019, dengan Saudara-Saudara Dina Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua di Provinsialat. Dan pada tanggal 28 Oktober 2019, Pater Frans akhirnya meninggalkan Papua dan berangkat ke Jakarta dan seterusnya akan melanjutkan perjalanannya ke Negeri Kincir Angin (Belanda).
Sdr. Frans OFM & Sdr. Berto OFM |
Setelah meninggalkan tanah Papua beberapa bulan yang lalu, terdengar kabar dari Negeri Kincir Angin bahwa Pater Frans telah kembali ke rumah Bapa di Surga. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi masyarakat Papua. Sosoknya dikenal tidak hanya sebagai seorang gembala yang baik tetapi sudah menunjukkan teladan sebagai seorang Bapa yang sangat mengasihi Bumi Cenderawasih.
Terimaksih Sdr. Frans Lieshout, OFM. Terimakasih untuk jasa baikmu. Terimakasih untuk teladan hidup yang engkau berikan kepada kami. Terimakasih untk karya dan pengabdianmu di Tanah Papua. Selamat jalan ke Yerusalem Surgawi "Nopase" Frans. Bahagia bersama para kudus dalam Kerajaan Surga. Doa kami mengiringi kepergianmu.
Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM
Biarawan Fransiskan Papua, tinggal di Waena.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment