Cerpen
Sastra
Setiamu Ibu
Monday, April 13, 2020
0
Setiamu Ibu (foto dari pixabay-com) |
Quote Amor - "Reni.....! Bangun.....! Hari sudah pagi nih. Ibu sudah siapin sarapan buat kamu. Ayo sini, kita sarapan" panggil sang ibu dengan nada penuh kasih pada Reni, anak semata wayangnya. Sang ibu selalu menyiapkan sarapan bagi buah hatinya. Baginya, memberikan cinta yang tulus dari seorang ibu, tidak selalu dalam hal-hal yang mewah. Sesederhana apapun yang kita lakukan kalau dengan tulus, maka pelayanan itu akan terasa menyenangkan.
Dengan prinsip itu, setiap pagi, sang ibu menyiapkan sarapan kepada buah hatinya. Itulah bukti cintanya kepada Reni, anak semata wayangnya.
Mungkin Reni belum memahami semuanya itu tetapi dia menunjukkan kepada Reni tentang ketulusan dalam melayani. Pagi itu, Reni tertidur dengan pulas bersama mimpi-mimpinya di atas tikar anyaman bambu, membolak-balikkan badannya seakan tak mau beranjak dari tikar yang telah menemaninya mengarungi samudera mimpinya.
Ibunya yang tak ingin melihat anaknya bermanja-manja dan bermalas-malasan akhirnya menghampiri puterinya dan membangunkannya dengan penuh rasa kasih sayang. Baginya Reni adalah anugerah satu-satunya yang bisa membahagiakannya saat ini.
Baca juga:
Ayah Reni sudah lama pergi menghadap Penciptanya, akibat sakitnya yang tak kunjung sembuh. Ia adalah seorang ayah yang sering bekerja keras demi isteri dan putrinya, Reni. Semua itu ia lakukan agar Reni bisa terus melanjutkan sekolahnya yang kini sudah duduk di bangku kelas 3 SMP. Meskipun ia sudah tua namun ia tetap bekerja keras, dan mungkin karena itulah ia sering sakit-sakitan dan akhirnya pergi meninggalkan orang-orang yang dicintainya untuk selama-lamanya.
Pagi itu, hari terlihat cerah dan bersahabat. Burung-burung berkicau berbalas-balasan menyambut datangnya sang fajar yang kini perlahan-lahan beranjak dari tempat persembunyiannya. Ribuan mata pun harus bangun dari tidur lelapnya dan tak lupa sejenak untuk mengucap syukur pada Sang Penyelenggara kehidupan.
Terlihat alam ini sungguh nampak indah dikala waktu belum berubah menjadi siang terik. Anak-anak dengan riangnya bersiap-siap menuju sekolah sambil menikmati keindahan dan kesejukkan pagi. Reni yang tampak anggun dengan seragam sekolahnya tak mau kalah dengan teman-temannya yang penuh keceriaan itu, ia pun tanpa ragu berbaur bersama mereka menuju sekolah.
Ibunya yang menyaksikan semangat dan keceriaan putrinya itu, ikut merasa gembira dan bahagia meskipun beban di pundakknya terasa berat karena kepergian suaminya. Kini ia harus berperan sebagai ayah dan ibu dan juga teman bagi putrinya itu. Maklum saja karena Reni lebih betah tinggal di rumah daripada pergi bergaul bersama teman-temannya, mungkin ia tidak tegah untuk meninggalkan ibunya dalam kesendirian secara terus-menerus.
Sepetak sawah yang ditinggalkan mendiang suaminya menjadi berkah bagi ibu dan Reni untuk mengais rejeki dalam mempertahankan kediupan mereka berdua. Selain itu, ia juga kadang menjadi buruh tani. Usianya yang sudah tua tak mematahkan semangatnya untuk berjuang. Persaingan hidup dan keadaannya yang kurang menguntungkan ini menuntutnya untuk terus berjuang.
“Reni gimana nih, kami pengen loh ngajak kamu jalan-jalan!” Ajak teman-temannya.
“Kemana?” Balas Reni.
“Yah jalan-jalan aja menyusuri tempat-tempat yang menarik di desa kita ini. Lagian kita kan sudah selesai ujian!” jelas teman-temannya.
“Aduh maaf ya, aku ngak bisa, soalnya aku pengen pulang cepat-cepat mau bantuin ibuku, kasihan ibu. Dia selalu bekerja sendirian apabila aku di sekolah. Jadi lain kali aja yah? Soalnya aku juga harus memberitahu ibuku dulu,” jawab Reni.
“Oke deh kalau gitu,” balas teman-temannya sambil berlalu. “Sampai ketemu lagi yah Ren….! By……….! By……………!”
“Ibu…………….! Ibu………………..! Reni udah pulang ni dan bawa oleh-oleh buat ibu. Ibu pasti senang lihatin oleh-oleh dari putri ibu yang cantik dan imut ini,” panggil Reni.
Lama Reni menunggu tak ada jawaban. Biasanya ibunya langsung membuka pintu ketika mendengar putrinya pulang, tapi kali ini tidak. Reni tak tahu mesti bagaimana. Ia tak dapat masuk ke dalam rumah karena terkunci.
Ia kemudian terpaksa mendobrak pintu rumahnya semampu tenaganya, dan akhirnya pintu itu terbuka, namun ibunya tak ada di sana. Perasan Reni mulai tidak enak. “Kemanakah ibu? Tak biasanya seperti ini,” kata Reni kepada dirinya sendiri.
Setiap hari, ibunya selalu setia menyambutnya ketika pulang sekolah. Perlahan entah kenapa, Ia mulai menitihkan air matanya, ia tak tahu ibunya sedang ke mana, sedangkan keadaan rumahnya sangat berantakan. Makanan siang yang biasanya sudah tersaji, sedikit pun tidak tampak di atas meja. Ia khawatir dengan ibunya.
“Dimana aku harus mencari ibu di siang-siang seperti ini?" Katanya dalam hati sambil tak henti meneteskan air matanya. Satu-satunya tempat yang bisa menunjukkan keberadaan ibunya adalah sawah. Tapi benarkah di siang panas seperti ini, ibu berada di sawah, apa lagi ibu sudah tua dan tak bertenaga lagi.
Tanpa pikir panjang, Reni kemudian berlari ke sawah dengan seragam sekolahnya. Oleh-oleh yang dibawa untuk ibunya tak lagi dihiraukan. Sepanjang perjalanan, perasaannya cemas, gelisah dan takut kalau-kalau ada sesuatu terjadi pada ibunya.
Pematang-pematang sawah yang ditumbuhi rerumput hijau dan bulir-bulir padi yang masih menghijau pula di antara sawah-sawah itu, bergoyang-goyang kian kemari mengikuti irama angin semilir. Mereka seakan ikut bersedih menyaksikan kesedihan gadis itu. Sungai dengan gemercik airnya yang bagaikan alunan musik, ikut menghiburnya. Alam sungguh menjadi sahabatnya dalam kepedihan hatinya akibat ibunya yang menghilang entah ke mana…..?
“Ibu……………..!Ibu………………..!Ibu………………………! “Ibu di mana...”? Reni semakin cemas karena tak kunjung berjumpa dengan ibunya.
Ia sungguh rela berada di tengah sawah, di bawah sengatan mentari siang demi sang Ibu yang dicintainya dan mencintainya pula. Linangan air mata terus membasahi pipinya yang manis, anggun dan menawan itu.
Ia hampir putus asa, tapi tiba-tiba pandangannya terarah pada padi-padi yang terlihat nyaris roboh. Dengan segera, ia menghampiri padi-padi yang roboh itu. Semakin ia mendekat, semakin jelas pula apa yang ada di balik padi-padi tersebut, sosok seorang wanita tua rentan yang tak berdaya.
“Ibu……….! Ibu……………..!Ibu…………….!” Teriak Reni sambil menghampiri ibunya yang sedang tergeletak di tengah-tengah hamparan padi yang masih menghijau itu. Ia memeluk ibunya seakan tak ingin lagi mebiarkan ibunya sendiri.
Rupanya sedari tadi, ketika Reni ke sekolah, ibunya datang melihat-lihat padi mereka sambil membersih sawah yang sudah dipenuhi rumput. Mungkin karena sudah tua ditambah lagi dengan pekerjaan yang berat, maka wanita rentan itu tak kuat lagi sehingga jatuh kelelahan di tengah sawah tanpa ada yang memperhatikannya.
Syukurlah Reni datang menyelamatkan ibunya yang sudah tidak kuat lagi untuk beranjak dari tempatnya di tengah-tengah sawah itu, sehingga mau tak mau ia harus berada di situ. Maklum, usianya sudah tua dan seharusnya tidak perlu bekerja lagi.
“Ibu kenapa harus kerja begini? Ibu seharusnya istirahat di rumah dulu, tunggu sampai Reni pulang sekolah baru kita sama-sama ke sawah.” Kata Reni pada ibunya sambil terus memeluknya. “Ibu kalau mau ke sawah tidak boleh sendiri lagi, ibu mesti dengan Reni,” lanjutnya lagi.
Sejak kejadian itu Reni sebisa mungkin selalu mendampingi ibunya, begitu pun sebaliknya, ibunya dengan setia tetap menemani putri semata wayangnya itu dalam proses belajarnya. Dan ketika tamat SMA, Reni memutuskan untuk masuk biara dan kini Reni telah memakai gaun putih, memilih menjadi mempelai Kristus untuk selamanya. Sr. Reni, yah itulah sebutan putrinya sekarang ini.
Ibunya hanya bisa berpasrah pada kehendak Allah yang telah memanggil dan memilih putrinya untuk menjadi pelayan bagi banyak orang. Itulah pengorbanannya pada putrinya yang sangat dicintainya itu. Ia tak mengharapkan putrinya menjadi seorang suster, tetapi apa mau dikata yang lebih berkuasa telah memilih putrinya untuk menjadi rekan kerja-Nya.
“Tuhan, mengapa aku yang tua rentan ini, Engkau biarkan sendiri lagi? Putriku satu-satunya yang menemaniku dalam duka dan suka selama ini, Engkau pun mengambil dari padaku. Bagaimana dengan nasib kukelak, wanita tua rentan ini? Siapa yang akan menemaniku lagi pada masa tuaku ini?” Keluh ibu dalam hatinya.
Fr. Wandi Raya, OFM,
Sedang menjalani Tahun Orientasi Karya
di Seminari Menengah St. Fransiskus Assisi, Jayapura
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment