Humaniora
Refleksi
Teologi
Yesus Orang Asia Mau Dibaptis untuk Solidaritas bagi Dunia
Thursday, April 2, 2020
0
Foto Pribadi |
Oleh : Sdr. Domisius Wandi Raya, OFM
I. Pendahuluan
Baptis merupakan pintu gerbang sakramen-sakramen yang perlu untuk keselamatan, entah diterima secara nyata atau setidak-tidaknya dalam kerinduan, di mana manusia dibebaskan dari dosa, dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah serta digabungkan dengan Gereja setelah dijadikan serupa dengan Kristus oleh meterai yang tak terhapuskan, hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh bersama rumus kata-kata yang diwajibkan (Kan 849).
Pada waktu itu tampillah Yohanes Pembaptis di padang gurun Yudea dan memberitakan “bertobatlah sebab kerajaan Sorga sudah dekat!” Maka datanglah kepadanya penduduk dari Yerusalem, dari seluruh Yudea dan dari seluruh daerah sekitar Yordan. Lalu sambil mengaku dosa mereka dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan (Mat 3:1,2,5,6).
Dari perikop ini bisa dilihat bahwa baptisan yang diberikan oleh Yohanes diarahkan dan diperuntukan kepada mereka yang berada dalam situasi “dosa”. Kemungkinan hal itu pulalah yang menyebabkan Yohanes enggan untuk membaptis Yesus: “Maka datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya. Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku? (Mat 3:13-14). Bahwa Yesus tidak sama dengan orang-orang yang dibaptis oleh Yohanes tersebut. Yesus tidak berada dalam situasi kedosaan.
Menjadi suatu pertanyaan kemudian ialah: jika baptisan itu diperuntukkan bagi mereka yang berada dalam situasi dosa, lantas mengapa Yesus pun menerima baptisan itu? Mengapa Ia rela berada dalam antrian orang banyak, menunggu giliran-Nya untuk dibaptis? Apakah Ia juga berdosa sehingga Ia perlu menerima baptisan itu?
Suatu jawaban keluar dari mulut-Nya bahwa “biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah” (Mat 3:15). Jawaban ini tentunya mengandung “banyak makna” yang mendalam. Dalam jawaban itu pula terungkap suatu misteri “perendahan” diri Yesus, sebagai jalan yang tepat untuk membebaskan kaum manusia dari belenggu dosa.
“Perendahan” diri Yesus yang terungkap dalam pembaptisan ini adalah sebagai langkah awal untuk menjalankan misi-Nya. Hal ini pula yang juga terus diperlihatkan dalam seluruh karya-Nya, bahwa jalan “perendahan” diri yakni hidup dan berada di tengah-tengah mereka yang melarat dan menderita. Tak hanya itu, ungkapan “perendahan” diri yang paling mendalam dan mengerikan juga ditempuh-Nya pada akhir hidup-Nya di dunia ini yakni menderita dan wafat di salib. “Perendahan” diri-Nya, yang diawali pada pembaptisan di Yordan mendapat puncaknya saat Ia tergantung di salib dengan hina.
Inilah cara Yesus sebagai orang Asia menunjukkan solidaritas-Nya kepada sesama dan alam ciptaan.
Namun kalau kita melihat pada kehidupan orang Asia pada zaman ini berbanding terbalik dengan kehidupan Yesus. Orang Asia pada zaman ini cenderung individualistik. Manusia Asia tidak lagi menaruh hormat pada alam ciptaan, adanya pergeseran nilai-nilai dari kebudayaan Timur pada pola kebudayaan Barat serta hilangnya budaya gotong royong. Inilah gambaran manusia Asia di zaman modern ini.
Tulisan ini bermaksud menunjukkan kepada orang-orang Asia bahwa rasa solidaritas adalah milik mereka, oleh karena itu sudah sepatutnyalah rasa solidaritas itu tetap dipelihara dan dikembangkan dari generasi ke generasi supaya identitas ke-Asiaan/ke-Timuran tetap lestari sepanjang waktu.
II. Kemiskinan Asia
Asia menderita di bawah tumit kemiskinan yang dipaksakan. Kehidupannya dicabik-cabik oleh kolonialisme. Kebudayaan-kebudayaannya disepelekan, relasi-relasi sosialnya dibuat menyimpang. Daerah kumuh yang menyedihkan di kota-kota membengkak terus dengan datangnya petani-petani miskin yang terusir dari tanah garapannya, makin memperjelas gambaran kehidupan serba mewah di samping kemiskinan yang papa, suatu gambaran yang sama terlihat di sebagian besar negara-negara di Asia. Kesenjangan ekstrem ini adalah akibat kontradiksi kelas sosial, suatu dominasi yang sinambung di Asia oleh kekuatan-kekuatan dari dalam maupun dari luar. Konsekuensi pola dominasi kapitalis ini ialah bahwa semua hal, bahkan waktu dan hidup itu sendiri, telah menjadi barang dagangan yang dapat dipasarkan. Hanya minoritas kecil para pemilik modal yang menentukan kualitas hidup para buruh, petani dan lain-lainnya, serta yang menentukan harga bayaran tenaga, kecakapan, kepandaian mereka, demikian pula keuntungan materi yang dibutuhkan untuk menunjang hal-hal tersebut. Apa yang dihasilkan, bagaimana dan di mana diproduksi, untuk siapa diproduksi, adakah keputusan perusahaan-perusahaan transnasional dalam persengkongkolan dengan kaum elit nasional serta dukungan terbuka atau terselubung kekuatan politik dan militer? (Elwood,1993: 75).
Modernisasi membongkar akar-akar kemasyarakatan asli, termasuk membongkar irasionalitas yang mempengaruhi kemiskinan. Mereka ibarat pendatang baru yang menemukan bahwa di satu sisi mereka sudah tidak terikat lagi dengan adat desa yang kaku, namun di sisi lain mereka tidak mengerti adat kota. Mereka mengalami kesulitan dalam mempertahankan adat-istiadat desanya, namun mereka pun mendapat kesulitan dalam membangun suatu pribadi yang mandiri dalam keramaian kota. Di desa-desa yang ada di Asia, semangat gotong-royong dihidupi dan setiap orang berpartisipasi di dalamnya. Kebanyakan kegiatan dilakukan secara bersama-sama dan hasilnya dibagikan di antara mereka. Sedangkan di kota orang mesti melakukannya sendiri dan hasil usahanya menjadi haknya. Dengan demikian tergantung dari kebaikan hati dan kerelaan yang bersangkutan untuk membagikan rezekinya dengan yang lain atau sesamanya.
Teknologi juga mendapat urutan yang terdepan dalam mempengaruhi segi kehidupan manusia Asia. Kehidupan pedesaan Asia tak luput dari pengaruh teknologi ini. Pada sebagian besar pedesaan-pedesaan, telah dilengkapi dengan berbagai alat-alat teknologi dengan maksud memperlancar dan mempermudah suatu pekerjaan tetapi secara tak langsung juga terselip sebuah gaya hidup baru yang bermental manja dan konsumtif. Teknologi membawa suatu gaya hidup yang jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat pedesaan pada era sebelumnya. Perilaku hidup yang serba instan muncul akibat berkembangnya teknologi modern. Mental hidup yang serba instan ini, menjadi suatu tantangan tersendiri dalam kehidupan masyarakat desa yang sebelumnya mengedepankan usaha dan kerja keras. Hadirnya teknologi modern dalam kehidupan masyarakat desa, juga terkadang membatasi perjumpaan secara langsung antara mereka. Inilah sebagian realitas yang muncul dalam masyarakat Asia pedesaan akibat adanya perkembangan dan kemajuan teknologi modern.
a. Merosotnya penghormatan Manusia Asia terhadap alam ciptaan
“Saat ini, misalnya kita melihat pertumbuhan banyak kota secara berlebihan dan tidak terkendali hingga tidak sehat lagi untuk dihuni, bukan hanya karena polusi yang disebabkan oleh emisi gas beracun, tetapi juga sebagai akibat dari kekacauan perkotaan, masalah transportasi, polusi visual dan kebisingan. Banyak kota telah menjadi struktur-struktur besar yang tidak efesien, terlalu boros energi dan air. Beberapa wilayah kota, meskipun baru saja dibangun, sudah padat, kacau dan tanpa tempat hijau yang memadai. Penduduk bumi ini tidak dimaksudkan untuk hidup terhimpit oleh beton, aspal, kaca dan logam, sehingga kehilangan kontak fisik dengan alam” (Fransiskus, 2015: 31).
Tak dapat disangkal bahwa apa yang diungkapkan oleh Paus Fransiskus di atas adalah suatu kenyataan yang juga terjadi di beberapa negara Asia. Di Indonesia khususnya ibu kota Jakarta dan kota-kota lainnya sering terjadi banjir setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh aliran sungai yang banyak dipenuhi oleh sampah sehingga air tidak dapat mengalir dengan baik. Tak hanya itu, padatnya bangunan-bangunan yang terbuat dari beton juga menghambat peresapan air ke dalam tanah. Kurangnya pepohonan akibat penebangan liar mengakibatkan terjadinya longsor dan bencana alam lainnya. Masyarakat Asia yang akrab dengan lingkungan alam, kini perlahan-lahan mulai menghilang. Alam dilihat sebagai sumber eksploitasi yang darinya dapat diambil berbagai kebutuhan hidup tanpa adanya hubungan timbal balik (sebuah sikap dari manusia Asia untuk merawat dan melindungi alam ciptaan dari kerusakankan dan kehancurannya).
Perilaku Manusia Asia tidak hanya mengeksploitasi alam ciptaan, tetapi juga menyebabkan banyak kerusakan yang berimbas pada kepunahan atau hilangnya makhluk-makhluk. Asia yang terkenal kaya dengan alamnya justru mengalami situasi kemiskinan berkepanjangan yang berujung pada penderitaan manusia Asia itu sendiri.
Di Indonesia bentuk-bentuk eksploitasi terhadap alam berupa; penebagangan hutan, pembakaran hutan, dan pembangunan. Hutan yang tereksploitasi secara tak terkendali itu, besar kemungkinan akan menimbulkan dampak yang dapat mengancam kehidupan makhluk yang ada di atas muka bumi ini, termasuk manusia secara keseluruhan. Sebagai salah satu dampak atas eksploitasi itu, pemanasan global semakin meningkat dan tak tertangani dengan baik, akibatnya banyak pula flora dan fauna mengalami kepunahan. Misalnya burung cendrawasi di Papua yang sudah tidak kelihatan lagi.
Selain sejumlah perilaku eksploitasi yang mengutamakan kesejahteraan pribadi dan kelompoknya ini, salah satu faktor yang juga menyebabkan merosotnya penghormatan manusia Asia terhadap alam ciptaan yaitu kurangnya pendidikan nilai di dalam keluarga. Keluarga-keluarga yang pada dasarnya merupakan komunitas dasar untuk memperoleh sejumlah pendidikan nilai (khususnya nilai-nilai keutuhan ciptaan) kurang dimanfaatkan dengan baik. Pola pendidikan nilai telah bergeser menjadi pola pendidikan meraih gelar dan sukses.
Ini adalah salah satu faktor yang membuat merosotnya penghormatan manusia Asia terhadap alam yang terus berkepanjangan itu, bahwa orang-orang tua kurang memberikan pendidikan bagaimana anak-anak Asia (dunia Timur) bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian alam ciptaan ini, alam yang darinya manusia Asia memperoleh makanan dan tempat untuk hidup dalam merajut masa depan secara lebih baik serta seimbang (jasmani dan rohani). Sudah selayaknya bahwa dari dini, orang tua mesti mengajak dan mengajari anak-anaknya untuk menjaga dan melestarikan alam ciptaan ini. Jika hal ini tidak ditanamkan sejak dini, bisa jadi kelak bahwa anak-anak Asia yang kurang mendapat pendidikan nilai (cinta pada alam ciptaan), menjadi salah satu penyebab kerusakan alam ciptaan dan juga manusia Asia itu sendiri. Apabila hal itu terjadi, maka tentunya persoalan di seputar alam ciptaan akan terus berlanjut dan tidak akan terselesaikan dengan baik.
b. Bergesernya nilai-nilai kebudayaan Timur pada pola hidup modern kebudayaan Barat
Perkembangan zaman turut mengubah sikap, hidup dan cara berpikir manusia Timur. Banyak nilai budaya Timur mengalami pergeseran oleh karena faktor-faktor seperti: teknologi modern, ilmu pengetahuan Barat, komuniakasi internasional, cara hidup Barat, materialisme, komunisme, sosialisme, pragmatisme dan lain sebagainya. Generasi tua masih berusaha mempertahankan nilai-nilai budaya asli dalam segala hal. Tetapi untuk berapa lama? Sedangkan generasi muda terpesona oleh pengaruh-pengaruh dari luar dan mulai bersikap acuh tak acuh terhadap nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur sejak dari dulu. Dari sebab itu sikap menutup diri terhadap pengaruh dari luar sekarang merupakan suatu usaha yang sia-sia. Maka pertemuan Timur dan Barat menjadi satu tuntutan mutlak di zaman ini. Banyak negara Timur saling berlomba mengadaptasikan diri dengan pengaruh dari luar. Akibatnya banyak sikap, cara hidup, pemikiran Timur asli terancam sirna. Oleh sebab itu kebijaksanaan dalam adaptasi kebudayaan Timur dan Barat perlu dan mutlak harus terjamin. Harus diakui usaha mempertahankan nilai-nilai budaya asli Timur dengan segala konsekuenseinya di zaman modern ini merupakan suatu usaha yang boleh dikatakan mustahil (Frenandes, 1990: 42-43).
Kalau boleh kita rumuskan dua pola budaya yang berhadapan ini, maka budaya lokal tradisional yang ingin bertahan dari invansi budaya asing itu bisa disebut sebagai “budaya patrimonial”, budaya para bapak bangsa yang sangat menekankan nilai-nilai luhur sebagai warisan turun-temurun, sejak nenek moyang mereka yang mungkin sudah tidak diingat lagi. Nilai-nilai ini, yang sering disebut dengan istilah “tradisi”, kurang lebih bersifat abadi dan “suci”, harus dipatuhi dan dilestarikan sebagai norma pengikat. “Budaya patrimonial” sangat kuat mewarnai suatu masyarakat dan memberi “identitas” yang jelas dari masyarakat itu. Sementara itu, budaya global yang masuk adalah “budaya matrimonial” yang menawarkan nilai-nilai pergaulan baru, aktual, yang relevan untuk direguk dalam kehidupan masa kini. Apa yang bernilai dalam hal ini bukan lagi “tradisi” dari masa lampau dan yang layak disimpan, melainkan “dikonsumsi” dari masa kini, yang layak untuk dihabiskan, dinikmati, dan diganti lagi dengan “nilai-nilai” baru yang segera muncul. Inilah nilai-nilai ngepop (popular), nge-ternd (trendi) yang sedang laku. Kalau budaya patrimonial lebih berorientasi dan mementingkan dimensi lokal dan kemapanan, maka budaya matrimonial tampaknya lebih berorientasi pada waktu dan perubahan (Sudiarja, 2006: 25).
c. Hilangnya budaya gotong royong
Di Bali ada istilah nguopin yaitu sistem gotong-royong yang biasanya dilakukan di sawah misalnya seperti menanam, menyiangi, panen dan sebagainya. Sekitar rumah tangga ada kegiatan memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur. Dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga atau dalam suatu peristiwa kecelakaan dan kematian. Dalam semua aspek itu seorang atau suatu keluarga meminta bantuan dari tetangganya atau keluarga lain, dengan suatu sopan santun yang telah digariskan oleh adat dan dengan pengertian bahwa ia wajib untuk membalas bantuan tenaga yang disumbangakan kepadanya itu dengan tenaganya juga. Nguopin di sekitar rumah tangga kota tetapi juga di banyak desa sudah hilang atau mulai diganti dengan sistem menyewa tenaga upahan, karena sistem itu sekarang dianggap lebih praktis dan seringkali malahan lebih murah (tidak usah menyediakan jamuan dan sebagainya) (Koentjaraningrat, 1970:291-292). Mungkinkah kebiasaan seperti ini (nguopin ) masih ada dalam kebudayaan kita masing-masing atau perlahan-lahan sudah mulai terkikis dengan kebudayaan lain?
Kaum petani sawah khususnya di Indonesia yang terkenal dengan nilai solidaritas perlahan-lahan mulai luntur dengan suatu gaya hidup baru yakni individualistis. Gaya hidup yang cenderung lebih mementingkan diri sendiri ini, muncul dari budaya modern/Barat. Persaingan untuk menjadikan diri lebih dari yang lain, entah itu dalam hal kekayaan materi ataupun pengetahaun. Resiprositas yang dulunya terasa amat kental, kini mulai hilang, karena masing-masing orang lebih memilih mengumpulkan sejumlah hal untuk dirinya sendiri. Alam yang dulunya dimanfaatkan sebatas pada kebutuhan sehari-hari, kini dikuras habis-habisan hanya untuk memenuhi hasrat manusia yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dimilikinya.
Budaya gotong royong khususnya dalam masyarakat Indonesia yang sangat kental itu dan dipandang sebagai “senjata” yang dapat memerangi budaya modern karena membawah pengaruh sikap individualistik, kini justru tenggelam dalam kebudayaan modern tersebut. Jati diri sebagai masyarakat yang menjujung tinggi budaya gotong royong itu, kini seakan sirna dari kebudayaan Indonesia secara khusus dan dunia Timur pada umumnya. Kehidupan bertetangga tidak lagi dipandang sebagai peluang dalam membangun berbagai aspek kehidupan, tetapi justru dilihat sebagai sesuatu hal yang membebani, karena melihat sesama sebagai saingan dan bukan lagi partner.
Hampir semua lini di dalam kehidupan orang-orang Asia telah dipengaruhi oleh kebudayaan Barat, sehingga ciri khas sebagai orang-orang Asia menjadi kabur dan tenggelam dalam rangkulan kebudayaan Barat.
III. Makna Baptisan Yesus Bagi Orang-Orang Asia
Hal yang menarik untuk dikaji pada pokok ini ialah: jika baptisan Yohanes itu diperuntukkan bagi mereka yang berada dalam situasi dosa, lantas mengapa Yesus pun menerima baptisan itu? Mengapa Ia rela berada dalam antrian orang banyak, menunggu giliran-Nya untuk dibaptis? Apakah Ia juga berdosa sehingga Ia perlu menerima baptisan itu? Tentunya baptisan Yesus tidak dimkasudkan untuk menghapuskan dosa seperti orang-orang lainnya pada zaman itu. Hal ini dapat dipertanggung jawabkan karena Yesus tak memiliki dosa sama seperti kita. Lantas apa maksud baptisan-Nya? “biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah” (Mat 3:15). Dilihat dari tindakan Yesus, bahwa dalam pembaptisan-Nya ada makna “perendehan diri” yang mau ditempuh oleh-Nya, sebagai jalan yang tepat untuk membebaskan kaum manusia dari belenggu derita dunia ini.
a. Baptisan Yesus sebagai perdamaian antara Manusia (Asia) dengan Alam
Dalam tradisi Perjanjian Lama, air dilihat sebagai lambang kehancuran, air adalah bagian dari alam yang menakutkan bagi manusia. Kisah Nuh dan air bah (Kej 7:1-8:22), adalah kisah yang memperlihatkan air sebagai bagian dari alam yang meluluh-lantahkan kehidupan manusia di muka bumi ini.
Dalam peristiwa pembaptisan Yesus, kita dapat segera merasakan suatu timbal-balik yang khas antara spiritualitas pribadi Yohanes dan spiritualitas para pengikutnya. Yohanes pembaptis menampilkan spiritualitas jenis pengingkaran dunia yang ekstrim. Yohanes hidup “bersama alam” daripada “dalam masyarakat”; makanan dan pakainnya berasal dari alam. Padang gurun yang menjadi tempatnya adalah lambang dari bentuk asketisme. Tetapi Yohanes tidak memaksakan spiritualitas itu pada orang-orang yang dibaptisnya. Orang-orang dibaptis adalah kaum “miskin religius” yang sederhana dan rendah hati dari daerah-daerah pedalaman, para pendosa yang tersingkir tetapi menyesal, kaum anawim yang tertarik oleh khotbah dan gaya hidupnya untuk menjadi miskin, siap menerima kabar baik pemerdekaan yang sudah dekat. Jadi, kaum miskin pun memiliki spiritualitasnya sendiri. Maka dari itu, di Yordan waktu Yesus berdiri di depan Yohanes pembaptis dan di antara orang-orang yang dibaptis, dua aliran spiritualitas menemukan titik pertemuan. Yesus yang akan melewati pengalaman padang pasir asketisme, datang pada Yohanes, bukan untuk membaptis orang-orang lain, tetapi dibaptis. Dengan demikian menyamakan diri dengan kaum “miskin religius” dari daerah pedalaman (Pieris, 1996: 84).
Solidaritas Yesus dengan kaum “miskin religius” dinyatakan dalam penyatuan diri-Nya dengan alam (air). Dengan demikian, air dalam dunia Perjanjian Lama yang menghancurkan kehidupan manusia, kini didamaikan kembali oleh Yesus berkat penyatuan diri-Nya dengan air. Maka orang-orang yang telah mengambil bagian dalam pembaptisan ini, menerima makna kehidupan baru yakni air tidak lagi dilihat sebagai yang menghancurkan, tetapi sebagai pembersihan diri dari dosa yang pada akhirnya menghantar manusia pada kehidupan. Air kini menjadi simbol kehidupan baru.
Perdamaian antara manusia dengan alam yang telah dihidupi oleh Yohanes pembaptis dalam spiritualitasnya juga dilukiskan dalam penyatuan diri Yesus dengan air sungai (Yordan), kiranya memberi suatu pemahaman bagi orang-orang Asia bahwa alam adalah kediaman yang senantiasa juga menyediakan kehidupan. Air yang senantiasa mengalir di sungai Yordan, mencirikan sifat alam yang tidak henti-hentinya memberi kehidupan pada setiap orang. Ibarat air sungai yang terus mengalir, alam pun senantiasa terus menghasilkan sesuatu bagi kehidupan manusia. Dalam banyak suku-suku di negara-negara Asia, sebenarnya mereka telah menghidupi semangat kesatuan dengan alam ciptaan. Mereka menyadari bahwa dari alam-lah kehidupan mereka boleh terus berlangsung.
Dulu, para nenek moyang sebelum melakukan penanaman benih, mereka selalu menyelenggarakan selamatan. Begitu panen, mereka pun menyelenggarakan upacara syukuran. Mereka sangat menghargai alam. Relasi dengan alam pun dijaga sedemikian rupa. Tak hanya dilakukan melalui praktik pertanian yang ramah pada bumi, mereka juga membuat upacara dan kesenian yang indah dalam usaha untuk membangun relasi manusia dan bumi agar semakin baik. Sikap menghormati alam itu, dapat kita cermati dalam cara hidup Komunitas Sedulur Sikep di daerah Sukolilo (Provinsi Jawa Tengah). Sampai hari ini, mereka tetap bekerja sebagai petani sebagaimana yang dipesankan oleh para pendahulu mereka. Bagi mereka, bertani adalah jalan hidup yang mesti dilestarikan. Karena menyandarkan hidup pada pertanian, maka mereka dengan amat sadar menjaga kelestarian alam. Bahkan saking dekatnya dengan alam, Gunrento, seorang pemimpin komunitas tersebut pernah mengatakan, “selama ada keong di sawah, orang Sedudur Sikep masih bisa makan.” Dengan demikian, mereka menggantungkan diri sepenuhnya secara total pada kelestarian alam karena mereka sadar bahwa makanan yang mereka makan berasal dari alam. Bumi yang menyediakan makanan bagi mereka. Bahkan bumi disebut sebagai “Ibu yang sejati” karena bumilah yang menyediakan makanan. Maka, ketika ada sekelompok pengusaha yang akan mendirikan pabrik semen, mereka dengan tegas menolak rencana tersebut. Karena pendirian pabrik semen akan merusak alam lingkungan tempat hidup mereka dan masyarakat pada umumnya yang bergantung pada alam (Tristanto,2015: 23-24).
b. Baptisan Yesus sebagai solidaritas bagi kemiskinan Asia
Upaya Yesus berada di tengah-tengah orang yang sedang antri untuk dibaptis oleh Yohanes, tidak lain dan tidak bukan bahwa Ia ingin masuk dalam kehidupan nyata orang-orang yang dibaptis itu. Ia ingin merasakan apa yang juga dirasakan oleh orang-orang tersebut yakni berada dalam situasi miskin dan lapar. Situasi miskin dan lapar, Ia alami ketika berada di padang gurun selama empat puluh hari, empat puluh malam (Mat 4:1-11, Mrk 1:12-13, Luk 4:1-13). Askese ini dilakukan oleh Yesus sebagai tindak lanjut atas baptisan yang telah Ia terima bersama dengan sejumlah orang yang juga dibaptis oleh Yohanes. Yesus tidak berhenti pada baptisan saja, melainkan Ia masih terus bersolider dengan kaum miskin dengan cara berpuasa (mengalami bagaimana rasanya berada dalam kelaparan seperti halnya orang-orang miskin yang sering tidak bisa makan dan minum).
Di dalam suasana itu, Yesu tidak pernah menggunakan ke-Allahan-Nya untuk beralih dari situasi miskin dan lapar, Ia bahkan mengesampingkan-Nya. Sekalipun Ia mampu dan dapat menggunakan ke-Allahan-Nya untuk menerima tawaran-tawaran dari iblis demi menggumpulkan kekayaan dunia serta menghilangakn rasa lapar-Nya, tetapi Yesus dengan tegas menolak semua-Nya itu. Penolakan-Nya terhadap tawaran iblis mengindikasikan bahwa Ia sungguh-sungguh menyatakan rasa solidaritas-Nya terhadap orang-orang miskin dan berdosa.
Sikap Yesus ini, kiranya dengan jelas mau menunjukkan kepada kita, bahwa berada dalam situasi miskin dan lapar bukanlah semata-mata dilihat sebagai penderitaan, melainkan sebuah sikap penyangkalan terhadap sejumlah kekayaan dunia ini yang kadang melilit (mengikat) kehidupan manusia. Manusia terkadang lebih memilih kekayaan dunia ini daripada memilih kerajaan Allah sebagaimana yang diwartakan oleh Yesus. Kisah orang muda yang kaya (Luk 19:16-26) kiranya mau menggambarkan sikap manusia yang sungguh terikat dengan sejumlah hartanya ketimbang memilih untuk berada dalam suasana kerjaan Allah: Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.
c. Baptisan Yesus sebagai pemberian diri yang total untuk manusia Asia
Baptisan Yesus sebagai rasa solidaritas bagi kemiskinan Asia, juga mengandung rasa sosial. Kerelaan Yesus untuk ditenggalamkan dalam air kiranya juga memperlihatkan situasi manusia lama yang dihanyutkan oleh air bah, bahwa kelak Yesus akan sama dengan manusia biasa yang mengalami kematian. Air yang pada awal tadi telah dikatakan sebagai simbol kehidupan baru, juga mengandung gambaran akan diri Yesus kelak. Yesus tidak hanya membatasi diri pada rasa solidaritas dengan kaum miskin pada saat itu, tetapi jauh dari pada itu, bahwa Yesus juga ingin mengalami kegelapan makam (yang dilambangkan dengan penenggelaman dalam air) sama seperti manusia pada umumnya (mengalami kematian).
Melalui jalan kematian ini, Yesus memperlihatkan suatu usaha yang mau bekerja sama dengan Bapa-Nya. Yesus dalam kemanusiaan-Nya juga takut dengan kematian; “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi. Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk 22:42,44). Dalam ketakutan-Nya itu, tersirat suatu sifat kemanusiaan Yesus yang ingin lari dari penderitaan, atau dengan kata lain, Ia hendak menolak untuk bekerja sama dengan Bapa-Nya. Ia merasa tak sanggup untuk menjalani semua-Nya itu. Tetapi dalam semua-Nya itu, Yesus akhirnya menyerahkan semuanya kepada kehendak Bapa-Nya “.......bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mula yang terjadi”.
Tindakan Yesus yang ditenggelamkan dalam air ini, merupakan langkah awal yang ditempuh oleh-Nya untuk menyatakan bahwa Ia mau bekerja sama dengan Bapa-Nya; “biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah”. Penenggelaman di dalam air ini (sebagai simbol kematian) yang merupakan langkah awal, mendapat puncaknya dalam persitiwa salib. Melalui kematian di kayu salib ini, Yesus menggenapi peristiwa ketika Ia ditenggelamkan ke dalam air.
Dari peristiwa ini, orang-orang Asia kiranya bisa menangkap suatu nilai yang ditampilkan dalam baptisan Yordan, bahwa Yesus memberikan diri-Nya untuk menyatakan bahwa Ia mau bekerja sama dengan Bapa-Nya sekalipun pekerjaan yang akan dilalui-Nya itu amat sangat berat dan bahkan sangat menakutkan bagi-Nya. Bagi orang-orang Asia, semangat untuk bekerja sama atau bergotong royong bukanlah hal yang baru lagi, akan tetapi semangat itu perlahan-lahan mulai hilang karena budaya modern hadir membawa sikap baru bagi mereka, yakni sikap individualis. Dalam semuanya itu, manusia Asia cenderung untuk mementingkan kesenangan dirinya sendiri. Hal ini terbukti dari sikap mereka yang terus menerus menguras kekayaan alam untuk memenuhi keserakahan mereka. Juga telah diungkapakan bahwa semangat gotong royong yang dulunya dihidupi oleh manusia Asia, kini menghilang karena sikap individualis tersebut.
Melalui peristiwa Yordan, orang-orang Asia kiranya dapat menemukan kembali nilai-nilai awal dalam kehidupan mereka yakni semangat untuk bergotong royong. Melalui nilai ini, orang-orang Asia akan mampu menangkal budaya modern yang bersifat negatif, dalam hal ini sikap individualis. Melalui dan dalam semangat gotong royong ini, orang-orang Asia mampu meringankan beban sesamanya yang berada dalam penderitaan (khususnya yang miskin dan menderita).
Orang-orang Asia yang kaya dengan berbagai aliran kepercayaan keagamaan, bisa menjadikan semangat gotong royong sebagai kekuatan bersama untuk meminimalisir paham-paham yang berbeda, yang kadang menimbulkan banyak perpecahan. Asia yang beragam dengan aliran agama ini, bisa menunjukkan kepada dunia bahwa agama-agama di dunia ini harus bersekutu, bukan untuk membentuk suatu agama tunggal tetapi suatu komunitas dialogis dari antara berbagai komunitas. Citra agama masa depan bagi umat manusia tidak hanya diperlihatkan dalam foto-foto kegiatan gereja, pura, dan masjid, tetapi dalam apa yang dunia saksikan dan ribuan orang alami (Knitter, 2008: 9).
Dalam rangka kehidupan yang memungkinkan kerukunan manusia yang sebenarnya, orang dari golongan/aliran yang berbeda-beda perlu berkumpul dan bergaul bersama. Bukan hanya, sebagai warga negara di tempat pekerjaan kita bersama, melainkan juga dalam pergaulan sehari-hari. Oleh karena itu perlu adanya “dialog kehidupan” (kerja sama/solidaitas/gotong royong). Dalam pengertian ini, orang dari berbagai aliran kepercayaan dan kepentingan diajak untuk hidup berdampingan secara damai, dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan secara menyeluruh, yang meliputi kehidupan rohani maupunn aspek jasmani. (Bdk. Tim Balitbang PGI, 1999: 102-103).
IV. Kesimpulan
Peristiwa baptisan Yordan sebagai solidaritas Yesus bagi orang-orang Asia, selain menjadi suatu jalan penebusan eskatologis tetapi juga merupakan jalan pembebasan yang nyata pada saat ini. Melihat realita-realita kehidupan yang kadang menimbulkan banyak kekacauan dan pada akhirnya menghasilkan jeritan penderitaan, maka jika dilihat dari peristiwa baptisan Yordan, Yesus turut berpartisipasi dalam derita itu, tetapi sekaligus menunjukkan jalan keluar agar dapat bebas dari jerat penderitaan tersebut.
Banyak spiritualitas yang terkandung dalam baptisan Yordan, yang kiranya juga lahir dari spiritualitas orang-orang Asia, hal ini bisa menjadi kekayaan bagi orang-orang Asia yang dapat pula menjadi senjata ampuh untuk membesakan mereka dari aneka penderitaan dunia ini, penderitaan yang kadang tercipta oleh karena sikap mereka sendiri yang melupakan spiritualitas dasar yang telah terlahir dalam kebudayaan mereka sejak dahulu kala. Spiritualitas yang telah digunakan oleh nenek moyang mereka untuk membangun suatu kehidupan yang mapan, suatu kehidupan yang harmonis antara mereka dengan alam ciptaan, tetapi juga dengan sesama manusia.
Peristiwa baptisan Yordan bisa menjadi titik tolak bagi orang-orang Asia untuk kembali kepada spititualitas awal kehidupan mereka, agar mereka tidak menjadi orang-orang asing di atas tanah dan kebudayaan mereka sendiri. Juga, tidak menjadi sasaran yang empuk dari arus globalisasi yang hadir tanpa memiliki latar belakang pijakan yang kuat, sebuah gaya hidup yang dengan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai situasi kehidupan. Gaya hidup yang mengarahkan manusia pada arah ketidakpastian.
Daftar Pustaka
Awi Tristanto , Lukas. 2015. Panggilan Melestarikan Alam Ciptaan, Yogyakarta Kanisius.
Balitbang PGI,Tim.1999.Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Di Indonesia,Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Elwood , J. Douglas. 1993. Teologi Kristen Asia, Tema-Tema Yang Tampil ke Permukaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
F. Knitter,Paul. 2008. Pengantar Teologi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Fransisikus, Paus. Eksiklik Laudato Si,Jakarta: Obor.
Frenandes , Stephanus Ozias.1990. Citra Manusia Budaya Timur Dan Barat, Ende: Nusa Indah.
Koentjaraningrat. 1970. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Pieris,Aloysius. 1996. Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta: Kanisius.
Sudiarja, A.2006. Agama Di Zaman Yang Berubah, Yogyakarta: Kanisius.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment