filsafat
Humaniora
Obral Ide
Quote Amor - Situasi politik kita saat ini sudah mencapai titik kejenuhan. Para politikus dan pemerintahnya, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, masuk terjerat ke dalam sistem KKN yang terstruktur, masif dan sungguh naif karena mengotori wajah politik sebagai sarana menciptakan kesejahteraan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Situasi tersebut ditambah lagi dengan munculnya tokoh-tokoh fundamentalisme. Mereka ini menunggang isu-isu agama untuk kepentingan kelompok tertentu.
Baca juga :
Seni Memimpin dari Machiavelli
Tuesday, April 14, 2020
0
Seni Memimpin |
Kelompok fundamentalisme ini nampaknya semakin merajalela, tidak lagi peduli pada kepentingan Negara, malah sibuk menghancurkan kesatuan berbangsa dan bernegara. Inilah virus sosial dan politik yang jika dibiarkan terus akan membawa kehancuran dan perpecahan dalam membangun kehidupan negara yang damai dan sejahtera. Beberapa masyarakat mengungkapkan keprihatianan mereka atas peristiwa-peristiwa politik yang cenderung menghancurkan NKRI.
Baca juga :
Seorang bapa mengungkapkan bahwa situasi politik Indonesia saat ini sangat membosankan karena para pemimpinnya sibuk dengan urusan kepentingan pribadinya, mengisi kantong pribadinya tanpa peduli pada kepentingan rakyatnya. Hal yang sangat nampak terlihat adalah wajah-wajah para koruptor yang hampir setiap saat muncul dilayar televisi. Baginya politik itu kotor dan jahat karena para politikus tidak mengurus kepentingan warga negaranya tetapi hanya memperkaya kaum elit (politikus) yang mempunyai kekuasaan.
Selain itu, seorang ibu juga mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak tahu berbicara tentang politik tetapi karena munculnya peristiwa yang menimpah Ahok yang dianggap sebagai penista agama dan hal tersebut menjadi masalah besar yang mengganggu situasi keamanan ibukota Jakarta, bahkan sampai ke seluruh Indonesia. Dari peristiwa itu, dia melihat bahwa politik itu penuh dengan kebencian dan sangat menakutkan karena tidak ada kedamaian dan persaudaraan.
Dia juga mengungkapkan empatinya kepada Ahok yang telah melakukan banyak hal kepada orang-orang Jakarta tetapi orang masih mempersoalkan pernyataan kontroversial Ahok yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh Ahok bahwa dia tidak bermaksud menistakan agama Islam. Senada dengan itu, muncul berbagai pernyataan melawan Ahok yang secara jelas menunjukkan tindakan kebencian dan penistaan terhadap Ahok. Tetapi itu tidak dipedulikan oleh banyak orang dan tidak dianggap sebagai penisataan.
Sejalan dengan itu, di tengah situasi politik dan Negara seperti itu nampaknya hukum seolah-oleh tidak berfungsi sama sekali lalu peran pemerintah menjadi lemah. Hukum seakan-akan tidak berfungsi di hadapan masa yang sangat banyak itu. Ini sangat memprihatinkan bagi demokrasi Indonesia yang memiliki konstitusi sebagai sumber acuan dalam hidup bernegara. Apakah pemerintah sengaja membiarkan situasi Negara seperti itu? Ataukah pemerintah menegakkan hukum dengan prinsip kompromi pada kelompok tertentu karena takut pada mayoritas masa?
Oleh karena itu, di tengah situasi politik yang kurang menghargai martabat NKRI dan sistem hukum yang ada maka sangat diperlukan sosok pemimpin yang berani menegakkan kebenaran berdasarkan hukum dan konstitusi Negara secara adil tanpa kompromi kepada kelompok-kelompok fundamentalisme dan euforia masa.
Virtu dan Fortuna
Virtu dan Fortuna
Untuk menghadapi situasi kegaduan politik identitas seperti itu, menurut Machiavelli dalam bukunya Il Principe, yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Negara adalah pemimpin yang bisa memanfaatkan virtu (keutamaan) dan fortuna-nya (keuntungan) untuk menyingkirkan kelompok-kelompok fundamentalisme yang cenderung bertindak destruktif bagi kepentingan Negara. Menurut dia, ada dua unsur utama yang harus dimiliki oleh sebuah Negara yaitu hukum yang baik dan tentara yang baik. Namun ternyata hukum seringkali tidak memadai dengan kebutuhan dan oleh karena itu hukum harus dikendalikan oleh penguasa.
Sebab ketika Negara yang sedang tercabik-cabik dan kacau balau tak mungkin dapat dipulihkan hanya dengan mengandalkan hukum. Hukum hanya cocok bagi Negara republik yang sedang berjalan normal. Tetapi bagi Negara yang sedang krisis dan kemelut yang hebat, hukum hanya akan memperburuk situasi dan kondisi Negara tersebut. Tetapi yang paling urgen dibutuhkan dalam situasi krisis seperti itu adalah keutamaan pemimpin dalam menggunakan kesempatannya sebagai pemegang kekuasaan.
Sang penguasa itu sendiri haruslah seorang yang terlatih secara militer dan benar-benar terampil sebab jika tidak ia tidak akan berhasil menjadi panglima dan penguasa yang sungguh-sungguh cakap dan diandalkan. Dengan demikian, penguasa dapat bertindak bebas, yang penting dapat bermanfaat bagi kekuasaan. Sebab tujuan Negara, menurutnya, adalah menghimpun dan mendapatkan kekuasaan yang sebesar-besarnya.
Dalam konteks itu, Negara yang baik harus membangun tatanan kota yang kuat agar seluruh rakyat dapat hidup aman dan tentram. Selain itu perlu ada pemisahan yang jelas antara kekuasaan agama dan kekuasaan negara, Dalam hal ini agama tidak boleh mencampuri urusan negara. Agama harus berada di bawah negara. Karena bagi Machiavelli, politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali, yang diperhitungkan hanyalah kesuksesan sehingga tidak ada perhatian pada moral di dalam urusan politik. Baginya hanya satu kaidah etika politik; yang baik adalah apa saja yang bisa memperkuat kekuasaan.
Dengan demikian jelas bahwa negara dan penguasa menjadi kokoh, kuat dan tegar dalam menghadapi tantangan dan serangan dari luar. Penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya dengan baik kalau mempunyai hukum yang kuat untuk mengatur hidup masyarakat. Karena itu hukum harus ditegakkan bersama dengan sistem militer kuat. Hukum itu menjadi pegangan para penguasa untuk mengatur masyarakat. Karena prinsipnya adalah semuanya itu hanya merupakan alat yang digunakan untuk meraih tujuan yang mulia yaitu kesatuan, keutuhan dan kejayaan Negara yang pada akhirnya akan mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.
Pemimpin dalam Demokrasi
Sistem politik Machiavelli yang mengabsolutkan kekuasaan pemimpin tidak relevan untuk diterapkan dalam politik demokrasi Indonesia. Sistem politik demokrasi menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan bukan pemimpin atau penguasa. Pemimpin hanyalah sebagai penggerak kebijakan, dengan pengawasan hukum yang ada, untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Selain itu juga sistem pemerintahan demokrastis mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Singkatnya dalam ruang politik demokrasi mengandung kebebasan bagi setiap warga Negara sebagai solidritas politis warga Negara untuk berdaulat. Tetapi kebebasan itu selalu berada dibawah hukum konstitusi Negara.
Namun konsep virtu dan Fortuna Machiavelli dapat disinkronkan dalam konteks politik demokrasi. Artinya bahwa pemimpin harus bisa menggunakan keutamaan dirinya sebagai pemimpin karena keutamaan itulah yang menjadi dasar bagi rakyat memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjadi pemimpin Negara. Kepercayaan itu merupakan suatu kesempatan fortuna dari seorang pemimpin untuk menjadi pelayan bagi kepentingan seluruh bangsa dan Negara.
Untuk itu seorang pemimpin harus memiliki integritas diri yang bisa memobilisasi dinamika kehidupan bangsa agar tetap berada dalam sistem kesatuan bangsa Indonesia. Pemimpin harus berpegang teguh kepada hukum demokrasi dan berani menegakkan kebenaran hukum di depan penyimpangan sosial yang menggnggu kesatuan bangsa.
Selain itu, dalam sistem demokrasi tidak dapat dibenarkan jika seorang pemimpin bersikap murah hati karena didoromg oleh keinginan popularitas diri atau takut pada masyoritas massa, karena hal tersebut akan berbahaya dalam sistem politik demokrasi. Karena kemurahan hati yang demikian itu akan membuat sang pemimpin menjadi tidak berani dan akan digiring oleh massa kepada kehancuran kesatuan bangsa.
Oleh karena itu pemimpin harus memiliki keberanian mengambil keputusan dan menegakan aturan berdasarkan sistem hukum demokrasi untuk menempatkan kepentingan Negara di atas segalanya.
Oleh Albertus Dino
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment