budaya
filsafat
Traveling
Baca juga :
Longka Menina : Bukti Sejarah kekejaman Penguasa Manggarai
Saturday, November 2, 2019
0
Oleh : Albertus Dino
Quote Amor - Nama sebuah tempat sering kali berasal dari sebuah peristiwa tertentu. Peristiwa itu melekat pada ingatan banyak orang dan kemudian diceritakan terus-menerus atau diwariskan secara turun-temurun.
Begitu juga dengan sejarah Longka (lubang) Menina yang pada awalnya merupakan nama seorang anak yang ayahnya dibuang oleh seorang penguasa ke sebuah lubang besar di tengah hutan Golo Munga. Nama lubang tersebut menjadi longka Menina karena Menina adalah anak sulung dalam keluarganya. Dalam tradisi Manggarai, nama anak sulung akan menjadi nama panggilan bagi orang tuanya sehingga ayah Menina dipanggil Ema (bapa) Menina. Nama tersebut menjadi nama lubang tersebut.
Baca juga :
Ema (bapa) Menina telah menjadi korban dari kebencian dan kejaliman sang penguasa. Longka Menina terletak di dekat kampung bersejarah, kampung Ngendeng. Sekarang kampung ini telah menjadi hutan kembali karena ditinggalkan oleh semua penghuninya.
Ema Menina adalah seorang petani yang sederhana, tidak mengenal pendidikan formal tetapi dia mempunyai keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh warga sekampungnya. Dia adalah seorang pemburu yang hebat, sang penakluk binatang liar seperti rusa, babi hutan, dan sebagainya.
Kehebatannya itu terbukti ketika dia berburu, tak pernah pulang tanpa membawa serta hasil buruannya. Konon dikisahkan Menina berasal dari kampung Cenop, yang terletak di lereng gunung (golo) Munga, Kec. Lamba Leda, Kab. Manggarai Timur. Berkat kelihaiannya, Menina kemudian dipercaya oleh Hamente sebagai pemburu binatang untuk dihidangkan kepada sang Hamente.
Oleh karena itu, Menina mendapat keistimewaan dari Bapa Hamente, yaitu dia dibebaskan dari pekerjaan rodi atau budak. Keistimewaan tersebut tidak diterima oleh masyarakat sekitarnya sehingga membangkitkan amarah kebencian. Mereka merasa tidak ada keadilan.
Api kebencian itu memanas hati para pencinta kedengkian sehingga mereka mulai bersekongkol untuk menghasut Bapa Hamente dengan menyampaikan berita bohong (hoaks) bahwa sebenarnya Menina sering mendapat binatang buruan tetapi dia tidak membawanya kepada tuan Hamente, dia memakannya sendiri.
Menina Korban dari Kebencian dan Kedengkian
Karena kebencian sesamanya, Menina akhirnya dipanggil oleh Bapa Hamente, perihal kelalaian tugasnya yang tidak setia kepadanya. Bapa Hamente mengutus utusannya untuk menjemput Menina dan dibawa kepadanya. Di depan Hamente, Menina diinterogasi dan diadili. Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada Menina oleh bapa Hamente.
Semua pertanyaan itu berkaitan dengan tugas Menina sebagai pencari binatang buruan. Panggilan tersebut sebagai tindakan Hamente yang sudah lama Bapa Hamente menanti daging hasil buruan Menina tetapi tak kunjung datang. Dalam jangka waktu tersebut, bapa Hamente mendapatkan berita bahwa Menina sebenarnya sering mendapat binatang buruan tetapi tidak dibawa kepadanya. Menina menghabiskan hasil buruannya untuk dirinya sendiri. Informasi tersebut membangkitkan kemarahan Hamente.
Bapa Hamente merasa tidak dihargai sehingga walaupun dia telah mendengarkan semua keterangan Menina tetapi tidak menghilangkan amarah Hamente yang sudah terlanjut membara. Justru Hamente membuat strategi baru untuk membunuh Menina. Pada hal Menina sudah memberikan keterangan dengan jujur bahwa dia tidak pergi berburu selama waktu itu karena sakit. Keterangan yang sangat jujur dan polos dari seorang yang sederhana, berbicara apa adanya, ternyata tidak memberikan kepuasan bagi sang penguasa yang rakus.
Setelah mendengarkan semua keterangan itu, Hamente menyuruh Menina kembali ke kampungnya, tetapi bersamaan dengan itu, Hamente menyuruh bawahannya untuk mengikuti dan menangkap Menina secara sembunyi-sembunyi untuk dibunuh. Utusan penguasa itu membawa Menina pada tengah malam ke longka (lubang) yang ada di tengah hutan golo (gunung) Munga. Mereka melakukan itu supaya tidak diketahui oleh banyak orang. Mereka mengikat tangan dan kaki Menina lalu ditarik menuju longka (lubang).
Najar dari bapa Menina
Menina tidak berdaya di hadapan kekuatan para penguasa. Dia hanya bisa berharap kepada penguasa yang hatinya sudah terbakar dengan kebencian. Berharap sang penguasa tersentuh hatinya dengan kepasrahannya. Namun harapan itu hanya meninggalkan harapan yang tak berkesudahan.
Pada detik-detik terakhir, sebelum maut yang sudah direncanakan balada Hamente, Menina memohon kepada mereka untuk membebaskannya.
“Ampong tuang, maram latang nang acu agu ela dite tai,” (Ampun tuan, biar saya akan menjadi budak kalian, menjadi orang yang bertugas memberi makan untuk anjing dan babi kalian), mohon Menina dengan bersujud di depan mereka.
Namun ketaatan pasukan eskekusi pada bapa Hamente meneguhkan dan memberanikan mereka untuk tetap mengeksekusi mati Menina. Mereka hanya taat melakukan apa yang diperintahkan bapa Hamente.
“Ami toe butuh hau,” (Kami tidak membutuhkan kamu), jawab mereka dengan kasar.
Setelah itu mereka melemparkan dia ke dalam lubang tersebut dan hidup Menina pun berakhir di lubang tersebut. kematian Menina menjadi tanda kekejaman penguasa yang gila pada kekuasaan dan tidak peduli pada kemanusiaan.
Kematiannya juga memberikan nama bagi lubang tersebut hingga menjadi longka (lubang) Menina. Nama ini terus dikenang hingga saat ini dan walaupun Menina sudah mati puluhan tahun yang lalu tetapi namanya masih hidup hingga saat ini. Longka (lubang) tersebut telah menjadi saksi bisu penderitaan dan kematian Menina.
Menina pergi dan meninggalkan cerita tentang kejamnya manusia yang rakus dan tamak pada keegoisan dirinya sehingga lupa pada orang lain, yang sebenarnya memiliki harkat dan martabat yang sama seperti dirinya.
Akankah masih ada Menina-Menina lain yang ditindas oleh penguasa lalim dan kita membiarkan begitu saja, tanpa berani melawan karena takut disingkirkan dari jabatan kita. Atau kita juga bersekongkol bersama para penguasa untuk menindas yang lemah dan tak berdaya?
Lalu dimanakah kemanusiaan kita?
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment