Humaniora
Refleksi
Teologi
Krisis dan Kritis tentang Allah; Siapakah Allah itu?
Tuesday, November 26, 2019
0
Foto dari www.pixabay.com |
Oleh : Albertus Dino
Quote Amor - Banyak orang yang mempersoalkan konsep tentang Allah. Orang mencari dan mempertanyakan eksistensi Allah. Siapakah Allah itu? Realita apa yang menunjukkan pada Allah itu? kemudian Bagaimana realita yang bersangkutan dapat dihubungkan dengan manusia?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hadir di tengah krisis iman umat manusia. Orang berusaha memahami konsep Allah dengan berbagai macam perspektif, dihubungkan dengan realita kehidupan nyata setiap hari. Bahkan orang bersikap skeptis akan kebenaran yang diwartakan agama, artinya bahwa orang mempertanyakan eksistensi Allah dalam pengalaman nyata.
Dalam tulisannya, Joseph Ratzinger mengulas persoalan di atas karena kenyataan hidup manusia pada zaman ini berada pada situasi krisis iman. Krisis tersebut dilatarbelakangi pada pertanyaan akan kebenaran. Sebab konsep tentang kebenaran melahirkan suatu sikap yang mempertanyakan eksistensi Allah dalam kehidupan nyata. Atas dasar tersebut Joseph Ratzinger bertekat untuk menempatkan kembali gambaran Allah yang benar; Allah adalah kasih. Ketika orang salah menggambarkan Allah, dapat menuntun orang tersebut pada pilihan tindakan yang salah, dan menyebabkan pemahaman yang salah akan hakikat dan identitas pribadi manusia.
Subyek Allah dalam Sejarah
Dalam konteks kehidupan manusia yang terus mengalami perkembangan, muncul berbagai macam pertanyaan mengenai subyek Allah. Banyak orang yang meragukan akan konsep Allah yang dimiliki agama Kristen. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena orang menghubungkan konsep Allah yang berdasarkan kemampuan rasional saja. Di samping itu, dalam sejarah sudah ada tiga bentuk pemahaman tentang subyek Allah. Orang pada zaman ini mempertanyakan Allah dengan menggunakan tiga konsep Allah yang sudah ada dalam sejarah. Ketiga konsep itu adalah monoteisme (memahami hanya ada satu Allah), politeisme (ada banyak Allah) dan ateisme (tidak ada Tuhan).
Namun untuk menjawab pertanyaan mengenai Allah, kita mesti memahaminya dalam kerangka sejarah iman umat manusia. Artinya bahwa iman itu tidak terlepas dari sejarah, meskipun iman itu senantiasa berkaitan dengan kehidupan nyata manusia saat ini, tetapi penghayatan iman itu tidak terlepas dari masa lalu. Allah adalah Allah yang menyejarah, yang ada dan terlibat dalam kehidupan umat manusia.
Allah telah menjelmakan diri-Nya dalam pribadi Yesus Kristus sehingga Kristus merupakan gambaran Allah sekaligus gambaran utuh manusia. Itu berarti mengenal Kristus sama dengan mengenal Allah, sebab kristus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia. Pemahaman ini menjadi dasar gagasan teologi Joseph Ratzinger, pribadi Yesus tidak bisa dipisahkan dengan Pribadi Allah.
Baca juga:
- Kebahagiaan a la Fransiskus Assisi di Tengah Kemajuan Teknologi
- Belajar Menjadi Sahabat Sejati dari Daud dan Yonatan (1 Sam 18: 1-4)
- Alasan Allah Mewahyukan diri-Nya kepada Manusia
Namun pemahaman yang keliru mengenai Allah akan menggocang iman seseorang sehingga jatuh pada menghayatan iman yang salah. Van Der Leeuw, seorang ahli Jerman pernah mendefenisikan mengenai Allah di tengah ketegangan yang ada di antara orang yang mempertanyakan Allah, bahwa dalam sejarah agama, Allah Putra ada sebelum Allah Bapa, maksudnya Allah Juruselamat, Allah penebus lebih awal dari Allah pencipta.
Hal ini berkaitan dengan bagaimana orang mengenal Allah. Pengenalan akan Allah mengandaikan sudah berjumpa dengan Allah, artinya bahwa berbicara tentang Allah tidaklah mungkin tanpa pertama-tama berjumpa dengan Allah. Manusia mengenal Allah melalui peristiwa inkarnasi Yesus Kristus. Hal ini ditekankan oleh Joseph Ratzinger bahwa Kristus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia, yang masuk dalam penderitaan manusia. Oleh karena itu, memahami gambaran Allah tidak hanya dalam perasaan belaka tetapi Allah yang ada dalam sejarah.
Di samping itu, Joseph Ratzinger melihat bahwa ketiga teisme yaitu monoteisme, politeisme dan ateisme mempunyai keyakinan adanya kesatuan dan keunikan yang absolut, di mana perbedaan mereka hanya terdapat pada ide atau gagasan pada caranya di mana manusia harus berhadapan dengan yang absolut dan sebaliknya, bagaimana yang absolut bertindak padanya. Pada intinya ketiga hal itu mempunyai keyakinan akan konsep keilahian yang tertinggi. Jadi tidak sulit untuk menunjukkan bagaimana politeisme zaman purba kala berhubungan dengan metafisika ateisme tetapi juga digabungkan dengan filsafat monoteisme.
Pengenalan Eksistensi Allah dalam Pengalaman
Pada dasarnya iman seseorang bertumbuh dan berkembang dalam pengalaman akan perjumpaan dengan Allah dalam kehidupan nyata sehari-hari. Namun terkadang realita kehidupan manusia yang dinamis dapat memudarkan pandangan orang mengenai Allah, artinya bahwa Allah hanya dipahami sampai pada taraf rasional manusia saja, tidak menyentuh pada campur tangan Tuhan dalam setiap pencapaian manusia.
Hal tersebut merupakan gambaran umum konteks kehidupan umat manusia pada saat ini, di mana orang memandang segala sesuatu yang ada di dunia sebagai hasil perjuangan manusia belaka, bukan suatu Rahmat yang datang dari Allah. Banyak orang yang sibuk dan tenggelam dalam aktivitas, karya, dan kekuasaan. Situasi-situasi itu mengantar orang pada pertanyaan-pertanyaan akan eksistensi Allah. Di satu sisi pertanyaan akan eksistensi Allah membuat orang semakin beriman, namun di sisi lain pertanyaan terkadang muncul karena keraguan akan kehadiran Tuhan dalam pengalaman (khususnya pengalaman kesulitan hidup).
Disinilah terjadinya krisis iman. Orang mencari Tuhan dan mempertanyakan eksistensi-Nya dalam peristiwa kehidupan yang dialami manusia. Krisis iman itu terjadi karena orang salah memahami Allah dan relasi dengan Allah tidak dibangun dengan baik. Orang akan jatuh pada pemahaman yang keliru mengenai Allah. Menurut Joseph Ratzinger bahwa keberadaan Allah ada di dalam diri-Nya sendiri, namun juga keberadaan yang ada untuk yang ada di luar diri-Nya.
Pernyataan ini maksudnya adalah kasih Allah itu senantiasa tercurah, dan rahmat-Nya senantiasa terlimpah dalam kehidupan umat manusia (pengalaman manusia) dan yang dibutuhkan dari manusia adalah keterbukaan dalam menanggapi peristiwa itu sebagai penyelenggara Allah. Lebih lanjut Beliau menegaskan bahwa gambaran yang salah mengenai Allah akan mudah menggoncang iman dan juga membangun pemahaman serta penghayatan yang kurang tepat dalam beriman.
Di samping itu, orang juga tidak bisa membangun gambaran yang utuh mengenai diri dan hidupnya sehingga bersikap ekstim dalam membuktikan keberadaan Allah melalui eksperimen laboratorium atau diukur dengan kategori matematis. Tindakan seperti ini membuat iman akan Allah menjadi semakin memudar. Kenyataan ini merupakan ketidakseimbangan gambaran akan pribadi manusia dan eksistensi dirinya, sebab krisis manusia adalah krisis gambaran akan Allah (krisis iman) dan krisis iman membawa orang pada krisis akan kebenaran.
Namun sampai pada tahap ini, Joseph Ratzinger menjelaskan lebih jauh mengenai bagaimana manusia menemukan Tuhan dalam pengalaman. Oleh karena itu, Joseph Ratzinger menyatakan bahwa pengalaman eksistensi manusia akan keterbatasannya menjadi jelas bahwa Tuhan hadir dalam pengalaman hidup manusia. Bonhoeffer berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Joseph Ratzinger, bahwa seringkali kita membutuhkan Tuhan hanya pada saat-saat diri kita berada di ujung batas kemampuan. Kita membutuhkan Tuhan hanya untuk mengisi kekosongan di saat kita mengalami keterbatasan. Menurutnya, kita mesti selalu mencari Tuhan dalam situasi apapun, baik di saat kita mengalami penderitaan maupun pada saat mengalami kepenuhan hidup.
Hal itu menyadari manusia bahwa keberadaannya sebagai manusia merupakan suatu eksistensi di mana manusia wajib bersyukur. Tindakan bersyukur ini merupakan suatu kesadaran bahwa kepandaian dan kebesaran itu bukan sesuatu yang diperoleh begitu saja, melainkan suatu anugerah yang diberikan kepada kita, diterima dengan segala kebaikan sebelum kita melakukan sesuatu, dan dengan demikian menuntut kita untuk memberi makna dari kekayaan tersebut dan dengan demikian juga kita menerima makna. Di sisi lain, kemiskinan manusia juga menjadi petunjuk bagi “semua yang lain”, maksudnya adalah keterbatasan itu menyadarkan manusia untuk percaya pada penyelenggaraan Tuhan dengan keluar dari diri dan berpindah menuju semua “Yang lain” dan terhadap yang transenden.
Kesepian dan Kenyamanan
Menurut Joseph Ratzinger, kesepian adalah suatu hal yang menjadi dasar di mana manusia dapat bertemu dengan Tuhan yang telah bangkit. Dalam kesepian, manusia dapat melihat seluruh dirinya. Sebab ketika manusia mengalami kesepian, pada saat yang sama, dia juga mengalami bagaimana keseluruhan eksistensinya merupakan ratapan terhadap “Engkau” dan bagaimana dia beradaptasi dengan siapa dirinya yang menjadi “Aku” dalam dirinya.
Kesepian itu dapat terlihat jelas pada manusia dalam berbagai level, misalnya kesepian itu dikonfrontasikan dengan penemuan kemanusiaan “Engkau”. Tetapi kemudian ada paradoksnya, seperti yang dikatakan Claudel bahwa setiap “Engkau” yang ditemukan orang, pada akhirnya berubah menjadi janji yang tidak terpenuhi dan tidak ditepati; bahwa setiap “Engkau” berada dibawa kekecewaan yang lain dan dari sana muncul keterbatasan ketika perjumpaan tidak mengatasi kesepian itu.
Proses menemukan dan ditemukan selanjutnya menjadi sebuah petunjuk untuk kembali kepada kesepian, suatu panggilan kepada keabsolutan “Engkau” yang merendahkan diri ke dalam “keakuan” yang terdalam. Namun tetap menjadi suatu kebenaran bahwa hal itu tidak hanya melahirkan kesunyian, pengalaman bahwa ketiadaan komunitas memenuhi pencarian kita yang mengarahkan kepada pengalaman akan Allah; hal itu juga bisa berlanjut sebagai suatu peralihan dari kenyamanan yang membahagiakan. Kepenuhan akan cinta dapat membuat seseorang mengalami karunia yang juga menyadarkannya bahwa dalam keadaan tersebut dia mendapatkan yang lain. Kecemerlangan dan kebahagiaan yang dikombinasikan dalam suatu ikatan dapat mengarahkan orang pada kedekatan dengan kebahagiaan yang absolut.
Pengakuan Iman Akan Satu Allah
Credo merupakan pengakuan iman kristen yang berpusat pada pribadi kristus. Kata-kata dalam syahadat itu adalah aku percaya akan Allah Bapa yang Mahakuasa, Pencipta. Dalam pernyataan ini umat kristen mengakui iman mereka akan iman para rasul yang terjadi 2000 tahun yang lalu. Pengakuan iman kita akan satu Allah menunjukkan pada penolakan akan allah-allah yang lain. Tindakan penolakan itu merupakan sebuah keputusan yang esensial dengan berpusat pada iman yang kuat kepada pribadi Kristus. Hal ini dapat diwujudkan dalam penolakan terhadap para dewa dan kekuatan-kekuatan politik.
Beriman kepada Kristus mengandung sebuah keputusan yang mempunyai konsekuensi. Artinya bahwa pilihan pada suatu keputusan berarti menolak segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai yang ada dalam pilihan itu. Joseph Ratzinger menggarisbawahi syahadat kita yang mengimani pada satu Allah dan mempuyai konsekeunsi pada sikap untuk meninggalkan allah-allah yang lain. Menurutnya, syahadat itu harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks penghayatan iman yang tidak menyembah pada dewa-dewa maupun pada kekuasaan politik. Oleh karena itu, beriman pada satu Allah berarti menghayati syahadat dengan selalu berkata tidak pada politeisme.
Tanggapan Kritis
Iman adalah dasar keberadaan hidup manusia. Iman membawa orang pada kedalaman jati dirinya sebagai citra Allah. Iman itu bertumbuh dan berkembang karena relasi dengan Allah yang semakin dalam, di mana manusia mengalami Allah dalam setiap peristiwa hidup sehari-hari. Proses pengenalan akan Allah menjadi sangat penting untuk memperdalam iman dan juga menghayati hidup berdasarkan iman itu, karena tidak mengenal Tuhan dalam beriman sama halnya percaya kepada yang sia-sia.
Joseph Ratzinger dalam tulisannya, menekankan dimensi pengenalan akan Allah yang benar dan menyadari kehadiran Allah dalam pengalaman hidup. Hal tersebut membuat orang mampu menggambarkan Allah secara benar sehingga penghayatan imannya juga semakin dekat dengan Tuhan. Namun di sisi lain, Joseph Ratzinger mengkritisi sikap orang yang menggunakan paham relativisme; mengambil semua tetapi tidak mengakui adanya sesuatu yang mutlak dan absolut. Relativisme itu digunakan untuk mengatasi perbedaan dan untuk memahami kebenaran. Akibatnya adalah bukan upaya untuk mengali kebenaran lebih dalam yang terjadi, tetapi merelatifkan kebenaran dalam sikap kompromi.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, Krispurwana. Benediktus XVI. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Dister, Nico Syukur. Penghantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Maulana, Riki. “Pengantar dan Metode Teologi.” Bahan kuliah pengantar teologi tingkat I STF Driyarkara, agustus-oktober, 2014.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment