Puisi
Sastra
Seekor burung kembali mencicit seorang diri
Entah siapa yang sedang dicarinya.
Matanya menerawang kemana-mana.
Seketika ia mengintip keheningan dalam kapel tua itu
Mungkin siklus sepi sedang menikamnya
Hingga dia kembali mendekatkan diri pada kapel tua itu
Suaranya tak pernah dengar selama satu bulan yang telah lewat
Dia pergi entah kemana.
Aku ingat betul,
Pada jam dan hari yang sama pada bulan purnama
Dia berdiri rapuh di dahan yang sama.
Pandangannya mengungkapkan ketakutan akan kehilangan.
Mungkin dia berharap keheningan kapel itu akan memahami bahasanya
Dan mengabulkan permohonannya?
Atau mungkin keheningan kapel itu menjadi pelabuhan hatinya
Untuk menghilangkan sesak dada yang meronta-ronta pada jiwanya.
Ya, biarkan kapel tua itu mengajarinya
tentang berpasrah pada cinta untuk tetap tenang
menghadapi setiap gelombang.***
Ragu Berpacu Bersama Waktu
setiap saat kau nyalakan lentera pada kamarnya,
katamu, biarkan lentera itu menerangi siang dan malam dunianya
agar harapannya yang tinggal di balik wajahnya, tetap terjaga.
Pagi itu, satu goresan muncul lagi pada wajahnya
goresan itu adalah waktu yang akan membawanya
Pada bayangan yang jatuh dalam kenangan.
Mungkinkah kenangan itu akan terus memacuh harapannya?
Atau malah sebaliknya, melenyapkan wajah yang tergores waktu?
Ya, lentera memang akan terus kau pasang
Tapi sang waktu akan menghabiskan ragamu
hingga ragu terus merajut sampai lentera tak berdaya kehabisan daya
lalu, dengan apakah dia bisa terus bernyala?
Biarkan semuanya kembali kepada sang waktu
Yang mempelajari keraguanmu
hingga kamu tahu arti sebuah persinggahan.***
Albertus Dino
Cinta di Kapel Tua
Thursday, November 28, 2019
0
Cinta di Kapel Tua (foto dari pixabay.com) |
Entah siapa yang sedang dicarinya.
Matanya menerawang kemana-mana.
Seketika ia mengintip keheningan dalam kapel tua itu
Mungkin siklus sepi sedang menikamnya
Hingga dia kembali mendekatkan diri pada kapel tua itu
Suaranya tak pernah dengar selama satu bulan yang telah lewat
Dia pergi entah kemana.
Aku ingat betul,
Pada jam dan hari yang sama pada bulan purnama
Dia berdiri rapuh di dahan yang sama.
Pandangannya mengungkapkan ketakutan akan kehilangan.
Mungkin dia berharap keheningan kapel itu akan memahami bahasanya
Dan mengabulkan permohonannya?
Atau mungkin keheningan kapel itu menjadi pelabuhan hatinya
Untuk menghilangkan sesak dada yang meronta-ronta pada jiwanya.
Ya, biarkan kapel tua itu mengajarinya
tentang berpasrah pada cinta untuk tetap tenang
menghadapi setiap gelombang.***
Ragu Berpacu Bersama Waktu
setiap saat kau nyalakan lentera pada kamarnya,
katamu, biarkan lentera itu menerangi siang dan malam dunianya
agar harapannya yang tinggal di balik wajahnya, tetap terjaga.
Pagi itu, satu goresan muncul lagi pada wajahnya
goresan itu adalah waktu yang akan membawanya
Pada bayangan yang jatuh dalam kenangan.
Mungkinkah kenangan itu akan terus memacuh harapannya?
Atau malah sebaliknya, melenyapkan wajah yang tergores waktu?
Ya, lentera memang akan terus kau pasang
Tapi sang waktu akan menghabiskan ragamu
hingga ragu terus merajut sampai lentera tak berdaya kehabisan daya
lalu, dengan apakah dia bisa terus bernyala?
Biarkan semuanya kembali kepada sang waktu
Yang mempelajari keraguanmu
hingga kamu tahu arti sebuah persinggahan.***
Albertus Dino
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment