Lifestyle
Refleksi
Teologi
Quote Amor - Kitab Ayub merupakan gambaran mengenai seorang manusia yang menjalankan hidupnya dengan baik, saleh dan suci tetapi ditimpah oleh berbagai macam penderitaan dan persoalan hidup. Kisah Ayub menampilkan suatu pandangan baru mengenai kehidupan manusia bahwa penderitaan tidak selalu dikonotasikan dengan orang yang berbuat jahat tetapi kisah Ayub menampilkan sisi positif dari penderitaan bahwa penderitaan merupakan bagian dari pembentukan diri untuk semakin kuat dan tegar menghadapi persoalan hidup.
Dengan keterbukaan dan penyerahan diri kepada Tuhan maka penderitaan tersebut bisa mengubah diri seseorang menjadi lebih baik, mampu mengenal diri secara utuh dan semakin dekat dengan Tuhan bahwa Tuhan itu Mahakuasa.
Kesembuhan Batin setelah Penderitaan Berat (Kisah Ayub)
Thursday, October 17, 2019
0
Ilustrasi Penderitaan Ayub |
Dengan keterbukaan dan penyerahan diri kepada Tuhan maka penderitaan tersebut bisa mengubah diri seseorang menjadi lebih baik, mampu mengenal diri secara utuh dan semakin dekat dengan Tuhan bahwa Tuhan itu Mahakuasa.
Dalam tulisan ini, saya mencoba membahas kitab Ayub 42:1-6 yang berkisah tentang pengalaman pribadi Ayub berjumpa denga Tuhan Allah. Dalam perjumpaan itu, Ayub mampu mengenal Allah secara pribadi dan membuat dia menyesali segala perkataan dan perbuatannya kepada Allah. Karena pada awalnya Ayub hanya mengenal Tuhan Allah dari orang lain tetapi sekarang dia berjumpa secara pribadi dengan Tuhan Allah dan perjumpaan itu dapat menyembuhkan dirinya dari segala prasangkanya tentang tuhan Allah.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya akan menganalisis teks Ayub 42:1-6 dengan analisis retorik untuk melihat keterkaitan dialog Ayub dalam perjumpaan dengan Allah membuat Ayub menjadi bertobat dan kemudian menafsirkannya. Pertobatan yang dimaksud adalah perubahan cara berpikir Ayub tentang Tuhan Allah.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya akan menganalisis teks Ayub 42:1-6 dengan analisis retorik untuk melihat keterkaitan dialog Ayub dalam perjumpaan dengan Allah membuat Ayub menjadi bertobat dan kemudian menafsirkannya. Pertobatan yang dimaksud adalah perubahan cara berpikir Ayub tentang Tuhan Allah.
Analisis teks Ayub : 42:1-6
1Maka jawab Ayub kepada TUHAN:
2"Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu,
dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.
|
3Firman-Mu:
Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan?
…………………………………………………………………..
Itulah sebabnya, tanpa pengertian
aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku
dan yang tidak kuketahui.
|
4Firman-Mu:
Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman;
Aku akan menanyai engkau,
supaya engkau memberitahu Aku.
…………………………………………………………………………..
5Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau,
tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
|
6Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku
dan dengan menyesal
aku duduk dalam debu dan abu."
|
Komposisi Tafsiran
Dalam komposisi di atas, saya membagi menjadi empat bagian yang disusun secara konsentrik. Bagian pertama ayat 1-2 dan bagian ketiga ayat 6 disusun secara pararel dan keduanya menjadi pengikat yang mengapiti ayat 3-5 yang menjadi konsentriknya. Bagian konsentriknya (ayat 3- 5) juga disusun secara pararel karena pada ayat 3 nampaknya seperti dialog antara Allah dengan Ayub. Allah yang bertanya dan Ayub menjawab, begitu juga pada ayat 4 dan 5. Selain itu juga kata “firman-Mu” pada ayat 3 dipararelkan dengan kata “firman-Mu” pada ayat 4.
Bagian pertama (ayat 1-2) merupakan penegasan dan pengakuan Ayub mengenai kemahakuasaan Allah bahwa Allah dapat melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana yang gagal bagi Allah. Ungkapan ini menjadi pembuka bagi dialog antara Allah dan Ayub pada ayat 3-5 dan kemudian diakhiri atau ditutupi oleh ungkapan kesadaran dan penyesalan Ayub karena dia telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib baginya dan yang tidak diketahuinya pada ayat 3b sehingga dia mencabut perkataannya dan dengan menyesal duduk dalam debu dan abu (ayat 6).
Di bagian pertama juga dibuka oleh kata-kata Ayub, “Aku tahu” yang dipararelkan dengan ungkapan “oleh karena itu” pada bagian ketiga. Pemberian warna dan bantuk huruf juga mau menunjukkan hubungan pararel dan konsentriknya. Bagian pertama Ayub mengungkapkan kemahakuasaan Allah. ungkapan ini merupakan sebuah pujian kepada Allah yang hidup serta persetujuan penuh kepercayaan kepada maksud-maksud Allah yang bijaksana. Dalam ayat 3a dan ayat 4, Ayub mengutip kata-kata Allah (bdk. 38:2, 3b; 40:2) dengan mengarahkannya pada dirinya dan kemudian memberikan tanggapan. Ungkapan Ayub pada ayat 3b, “aku telan bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku.”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa manusia yang terbatas tidak bisa bertindak sebagai penentu akhir sebab di dalam Allah dan jalan-jalan-Nya terdapat rahasia yang tidak bisa diselami manusia. Ungkapan tersebut dipararelkan dengan ungkapan Ayub pada ayat 5, dimana Ayub menyadari bahwa sebelumnya dia memahami Allah berdasarkan apa yang didengarnya dari orang lain, “hanya dari kata orang saja saya mendengar tentang Engkau” dan sekarang baru dia sadar ketika dia sendiri yang memandang Tuhan Allah, “tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau (ay. 5b).
Ungkapan “mataku sendiri memandang Engkau” yang dimaksudkan bukannya bahwa Ayub benar-benar melihat Allah, bdk Kel 33:20. Yang dimaksud Ayub adalah suatu pemahaman baru tentang Allah. Ayub dahulu hanya mempunyai pandangan terhadap Allah sebagaimana yang diterimanya dari tradisi. Tetapi berkat pengalamannya serta keterangan Allah, ia sekarang merasakan rahasia Tuhan lalu menyerah dan tunduk kepada kemahakuasaan-Nya. Ayub menjadi sadar bahwa Allah tidak perlu memberikan pertanggungjawaban.
Hikmat Tuhan dapat memberikan makna yang tidak tersangka kepada kenyataan akan penderitaan dan kematian. Selain itu juga dapat dikatakan bahwa Ayub mungkin telah melangkahi batasnya dalam mencari pengertian tetapi penderitaannya bukanlah akibat dosa. Ungkapan kata menyesal dalam bahasa Ibrani bukan pertama-tama diartikan sebagai mengakui dosa melainkan mengubah pikiran (lih Kej 6:6). Debu dan abu menunjukkan kepada kesadaran baru Ayub mengenai keterbatasannya sebagai pencipta.
Dengan demikian, melalui terang yang baru ini Ayub menemukan kembali jalan hikmat. Pengalaman itu kemudian membuat Ayub menarik kembali kata-katanya dan menyesali dirinya, “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu (ay. 6). Pengalaman tersebut memberikan pemahaman baru bagi Ayub dan dapat menyembuhkan dirinya dari segala prasangka berdasarkan apa yang didengarnya dari orang lain.
Oleh karena itu secara keseluruhan perikop ini (42:1-6) dapat dilihat bahwa sebagai pengakuan dosa Ayub karena dia sudah berbicara banyak tentang penderitaannya. Dan Pengakuan pada perikop ini menyeimbangkan keluhan Ayub pada bab. 3. Di dalamnya terdapat pengakuan akan pemberontakan penuh dosa yang diawali dengan keluhan itu. Ini bukan pengakuan dosa sebelum penderitaannya sebagaimana dikemukakan oleh para sahabatnya.
Dengan pernyataan setia tanpa syarat kepada Tuhannya mil, sebuah komitmen yang dibuat ketika ia masih menderita, dengan belum memperoleh penjelasan tentang misteri penderitaannya maupun janji untuk masa depan, Ayub membuktikan diri sebagai hamba perjanjian yang sejati, siap untuk melayani Allah tanpa pamrih. Pengakuan Ayub dengan demikian menandai keberhasilan Ayub untuk mengalahkan Iblis, pembenaran final tentang kuasa penebusan Allah.
Refleksi : Dialog yang menyembuhkan
Dari pengalaman Ayub pada perikop 42:1-6 menampilkan sikap kerendahan hati Ayub untuk mengakui dan menghormati kemahakuasaan Allah yang dapat melakukan segala sesuatu. Ayub sungguh menyadari bahwa tidak sepantasnya dia berbantah dengan Allah dan menunjukkan semua kesalehannya untuk menjadi bahan pertimbangan Tuhan atas keputusan-keputusannya. Di sini Ayub mengungkapkan keterbatasan dirinya di hadapan Allah yang Mahakuasa. Ayub bergumul dengan segala penderitaannya dan pergumulan tersebut mengubah hidupnya menjadi lebih mengenal Allah.
Baca juga :
Dalam komposisi di atas, saya membagi menjadi empat bagian yang disusun secara konsentrik. Bagian pertama ayat 1-2 dan bagian ketiga ayat 6 disusun secara pararel dan keduanya menjadi pengikat yang mengapiti ayat 3-5 yang menjadi konsentriknya. Bagian konsentriknya (ayat 3- 5) juga disusun secara pararel karena pada ayat 3 nampaknya seperti dialog antara Allah dengan Ayub. Allah yang bertanya dan Ayub menjawab, begitu juga pada ayat 4 dan 5. Selain itu juga kata “firman-Mu” pada ayat 3 dipararelkan dengan kata “firman-Mu” pada ayat 4.
Bagian pertama (ayat 1-2) merupakan penegasan dan pengakuan Ayub mengenai kemahakuasaan Allah bahwa Allah dapat melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana yang gagal bagi Allah. Ungkapan ini menjadi pembuka bagi dialog antara Allah dan Ayub pada ayat 3-5 dan kemudian diakhiri atau ditutupi oleh ungkapan kesadaran dan penyesalan Ayub karena dia telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib baginya dan yang tidak diketahuinya pada ayat 3b sehingga dia mencabut perkataannya dan dengan menyesal duduk dalam debu dan abu (ayat 6).
Di bagian pertama juga dibuka oleh kata-kata Ayub, “Aku tahu” yang dipararelkan dengan ungkapan “oleh karena itu” pada bagian ketiga. Pemberian warna dan bantuk huruf juga mau menunjukkan hubungan pararel dan konsentriknya. Bagian pertama Ayub mengungkapkan kemahakuasaan Allah. ungkapan ini merupakan sebuah pujian kepada Allah yang hidup serta persetujuan penuh kepercayaan kepada maksud-maksud Allah yang bijaksana. Dalam ayat 3a dan ayat 4, Ayub mengutip kata-kata Allah (bdk. 38:2, 3b; 40:2) dengan mengarahkannya pada dirinya dan kemudian memberikan tanggapan. Ungkapan Ayub pada ayat 3b, “aku telan bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku.”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa manusia yang terbatas tidak bisa bertindak sebagai penentu akhir sebab di dalam Allah dan jalan-jalan-Nya terdapat rahasia yang tidak bisa diselami manusia. Ungkapan tersebut dipararelkan dengan ungkapan Ayub pada ayat 5, dimana Ayub menyadari bahwa sebelumnya dia memahami Allah berdasarkan apa yang didengarnya dari orang lain, “hanya dari kata orang saja saya mendengar tentang Engkau” dan sekarang baru dia sadar ketika dia sendiri yang memandang Tuhan Allah, “tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau (ay. 5b).
Ungkapan “mataku sendiri memandang Engkau” yang dimaksudkan bukannya bahwa Ayub benar-benar melihat Allah, bdk Kel 33:20. Yang dimaksud Ayub adalah suatu pemahaman baru tentang Allah. Ayub dahulu hanya mempunyai pandangan terhadap Allah sebagaimana yang diterimanya dari tradisi. Tetapi berkat pengalamannya serta keterangan Allah, ia sekarang merasakan rahasia Tuhan lalu menyerah dan tunduk kepada kemahakuasaan-Nya. Ayub menjadi sadar bahwa Allah tidak perlu memberikan pertanggungjawaban.
Hikmat Tuhan dapat memberikan makna yang tidak tersangka kepada kenyataan akan penderitaan dan kematian. Selain itu juga dapat dikatakan bahwa Ayub mungkin telah melangkahi batasnya dalam mencari pengertian tetapi penderitaannya bukanlah akibat dosa. Ungkapan kata menyesal dalam bahasa Ibrani bukan pertama-tama diartikan sebagai mengakui dosa melainkan mengubah pikiran (lih Kej 6:6). Debu dan abu menunjukkan kepada kesadaran baru Ayub mengenai keterbatasannya sebagai pencipta.
Dengan demikian, melalui terang yang baru ini Ayub menemukan kembali jalan hikmat. Pengalaman itu kemudian membuat Ayub menarik kembali kata-katanya dan menyesali dirinya, “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu (ay. 6). Pengalaman tersebut memberikan pemahaman baru bagi Ayub dan dapat menyembuhkan dirinya dari segala prasangka berdasarkan apa yang didengarnya dari orang lain.
Oleh karena itu secara keseluruhan perikop ini (42:1-6) dapat dilihat bahwa sebagai pengakuan dosa Ayub karena dia sudah berbicara banyak tentang penderitaannya. Dan Pengakuan pada perikop ini menyeimbangkan keluhan Ayub pada bab. 3. Di dalamnya terdapat pengakuan akan pemberontakan penuh dosa yang diawali dengan keluhan itu. Ini bukan pengakuan dosa sebelum penderitaannya sebagaimana dikemukakan oleh para sahabatnya.
Dengan pernyataan setia tanpa syarat kepada Tuhannya mil, sebuah komitmen yang dibuat ketika ia masih menderita, dengan belum memperoleh penjelasan tentang misteri penderitaannya maupun janji untuk masa depan, Ayub membuktikan diri sebagai hamba perjanjian yang sejati, siap untuk melayani Allah tanpa pamrih. Pengakuan Ayub dengan demikian menandai keberhasilan Ayub untuk mengalahkan Iblis, pembenaran final tentang kuasa penebusan Allah.
Refleksi : Dialog yang menyembuhkan
Dari pengalaman Ayub pada perikop 42:1-6 menampilkan sikap kerendahan hati Ayub untuk mengakui dan menghormati kemahakuasaan Allah yang dapat melakukan segala sesuatu. Ayub sungguh menyadari bahwa tidak sepantasnya dia berbantah dengan Allah dan menunjukkan semua kesalehannya untuk menjadi bahan pertimbangan Tuhan atas keputusan-keputusannya. Di sini Ayub mengungkapkan keterbatasan dirinya di hadapan Allah yang Mahakuasa. Ayub bergumul dengan segala penderitaannya dan pergumulan tersebut mengubah hidupnya menjadi lebih mengenal Allah.
Baca juga :
- Siapa yang pantas makan bersama Yesus
- Mempertanyakan Iman sebagai dasar untuk berharap
- Misi hidup setelah kematian
Kisah Ayub ini menampilkan sisi positif dari penderitaan bahwa penderitaan atau persoalan hidup yang menimpa setiap orang bukanlah suatu hukuman atas segala perbuatan jahat melainkan suatu bagian dari kehidupan manusia yang perlu dihadapi dengan berpasrah kepada Tuhan. Ayub dengan rendah hati mengakui keterbatasan dirinya yang memahami Allah hanya dengan cara pandangnya berdasarkan apa yang diperolehnya dari tradisi.
Namun dengan keterbukaan diri untuk menerima Tuhan maka Ayub mengalami kedamaian sehingga dia mampu melihat dan memahami Allah dengan baik serta menerima dirinya dengan penuh kepasrahan kepada Allah. selain itu juga pengalaman perjumpaan itu membuat Ayub mengakui kekuatan dan rencana Allah dan mengakui bahwa hal tersebut mengatasi kemampuannya untuk memahami. Karya-karya Allah yang mengagumkan terlalu banyak baginya. Pengalaman baru ini menghantar Ayub pada pemahaman baru tentang Allah. Dan dengan kesadaran itu Ayub mencabut atau menarik kembali seluruh perkataannya dan menyesal.
Pengalaman Ayub hendaknya menyadarikan setiap umat beriman supaya tidak mudah menyerah dan putusasa dalam menghadapi persoalan hidup. Penderitaan dan persoalan hidup tidak selalu dipahami sebagai hukuman yang diberikan Tuhan karena semua orang tanpa kecuali mengalami penderitaan dan persoalan hidup. Kisah Ayub menampilkan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan yang terbatas dan dengan keterbatasan itu hendaknya manusia membuka diri untuk berpasrah kepada Tuhan.
Selain itu juga, dengan persoalan hidup atau pengalaman penderitaan, manusia akan menemukan hakikat dirinya sebagai makhluk yang terbatas dan dengan demikian dia membutuhkan kehadiran yang lain. Hal ini akan terjadi apabila manusia membuka dirinya seperti Ayub membuka dirinya untuk menerima kehadiran Tuhan. Keterbukaan diri itu mendatangkan kedamaian yang menyelamatkan. Ayub berdamai dengan Allah dan dia bisa menerima dirinya secara utuh. (A/D)
Namun dengan keterbukaan diri untuk menerima Tuhan maka Ayub mengalami kedamaian sehingga dia mampu melihat dan memahami Allah dengan baik serta menerima dirinya dengan penuh kepasrahan kepada Allah. selain itu juga pengalaman perjumpaan itu membuat Ayub mengakui kekuatan dan rencana Allah dan mengakui bahwa hal tersebut mengatasi kemampuannya untuk memahami. Karya-karya Allah yang mengagumkan terlalu banyak baginya. Pengalaman baru ini menghantar Ayub pada pemahaman baru tentang Allah. Dan dengan kesadaran itu Ayub mencabut atau menarik kembali seluruh perkataannya dan menyesal.
Pengalaman Ayub hendaknya menyadarikan setiap umat beriman supaya tidak mudah menyerah dan putusasa dalam menghadapi persoalan hidup. Penderitaan dan persoalan hidup tidak selalu dipahami sebagai hukuman yang diberikan Tuhan karena semua orang tanpa kecuali mengalami penderitaan dan persoalan hidup. Kisah Ayub menampilkan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan yang terbatas dan dengan keterbatasan itu hendaknya manusia membuka diri untuk berpasrah kepada Tuhan.
Selain itu juga, dengan persoalan hidup atau pengalaman penderitaan, manusia akan menemukan hakikat dirinya sebagai makhluk yang terbatas dan dengan demikian dia membutuhkan kehadiran yang lain. Hal ini akan terjadi apabila manusia membuka dirinya seperti Ayub membuka dirinya untuk menerima kehadiran Tuhan. Keterbukaan diri itu mendatangkan kedamaian yang menyelamatkan. Ayub berdamai dengan Allah dan dia bisa menerima dirinya secara utuh. (A/D)
Daftar Pustaka
Kitab Suci dengan pengantar dan catatan lengkap, oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Ende: Arnoldus, 2011.
Bergant, Dianne, CSA, dan Robert J. Karris, OFM. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Jakarta: Kanisius, 2002.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment