Refleksi
Renungan
Quote Amor - Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pasti akan selalu berjumpa dengan banyak orang yang memiliki cara pandang dan perilaku yang berbeda-beda. Ada orang yang baik kepada kita, menerima kita dan memahami kita tetapi di lain pihak ada juga orang yang berbuat jahat kepada kita, membuat kita kecewa atau mempersulit pekerjaan kita. Kita mungkin menghadapi pengalaman-pengalaman seperti itu dengan beragam cara dan disposisi batin yang berbeda-beda.
Kita mungkin hanya bertindak baik dan mau bergaul dengan orang yang telah berbuat baik kepada kita, yang sepaham dengan kita, dan berusaha menghindari atau tidak mau sama sekali bergaul dengan orang yang telah melakukan kejahatan kepada kita. Atau bahkan kita menyimpan dendam kepada orang seperti itu dan berusaha mencari cara untuk melakukan pembalasan.
Kebiasaan seperti inilah yang digambarkan oleh Yesus dalam injil Matius 5:43-48. Yesus mengajak kita melampaui keegoisan kita dengan mengasihi orang tanpa batas, tanpa membuat pengelompokkan. Yesus menunjukkan hal tersebut melalui sabda-Nya, dengan mengutip kitab Imamat 19: 18 yang berbicara mengenai perintah untuk mengasihi sesama manusia dan membenci musuh.
Sesama dalam logika Bangsa Israel
Ini merupakan distingsi yang dibuat orang Yahudi antara mereka sendiri dan orang yang bukan Yahudi. Yesus mengutip ayat ini untuk menunjukkan bahwa pola pikir tersebut sudah lama berkembang dalam kehidupan orang-orang Yahudi. Mereka memahami “sesama manusia” secara lebih sempit. Mereka hanya membatasi ungkapan tersebut pada sesama bangsa Israel (bdk. Im 19:18a “terhadap orang-orang sebangsamu”).
Pandangan seperti ini tersirat dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37). Perumpamaan tersebut merupakan jawaban Tuhan Yesus terhadap pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?” yang disampaikan oleh seorang ahli Taurat untuk mencobai Dia.
Logika bangsa Israel ini memperlihatkan kepada kita bahwa bangsa Israel memandang orang yang bukan sebangsa dengan mereka adalah musuh mereka yang harus dijauhi dan dibenci atau bahkan dimusnahkan. Ayat inilah kemudian diberi pemahaman baru oleh Yesus bahwa sesama yang dimaksud adalah bukan hanya terbatas pada orang yang sebangsa melainkan semua manusia, tidak peduli siapa dan bagaimana relasi orang itu dengan kita.
Dengan pemikiran semacam ini, Yesus sekali lagi mau mengajak kita untuk melampaui logika bangsa Israel bahwa mengasihi sesama berarti mengasihi semua orang, termasuk orang yang membenci atau memusuhi kita, tanpa memandang bagaimana perilakunya dan dari mana identitasnya.
Kita mungkin pernah mengalami pengalaman buruk di masa lalu dan pengalaman itu selalu mengganggu pikiran kita sampai sekarang. Kita mungkin merasa marah ketika mengingat pengalaman itu dan akhirnya sulit melupakan pengalaman itu karena kita masih menyimpan dan tidak mau memaafkan tindakan orang tersebut. Saya pernah bercerita dengan seorang bapa yang tinggal di Rumah Singgah, tempat para Frater Fransiskan berkarya melayani orang-orang miskin dan ditelantarkan.
Bapa ini lari dari rumahnya karena tidak bisa bertahan dengan perilaku istrinya yang tidak manusiawi kepadanya. Akhirnya dia tinggal di pasar Senen selama beberapa Minggu sebelum dia dihantar oleh sahabatnya ke rumah Singgah. Singkat cerita, dia sangat membenci dengan istrinya. Dia akan menjadi marah ketika ada orang yang bertanya tentang istrinya.
Pengalaman bapa ini menunjukkan kepada kita bahwa pengalaman buruk di masa lalu seringkali mengganggu kita dan membuat kita sulit melupakan dan memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Tetapi kalau kita berpikir lebih jauh bahwa ketidakmauan kita mengampuni orang yang berbuat jahat kepada kita akan membuat diri kita sendiri menjadi lebih menderita.
Mungkin orang yang berbuat jahat kepada kita sudah berubah dan tidak mengingat lagi apa yang dilakukannya kepada kita. Lalu apa yang harus kita lakukan kepada orang yang telah berbuat jahat kepada kita? apakah cukup dengan mengatakan, “saya mengampuni dan memaafkan orang yang berbuat jahat kepada saya”. Yesus menjawab pertanyaan ini melalui teladan hidupnya yang mau mengampuni dan mengasihi orang yang telah berbuat jahat kepada-Nya.
Kasih melampaui diri dan menyentuh hati sesama
Bagi Tuhan Yesus, kasih bukan hanya ada di dalam hati. Kasih itu harus berkaitan langsung dengan tindakan, bukan hanya perasaan saja melainkan tindakan konkrit yang lahir dari suatu kesadaran diri yang utuh. Oleh karena itu kasih itu harus dibuktikan secara konkrit dalam tutur kata dan tindakan kita. Mengasihi berarti mendoakan. Yang dimaksud di sini jelas bukan mendoakan supaya orang yang berbuat jahat kepada kita itu mati atau dihukum Tuhan. Yang didoakan adalah pertobatan mereka. Yang diminta adalah seperti doa Tuhan Yesus di kayu salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Tentu kita sadar bahwa mendoakan orang yang telah berbuat jahat kepada kita adalah bukan satu pekerjaan yang mudah. Hal tersebut membutuhkan keterbukaan, kejujuran dan ketulusan hati untuk menerima dan memaafkan segala kesalahannya. Karena di hadapan Allah, kita tidak bisa berdusta atau berpura-pura. Kita mungkin masih bisa bersikap munafik dengan cara berpura-pura ramah terhadap orang yang telah melakukan kejahatan kepada kita. Namun semua kemunafikan itu akan terbuka apabila kita berada dalam hadirat Allah. Di hadapan Allah tak ada yang tersembunyi, semuanya tersingkap secara transparan.
Mengasihi juga berarti berbuat baik. Doa saja tidaklah cukup. Melalui doa kita berharap agar Allah berbuat baik kepada mereka yang berbuat jahat kepada kita. Allah berharap agar kita sendiri yang melakukan kebaikan itu kepada semua orang tanpa kecuali. Allah sudah memberikan sebuah teladan kebaikan yang indah. Ia memberikan hujan dan sinar matahari kepada semua orang tanpa terkecuali. Kita pun patut mengikuti jejak-Nya.
Mengasihi juga berarti memberi salam. Memberi salam mengandung sebuah inisiatif. Bukan hanya itu. Dalam budaya Yahudi, sebuah salam sekaligus berisi ucapan berkat (bdk Mat 10:12-13). Ini bukan sekadar sapaan biasa. Ini mengandung sebuah doa kepada Allah. Jadi, dalam taraf tertentu mendoakan musuh dan memberi mereka salam memiliki sebuah kesamaan: sama-sama berharap yang baik bagi mereka.
Alasan kenapa kita harus mengasihi
Mengasihi musuh dan membuktikan kasih itu dalam bentuk tindakan-tindakan konkrit merupakan suatu hal yang juga membutuhkan rasionalitas yang harus dipertanggungjawabkan. Mungkin kita bertanya kenapa kita harus mengasihi musuh? Penginjil Matius menunjukkan jawaban Yesus atas pertanyaan tersebut dengan dua pendekatan. Yang pertama, Yesus menjawabnya secara langsung dalam bentuk pernyataan yang terdapat pada ayat 45. Dan yang kedua secara tidak langsung melalui pertanyaan yang terdapat pada ayat 46-47. Kedua jawaban Yesus tersebut menyampaikan pesan yang berbeda-beda.
Yang pertama adalah sifat Allah dan status kita sebagai anak-anak-Nya (ayat 45). Dalam kitab suci berulang kali menegaskan kebaikan Allah yang bersifat universal. Mazmur 144:9 berkata: “TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.” Sama seperti Allah yang mengasihi semua ciptaan-Nya tanpa pengecualian, kita pun diajar untuk mengasihi sesama manusia tanpa perkecualian. Kemudian status kita sebagai anak-anak Allah tidak dimaksudkan oleh Matius, seolah-olah status tersebut diperoleh melalui usaha kita dalam meneladani Dia. Bukan ini yang ingin disampaikan Tuhan Yesus. Dalam bagian sebelumnya penginjil Matius sudah menunjukkan bahwa Allah adalah Bapa orang percaya (5:16).
Kesalehan kita bukan sebagai syarat untuk menjadi anak-anak Allah, melainkan sebagai sarana supaya orang lain mengetahui status kita sebagai anak-anak Allah. Matius 5:48 menyiratkan bahwa relasi kita dengan Allah merupakan landasan kesalehan kita. Karena kita adalah anak Allah, maka kita harus bertindak seperti Bapa yang penuh kasih. Di balik konsep di atas ada perspektif budaya Semitik. Orang-orang Yahudi seringkali menggunakan ungkapan “anak-anak…” atau “keturunan…” (bdk. 3:7; 12:34; 23:33). Ungkapan-ungkapan seperti ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa secara umum seorang anak akan berperilaku seperti orang tuanya. Misalnya, kepada orang-orang Yahudi yang menolak kebenaran, Tuhan Yesus menegur mereka sebagai anak-anak Iblis, bapa segala dusta (Yoh 8:44).
Alasan kedua adalah tuntutan kesalehan sebagai orang kristiani (ayat 46-47). Dalam bagian ini Tuhan Yesus menyinggung tentang kualitas kesalehan pemungut cukai dan orang yang tidak mengenal Allah. Dua kelompok masyarakat yang seringkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang Yahudi ini juga memberikan salam kepada sesama mereka yang baik. Mereka juga pasti membina relasi yang baik dengan sesama mereka. Jika para pengikut Tuhan Yesus hanya melakukan sebatas itu, mereka tidak lebih baik daripada pemungut cukai dan orang yang tidak mengenal Allah. Karena itu Tuhan Yesus mengajak kita sebagai pengikutnya agar kita hidup menjadi sempurna sama seperti Bapa di surga sempurna adanya.
Kita sebenarnya telah mendapatkan gambaran yang jelas mengenai bagaimana kita hidup dengan sempurna sama seperti Bapa di surga. Tuhan Yesus telah menunjukkan hal tersebut melalui hidup, wafat dan kebangkitan-Nya. Dia dengan setia menyerahkan seluruh hidupnya untuk melaksanakan kehendak Allah. Kuasa dosa telah dihancurkan melalui korban Kristus yang sempurna di kayu salib.
Roh Kudus diberikan dalam hati kita, sehingga kita selalu diingatkan dan dikuatkan di dalam ketaatan. Kematian Kristus bahkan memberikan sebuah teladan sempurna tentang mengasihi musuh. Ia mengkorbankan diri-Nya bagi kita, yang sering bertindak melawan kehendak Allah, supaya kita didamaikan dengan Allah. Ia dengan penuh ketulusan mengampuni dan mendoakan orang-orang yang sudah menyiksa dan menyalibkan Dia.
Dalam kitab Ulangan, kita mendengar bahwa Allah berjanji akan setia kepada umatnya. Dengan janji itu, Allah berinisiatif mencari cara supaya kita sadar dan mau melaksanakan perintah-Nya. Dengan demikian, melalui kesetiaan Tuhan Yesus, Allah menggenapi janji-Nya dengan membangkitan Kristus dari antara orang mati. Inilah puncak cinta kasih Allah kepada kita umat-Nya. Oleh karena itu, kita diminta agar sama seperti Yesus yang setia menepati perintah Allah agar kasih Allah yang kita dapat dalam hidup kita dapat diterima dan juga bisa mengubah hidup orang lain untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah sebagai sang sumber kehidupan.
Dua alasan di atas menjadi bahan permenungan kita untuk melihat ke dalam diri kita masing-masing, apakah kita sudah melaksanakan perintah Allah untuk melampaui diri kita dengan mengasihi orang yang jahat dengan kita. Dua alasan tersebut juga menjadi pegangan kita untuk menjawab kegundaan kita dalam memahami dasar ajakkan Yesus mencintai musuh. Alasan-alasan itu tidak ditentukan oleh identitas dan sikap orang tersebut. Siapapun, kapanpun, dan bagaimanapun orangnya, kita memang harus menunjukkan kasih yang sudah kita terima dari Allah. Karena mengikuti Allah adalah jalan menuju kesempurnaan hidup.
Jalan ini memang panjang, melelahkan, dan menyakitkan. Namun, percayalah kesetiaan kita mengikuti jalan yang ditunjukkan Allah akan membawa kita kepada kemuliaan yang tak terkatakan. Oleh karena itu semoga kita tidak akan cepat menyerah untuk terus membagikan kasih Allah kepada setiap orang yang kita jumpai, walaupun kita merasa ditinggalkan Allah.
Kita hanya diminta untuk berpasrahlah kepada Allah, seperti Yesus ketika Dia merasa ditinggalkan oleh Bapa-Nya. Dia hanya bisa berpasrah kepada kehendak Bapa-Nya dan Dia melawan kehendak diri-Nya sehingga akhirnya Dia berhasil mendapatkan mahakota kemuliaan itu.
Cinta dan Benci tidak akan tersembunyi di Hadapan Tuhan
Saturday, October 12, 2019
0
Tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan sehingga setiap orang diminta bersikap seperti anak kecil |
Kita mungkin hanya bertindak baik dan mau bergaul dengan orang yang telah berbuat baik kepada kita, yang sepaham dengan kita, dan berusaha menghindari atau tidak mau sama sekali bergaul dengan orang yang telah melakukan kejahatan kepada kita. Atau bahkan kita menyimpan dendam kepada orang seperti itu dan berusaha mencari cara untuk melakukan pembalasan.
Kebiasaan seperti inilah yang digambarkan oleh Yesus dalam injil Matius 5:43-48. Yesus mengajak kita melampaui keegoisan kita dengan mengasihi orang tanpa batas, tanpa membuat pengelompokkan. Yesus menunjukkan hal tersebut melalui sabda-Nya, dengan mengutip kitab Imamat 19: 18 yang berbicara mengenai perintah untuk mengasihi sesama manusia dan membenci musuh.
Sesama dalam logika Bangsa Israel
Ini merupakan distingsi yang dibuat orang Yahudi antara mereka sendiri dan orang yang bukan Yahudi. Yesus mengutip ayat ini untuk menunjukkan bahwa pola pikir tersebut sudah lama berkembang dalam kehidupan orang-orang Yahudi. Mereka memahami “sesama manusia” secara lebih sempit. Mereka hanya membatasi ungkapan tersebut pada sesama bangsa Israel (bdk. Im 19:18a “terhadap orang-orang sebangsamu”).
Pandangan seperti ini tersirat dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37). Perumpamaan tersebut merupakan jawaban Tuhan Yesus terhadap pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?” yang disampaikan oleh seorang ahli Taurat untuk mencobai Dia.
Logika bangsa Israel ini memperlihatkan kepada kita bahwa bangsa Israel memandang orang yang bukan sebangsa dengan mereka adalah musuh mereka yang harus dijauhi dan dibenci atau bahkan dimusnahkan. Ayat inilah kemudian diberi pemahaman baru oleh Yesus bahwa sesama yang dimaksud adalah bukan hanya terbatas pada orang yang sebangsa melainkan semua manusia, tidak peduli siapa dan bagaimana relasi orang itu dengan kita.
Dengan pemikiran semacam ini, Yesus sekali lagi mau mengajak kita untuk melampaui logika bangsa Israel bahwa mengasihi sesama berarti mengasihi semua orang, termasuk orang yang membenci atau memusuhi kita, tanpa memandang bagaimana perilakunya dan dari mana identitasnya.
Kita mungkin pernah mengalami pengalaman buruk di masa lalu dan pengalaman itu selalu mengganggu pikiran kita sampai sekarang. Kita mungkin merasa marah ketika mengingat pengalaman itu dan akhirnya sulit melupakan pengalaman itu karena kita masih menyimpan dan tidak mau memaafkan tindakan orang tersebut. Saya pernah bercerita dengan seorang bapa yang tinggal di Rumah Singgah, tempat para Frater Fransiskan berkarya melayani orang-orang miskin dan ditelantarkan.
Bapa ini lari dari rumahnya karena tidak bisa bertahan dengan perilaku istrinya yang tidak manusiawi kepadanya. Akhirnya dia tinggal di pasar Senen selama beberapa Minggu sebelum dia dihantar oleh sahabatnya ke rumah Singgah. Singkat cerita, dia sangat membenci dengan istrinya. Dia akan menjadi marah ketika ada orang yang bertanya tentang istrinya.
Pengalaman bapa ini menunjukkan kepada kita bahwa pengalaman buruk di masa lalu seringkali mengganggu kita dan membuat kita sulit melupakan dan memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Tetapi kalau kita berpikir lebih jauh bahwa ketidakmauan kita mengampuni orang yang berbuat jahat kepada kita akan membuat diri kita sendiri menjadi lebih menderita.
Mungkin orang yang berbuat jahat kepada kita sudah berubah dan tidak mengingat lagi apa yang dilakukannya kepada kita. Lalu apa yang harus kita lakukan kepada orang yang telah berbuat jahat kepada kita? apakah cukup dengan mengatakan, “saya mengampuni dan memaafkan orang yang berbuat jahat kepada saya”. Yesus menjawab pertanyaan ini melalui teladan hidupnya yang mau mengampuni dan mengasihi orang yang telah berbuat jahat kepada-Nya.
Kasih melampaui diri dan menyentuh hati sesama
Bagi Tuhan Yesus, kasih bukan hanya ada di dalam hati. Kasih itu harus berkaitan langsung dengan tindakan, bukan hanya perasaan saja melainkan tindakan konkrit yang lahir dari suatu kesadaran diri yang utuh. Oleh karena itu kasih itu harus dibuktikan secara konkrit dalam tutur kata dan tindakan kita. Mengasihi berarti mendoakan. Yang dimaksud di sini jelas bukan mendoakan supaya orang yang berbuat jahat kepada kita itu mati atau dihukum Tuhan. Yang didoakan adalah pertobatan mereka. Yang diminta adalah seperti doa Tuhan Yesus di kayu salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Tentu kita sadar bahwa mendoakan orang yang telah berbuat jahat kepada kita adalah bukan satu pekerjaan yang mudah. Hal tersebut membutuhkan keterbukaan, kejujuran dan ketulusan hati untuk menerima dan memaafkan segala kesalahannya. Karena di hadapan Allah, kita tidak bisa berdusta atau berpura-pura. Kita mungkin masih bisa bersikap munafik dengan cara berpura-pura ramah terhadap orang yang telah melakukan kejahatan kepada kita. Namun semua kemunafikan itu akan terbuka apabila kita berada dalam hadirat Allah. Di hadapan Allah tak ada yang tersembunyi, semuanya tersingkap secara transparan.
Mengasihi juga berarti berbuat baik. Doa saja tidaklah cukup. Melalui doa kita berharap agar Allah berbuat baik kepada mereka yang berbuat jahat kepada kita. Allah berharap agar kita sendiri yang melakukan kebaikan itu kepada semua orang tanpa kecuali. Allah sudah memberikan sebuah teladan kebaikan yang indah. Ia memberikan hujan dan sinar matahari kepada semua orang tanpa terkecuali. Kita pun patut mengikuti jejak-Nya.
Mengasihi juga berarti memberi salam. Memberi salam mengandung sebuah inisiatif. Bukan hanya itu. Dalam budaya Yahudi, sebuah salam sekaligus berisi ucapan berkat (bdk Mat 10:12-13). Ini bukan sekadar sapaan biasa. Ini mengandung sebuah doa kepada Allah. Jadi, dalam taraf tertentu mendoakan musuh dan memberi mereka salam memiliki sebuah kesamaan: sama-sama berharap yang baik bagi mereka.
Alasan kenapa kita harus mengasihi
Mengasihi musuh dan membuktikan kasih itu dalam bentuk tindakan-tindakan konkrit merupakan suatu hal yang juga membutuhkan rasionalitas yang harus dipertanggungjawabkan. Mungkin kita bertanya kenapa kita harus mengasihi musuh? Penginjil Matius menunjukkan jawaban Yesus atas pertanyaan tersebut dengan dua pendekatan. Yang pertama, Yesus menjawabnya secara langsung dalam bentuk pernyataan yang terdapat pada ayat 45. Dan yang kedua secara tidak langsung melalui pertanyaan yang terdapat pada ayat 46-47. Kedua jawaban Yesus tersebut menyampaikan pesan yang berbeda-beda.
Yang pertama adalah sifat Allah dan status kita sebagai anak-anak-Nya (ayat 45). Dalam kitab suci berulang kali menegaskan kebaikan Allah yang bersifat universal. Mazmur 144:9 berkata: “TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.” Sama seperti Allah yang mengasihi semua ciptaan-Nya tanpa pengecualian, kita pun diajar untuk mengasihi sesama manusia tanpa perkecualian. Kemudian status kita sebagai anak-anak Allah tidak dimaksudkan oleh Matius, seolah-olah status tersebut diperoleh melalui usaha kita dalam meneladani Dia. Bukan ini yang ingin disampaikan Tuhan Yesus. Dalam bagian sebelumnya penginjil Matius sudah menunjukkan bahwa Allah adalah Bapa orang percaya (5:16).
Kesalehan kita bukan sebagai syarat untuk menjadi anak-anak Allah, melainkan sebagai sarana supaya orang lain mengetahui status kita sebagai anak-anak Allah. Matius 5:48 menyiratkan bahwa relasi kita dengan Allah merupakan landasan kesalehan kita. Karena kita adalah anak Allah, maka kita harus bertindak seperti Bapa yang penuh kasih. Di balik konsep di atas ada perspektif budaya Semitik. Orang-orang Yahudi seringkali menggunakan ungkapan “anak-anak…” atau “keturunan…” (bdk. 3:7; 12:34; 23:33). Ungkapan-ungkapan seperti ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa secara umum seorang anak akan berperilaku seperti orang tuanya. Misalnya, kepada orang-orang Yahudi yang menolak kebenaran, Tuhan Yesus menegur mereka sebagai anak-anak Iblis, bapa segala dusta (Yoh 8:44).
Alasan kedua adalah tuntutan kesalehan sebagai orang kristiani (ayat 46-47). Dalam bagian ini Tuhan Yesus menyinggung tentang kualitas kesalehan pemungut cukai dan orang yang tidak mengenal Allah. Dua kelompok masyarakat yang seringkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang Yahudi ini juga memberikan salam kepada sesama mereka yang baik. Mereka juga pasti membina relasi yang baik dengan sesama mereka. Jika para pengikut Tuhan Yesus hanya melakukan sebatas itu, mereka tidak lebih baik daripada pemungut cukai dan orang yang tidak mengenal Allah. Karena itu Tuhan Yesus mengajak kita sebagai pengikutnya agar kita hidup menjadi sempurna sama seperti Bapa di surga sempurna adanya.
Kita sebenarnya telah mendapatkan gambaran yang jelas mengenai bagaimana kita hidup dengan sempurna sama seperti Bapa di surga. Tuhan Yesus telah menunjukkan hal tersebut melalui hidup, wafat dan kebangkitan-Nya. Dia dengan setia menyerahkan seluruh hidupnya untuk melaksanakan kehendak Allah. Kuasa dosa telah dihancurkan melalui korban Kristus yang sempurna di kayu salib.
Roh Kudus diberikan dalam hati kita, sehingga kita selalu diingatkan dan dikuatkan di dalam ketaatan. Kematian Kristus bahkan memberikan sebuah teladan sempurna tentang mengasihi musuh. Ia mengkorbankan diri-Nya bagi kita, yang sering bertindak melawan kehendak Allah, supaya kita didamaikan dengan Allah. Ia dengan penuh ketulusan mengampuni dan mendoakan orang-orang yang sudah menyiksa dan menyalibkan Dia.
Dalam kitab Ulangan, kita mendengar bahwa Allah berjanji akan setia kepada umatnya. Dengan janji itu, Allah berinisiatif mencari cara supaya kita sadar dan mau melaksanakan perintah-Nya. Dengan demikian, melalui kesetiaan Tuhan Yesus, Allah menggenapi janji-Nya dengan membangkitan Kristus dari antara orang mati. Inilah puncak cinta kasih Allah kepada kita umat-Nya. Oleh karena itu, kita diminta agar sama seperti Yesus yang setia menepati perintah Allah agar kasih Allah yang kita dapat dalam hidup kita dapat diterima dan juga bisa mengubah hidup orang lain untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah sebagai sang sumber kehidupan.
Dua alasan di atas menjadi bahan permenungan kita untuk melihat ke dalam diri kita masing-masing, apakah kita sudah melaksanakan perintah Allah untuk melampaui diri kita dengan mengasihi orang yang jahat dengan kita. Dua alasan tersebut juga menjadi pegangan kita untuk menjawab kegundaan kita dalam memahami dasar ajakkan Yesus mencintai musuh. Alasan-alasan itu tidak ditentukan oleh identitas dan sikap orang tersebut. Siapapun, kapanpun, dan bagaimanapun orangnya, kita memang harus menunjukkan kasih yang sudah kita terima dari Allah. Karena mengikuti Allah adalah jalan menuju kesempurnaan hidup.
Jalan ini memang panjang, melelahkan, dan menyakitkan. Namun, percayalah kesetiaan kita mengikuti jalan yang ditunjukkan Allah akan membawa kita kepada kemuliaan yang tak terkatakan. Oleh karena itu semoga kita tidak akan cepat menyerah untuk terus membagikan kasih Allah kepada setiap orang yang kita jumpai, walaupun kita merasa ditinggalkan Allah.
Kita hanya diminta untuk berpasrahlah kepada Allah, seperti Yesus ketika Dia merasa ditinggalkan oleh Bapa-Nya. Dia hanya bisa berpasrah kepada kehendak Bapa-Nya dan Dia melawan kehendak diri-Nya sehingga akhirnya Dia berhasil mendapatkan mahakota kemuliaan itu.
Oleh Albertus Dino
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment