Berita
Festival
Lain-lain
Sastra
Festival JILF: Forum mempertemukan Karya dan penulis dari Negeri Selatan
Wednesday, August 21, 2019
0
Pembukaan Jakarta International Literary Festival di TIM, Selasa Malam (20/8). (foto dari dok. Kemendikbud) |
Quote Amor - Sastra merupakan hasil dari peradaban yang tidak bisa dibatasi dengan sekat daerah atau teritorial suatu negara. Hal tersebut ditegaskan oleh Sri Hartini, Sekretaris Direktorat Jendral Kebudayaan (Sesditjen) dalam pembukaan Jakarta International Literary Festival (JILF) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada Selasa malam (20/8).
"Karya sastra tidak hanya menjadi milik negara atau entitas dimana karya sastra itu dilahirkan," tegasnya seperti dikutip dari republika.co.id.
Lebih lanjut Sri mengatakan bahwa sastra adalah milik masyarakat umum, khususnya dalam era globalisasi saat ini. Sastra sebagai salah satu sarana untuk mengangkat nilai kebudayaan sehingga bisa mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia. Menurut, Sri, JILF telah menunjukkan bagaimana karya sastra dapat berinteraksi dengan kehidupan gelobal.
"Saya yakin JILF didedikasikan untuk perkembangan dan kemajuan kita di bidang sastra dan bidang kebudayaan pada umumnya," katanya lagi.
Dalam Festival pembukaan ini, Panitia JILF 2019 mengundang 55 penulis, 26 penerbit, dan 21 komunitas sastra. Mereka datang dari berbagai negara seperti Afrika Selatan, Botswana, Filipina, India, Inggris, Jerman, Malaysia, Mauritius, Palestina, Singapura, Somalia, Turki, Thailand dan Siprus.
Festival ini akan dilaksanakan selama 5 hari dengan berbagai macam kegiatan seperti pasar buku, pameran, seminar, mendongeng, dan simposium.
Dan juga dalam kata pembuka, Yusi Avianto, Direktur Festival JILF menyebutkan tujuan dari festival ini adalah menitik pada pembacaan sastra dari antarnegara Selatan. Festival ini memberikan kesempatan untuk saling mengenal antara karya dan penulis di wilayah ini.
"Saya harap ke depan kita bisa memproduksi sesuatu yang menarik, original, memprovokasi pemikiran dan bisa dibagi," tegas Yusri seperti dikutip dari tirto.id.
Festival yang baru pertama kali diselenggarakan di Indonesia ini mengangkat tema "Pagar" sebagai tema sentral untuk mencerminkan batasan-batasan dunia yang semakin melebur.
Oleh Albertus Dino
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment