Bahasa Indonesia
Headline
Lifestyle
Efektivitas Penggunaan Bahasa Indonesia Di Biara Duns Scotus
Monday, November 7, 2016
1
![]() |
Ilustrasi tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar |
Abstrak
Bahasa Indonesia mempunyai peran yang sangat sentral untuk menyatukan kehidupan bersama di Biara Duns Scotus. Hal tersebut berdasarkan latar belakang budaya dari anggota komunitas Biara Duns Scotus. Dalam keragaman itu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa persatuan untuk menunjang seluruh kegiatan bersama dalam komunitas. Namun, ada beberapa hambatan dalam membangun keefektifan penggunaan bahasa Indonesia, yaitu penggunaan bahasa Daerah, penggunaan akronim yang tidak benar, dan kesantunan berbahasa. Oleh karena itu, keefektifan penggunaan bahasa Indonesia merupakan pilihan untuk meningkatkan kehidupan bersama yang rukun dan damai. Pilihan tersebut merupakan salah satu upaya untuk menghindari pemakaian bahasa daerah, dan menghindarkan penggunaan akronim yang tidak benar.
Kata kunci: Efektivitas, Bahasa Indonesia, Persatuan, Biara Duns Scotus
Indonesia adalah negara yang mempunyai beragam bahasa daerah. Di tengah keragaman bahasa daerah itu, Indonesia memersatukan masyarakatnya dengan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Atas dasar kepedulian itu, pada tanggal 20 Oktober 1928 masyarakat Indonesia menyatukan kebhinekaan itu dengan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Hal tersebut dapat ditemukan dalam salah satu butir Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia”. Dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, hambatan komunikasi yang disebabkan perbedaan latar belakang sosial, budaya, dan bahasa daerah diharapkan dapat teratasi.
Kesatuan bahasa itu juga dapat mempermudah interaksi sosial masyarakat yang tinggal bersama di suatu tempat yang berasal dari daerah yang berbeda-beda.
Namun, usaha itu tidak selalu membawa hasil yang memuaskan karena realita umum dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini memperlihatkan bahwa masih banyak orang yang menggunakan bahasa daerah. Persoalan seperti ini seringkali terjadi dalam suatu komunitas (lingkungan) yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Misalnya dalam situasi tidak formal, orang yang berasal dari daerah yang sama akan cenderung berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerahnya, sedangkan bahasa Indonesia hanya digunakan pada saat acara formal. Kenyataan ini tampak terjadi di Biara Duns Scotus.
Anggota komunitas Biara Duns Scotus (Biara OFM) berasal dari daerah yang berbeda-beda, yaitu Manggarai, Atambua, Kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan. Manggarai (Flores) menjadi mayoritas sedangkan orang dari Atambua, Kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan menjadi minoritas.
Orang Manggarai cenderung berkomunikasi menggunakan bahasa Manggarai dalam berbagai kegiatan bersama. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan dalam kesatuan dan keutuhan hidup bersama karena orang yang berasal dari Atambua, Kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan tidak memahami secara penuh bahasa Manggarai sehingga mereka tidak terlibat dalam komunikasi dan lebih banyak berdiam diri.
Keefektifan penggunaan bahasa Indonesia yang baik selalu berkaitan dengan kesantunan dalam komunikasi, artinya bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks kehidupan bersama harus dapat menciptakan suasana komunikatif yang interaktif di anatara anggota komunitas. Namun praktisnya, anggota komunitas Biara Duns Scotus sering kali menggunakan akronim yang tidak benar dalam komunikasi seperti epen (emang penting).
Kebiasaan tersebut dapat menciptakan perselisihan di antara anggota komunitas karena ada beberapa anggota komunitas yang tidak suka dengan penggunaan akronim-akronim tersebut.
Di pihak lain, menurut orang Jawa, cara komunikasi orang Flores terkesan sangat keras dan kurang sopan. Akan tetapi menurut orang Flores sendiri cara komunikasi itu sudah sangat sopan. Perbedaan perspektif itu akan mengganggu keefektifan penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan bersama.
Persoalan ini menjadi pusat perhatian dalam mengerjakan makalah ini. Penulis merasa perihatin dengan penggunaan bahasa Indonesia di Biara Duns Scotus yang dicampurkan dengan penggunaan bahasa daerah sehingga dapat menciptakan diskomunikasi antara anggota komunitas. Penulis akan menguraikan penggunaan bahasa Indonesia di Biara Duns Scotus.
Apakah anggota komunitas Biara Duns Scotus telah menggunakan bahasa Indonesia yang baik untuk memersatukan kehidupan bersama. Pertanyaan ini menucul karena anggota komunitas Biara Duns Scotus terdiri latar belakang budaya dan bahasa daerah yang berbeda-beda. Kemudian, penulis juga akan menguraikan faktor-faktor yang menghambat keefektifan penggunaan bahasa Indonesia di komunitas Biara Duns Scotus.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penuntun dalam menyelsaikan makalah ini karena menurut penulis sendiri bahwa keefektifan penggunaan bahasa Indonesia dapat mempengaruhi relasi di antara anggota komunitas di Biara Duns Scotus (Biara OFM). Di samping itu, penulis menyelsaikan makalah ini dengan menggunakan metode pustaka, wawancara, dan penyebaran angket untuk memperoleh data.
Efektivitas Penggunaan Bahasa Indonesia Di Biara Duns Scotus
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa mempunyai kegunaan yang sangat penting untuk menunjang seluruh aktivitas kehidupan bersama karena tanpa bahasa manusia tidak dapat bersosialisai dengan orang lain, misalnya seorang atasan yang memberi perintah kepada bawahannya, sekelompok orang berdiskusi masalah tertentu, atau seseorang meminta bantuan kepada sahabatnya untuk mengerjakan tugas kuliah.
Namun, bahasa itu dapat sampai kepada mitra tutur apabila penutur dan mitra tutur mempunyai konsep dan makna yang sama pada bahasa yang digunakan dalam komunikasi. Oleh karena itu, bahasa juga merupakan suatu konvensi (kesepakatan) yang kemudian menjadi sebuah aturan yang baku sehingga bahasa itu mempunyai kesamaan makna. Misalnya, seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan Harimau. Nama tersebut merupakan pemberian berdasarkan pada kesepakatan bersama dalam suatu masyarakat.
Kesamaan makna bahasa yang digunakan dalam komunikasi akan menjadi dasar untuk meningkatkan keutuhan dan keharmonisan dalam kehidupan bersama. Bahasa Indonesia juga merupakan suatu bentuk kesadaran untuk menyatukan keanekaragaman bahasa Dareah di Nusantara.
Kesadaran itu melahirkan sebuah kesepakatan (hukum) bersama dengan menatapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa persatuan sehingga mempermudah interaksi sosial dengan orang yang berasal dari dareah lain. Aturan itu telah disepakati secara universal sehingga seseorang atau golongan tertentu tidak dapat menolak aturan-aturan tersebut.
Namun, realitanya menunjukkan bahwa orang cenderung masih menggunakan bahasa Daerah dalam kehidupan bersama yang terdiri atas anggota-anggota komunitas dari latar belakang daerah yang berbeda-beda. Di Biara Duns Scotus, anggota komunitasnya terdiri dari orang-orang yang berasal dari daerah yang berbeda-beda.
Perbedaan daerah tersebut akan menjadi pusat perhatian dalam meneliti penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari di Biara Duns Scotus. Oleh karena itu, penulis akan mendata jumlah anggota komunitas Biara Duns Scotus dan melihat bagaimana penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan bersama. Penulis membuat angket dan menggunakan wawancara untuk mendapatkan data-data tersebut.
Tabel data jumlah anggota komunitas Biara Duns Scotus dan penutur bahasa Indonesia
Daerah asal
|
Jumlah anggota
|
Penggunaan bahasa Indonesia
|
Penggunaan bahasa campuran (Indonesia dan Daerah)
|
Manggarai
|
11
|
11
|
11
|
Atambua
|
2
|
2
|
-
|
Kupang
|
1
|
1
|
-
|
Yogyakarta
|
3
|
3
|
-
|
Surabaya
|
1
|
1
|
-
|
Medan
|
2
|
2
|
-
|
Malang
|
1
|
1
|
-
|
Total
|
21
|
21
|
11
|
Data di atas menunjukkan bahwa orang Manggarai menjadi mayoritas di Biara Duns Scotus, sedangkan orang yang berasal dari Atambua, Kupang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Malang menjadi minoritas. Situasi mayoritas tersebut dapat mempengaruhi keefektifan penggunaan bahasa Indonesia.
Hal tersebut dapat melihat pada data di atas bahwa orang Manggarai cenderung menggunakan bahasa campuran (Indonesia dan Manggarai) dalam kegiatan bersama, sedangkan orang yang berasal dari Atambua, Kupang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Malang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam seluruh kegiatan sehari-hari.
Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa praktisnya orang yang menggunakan bahasa Indonesia secara intensif adalah orang yang menjadi minoritas dalam suatu komunitas, sedangkan orang yang menjadi mayoritas cenderung menggunakan bahasa campuran (daerah dan Indonesia) dalam komunikasi sehari-hari.
Orang yang berasal dari Manggarai cenderung menggunakan bahasa daerah, khususnya apabila orang Manggarai berkumpul bersama. Berdasarkan data angket tersebut juga, penulis mewawancarai beberapa orang yang berasal dari Manggarai untuk memperoleh alasan perihal penggunaan bahasa campuran tersebut.
Faris Jebada, salah satu orang yang diwawancarai penulis, mengatakan bahwa penggunaan bahasa campuran itu disebabkan karena kebiasaan, tetapi hal itu bukan berarti suatu bentuk ketidakpedulian terhadap orang yang berasal dari daerah lain.
Lebih lanjut, Fendy Marut berpendapat bahwa pada umumnya, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sehari-hari, tetapi kecenderungan menggunakan bahasa daerah hanyalah untuk memperkenalkan bahasa Manggarai kepada orang yang berasal dari daerah lain.
Dengan kesempatan itu, setiap orang dalam komunitas dapat saling belajar untuk mengenal bahasa daerah satu sama lain. Namun, menurut Fransisko Andry Hanfi Tjipto bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan bersama merupakan suatu hal yang sangat utama untuk membangun kehidupan bersama yang rukun dan damai.
Penggunaan bahasa Indonesia juga dapat menghindarkan diskomunikasi dan kecurigaan yang disebabkan ketidakpahaman pada bahasa daerah. Oleh karena itu, bahasa Indonesia mempunyai peran sentral dalam membangun kehidupan bersama.
Orang dapat berinteraksi dan mampu mengenal reaksi emosional orang lain karena pada dasarnya fungsi bahasa erat kaitannya dengan kegunaan bahasa. Kedua hal tersebut mempunyai hubungan dan keterikatan yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain.
Halliday dan Hasan menyamakan fungsi dan kegunaan bahasa dengan menyatakan bahwa menelaah fungsi bahasa berarti mengupas kegunaan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, fungsi bahasa Indonesia juga dapat diturunkan dari dasar dan motif pertumbuhan bahasa. Artinya bahwa proses pembentukan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi dan persatuan tidak terlepas dari motif yang melatarbelakang kepedulian itu.
Indonesia memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda di setiap pulau. Perbedaan itu menuntut dan memotivasi pencinta keindonesiaan untuk menyatukan perbedaan bahasa daerah itu dengan bahasa Indonesia. Kepedulian itu dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 1928 sebagai bahasa persatuan dan dalam pasal 36 UUD 1945 sebagai bahasa Nasional.
Dalam bahasa, orang dapat mengekpresikan diri dengan menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri itu adalah agar menarik perhatian orang lain dan Keinginan untuk membebaskan diri dari semua tekanan emosi.
Semua ungkapan ekspresi diri seperti perasaan, pikiran, dan segala sesuatu yang diketahui dapat dilakukan dan maknanya sampai pada orang lain apabila menggunakan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
Menurut Wardhaugh, fungsi bahasa adalah sebagai alat interaksi sosial, dalam arti menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan. Dalam hal ini, Wardhaugh mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi manusia.
Fungsi bahasa ini menunjukkan bahwa komunikasi di dalam komunitas dituntut untuk menggunakan bahasa yang dapat dipahami mitra tutur sehingga komunikasi dapat terjadi. Dalam konteks ini, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dapat digunakan untuk membangun keutuhan hidup bersama di Biara Duns Scotus.
Namun di pihak lain, cara bahasa juga berfungsi sebagai alat integrasi dan adaptasi. Artinya bahwa dalam kehidupan bersama, setiap orang dituntut untuk beradaptasi dan memahami satu sama lain dengan mengintegrasikan diri dalam kehidupan bersama. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tidak menggunakan bahasa Daerah dalam seluruh kegiatan bersama, tetapi menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam interaksi dengan orang lain.
Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik, setiap anggota di dalam komunitas juga dapat mengenal satu sama lain sehingga dapat menciptakan kehidupan komunitas yang kondusif dan sejahtera. Hal ini juga menunjukkan bahwa komunikasi akan berlangsung secara efektif apabila para pelaku komunikasi menggunakan bahasa secara efektif.
Oleh karena itu, komunikasi dalam kehidupan komunitas dapat berlangsung dengan baik apabila tidak menggunakan bahasa daerah dan tetap menggunakan bahasa Indonesia dengan baik sebagai bahasa persatuan.
Faktor-faktor yang menghambat keefektifan penggunaan bahasa Indonesia di Biara Duns Scotus.
Dalam kehidupan bersama di komunitas Biara Duns Scotus, pada umumnya bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Namun realitanya ada beberapa hambatan yang mengganggu keefektifan penggunaan bahasa Indonesia, seperti pemakaian bahasa Daerah dalam kegiatan bersama, kemantapan bahasa dan kemantapan berbahasa, dan penggunaan akronim yang tidak benar.
Hambatan-hambatan tersebut dapat mengganggu komunikasi di antara anggota komunitas karena tidak semua anggota komunitas mengetahui bahasa Daerah dari setiap anggota komunitas yang berlatar belakang berbeda-beda. Lebih jauh lagi, tingkat keefektifan bahasa Indonesia juga dapat mempengaruhi nilai-nilai kepedulian dalam membangun kehidupan bersama yang rukun dan damai. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan secara terperinci faktor-faktor tersebut.
Pemakaian bahasa Daerah
Dari seluruh jumlah anggota komunitas Biara Duns Scotus, orang Manggarai menjadi mayoritas dan orang dari Atambua, Kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan menjadi minoritas. Perbedaan jumlah itu dapat mempenggaruhi komunikasi karena seluruh orang Manggarai hampir setiap hari menggunakan bahasa Manggarai dalam kegiatan bersama.
Meskipun bahasa Manggarai itu hanya digunakan ketika orang Manggarai menyapa orang yang berasal dari Manggarai juga, tetapi semua komunikasi itu terjadi dalam kegiatan bersama. Gejala tersebut mengakibatkan pembentukan kelompok-kelompok, orang Manggarai hanya berkumpul dengan orang Manggarai, dan orang yang berasal dari Atambua, kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan yang merupakan kelompok minoritas berkumpul bersama karena mereka tidak memahami bahasa Manggarai. Situasi seperti itu dapat menciptakan diskomunikasi dan kecurigaan dari masing-masing anggota komunitas.
Menurut Ambrosius Haward, ketika diwawancarai penulis, menyatakan bahwa penggunaan bahasa daerah dapat menghambat terciptanya kehidupan komunitas yang damai dan sejahtera. Orang yang berasal dari Atambua, Kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan akan lebih memilih untuk diam karena tidak memahami apa yang sedang dibicarakan.
Sikap ini merupakan awal dari sebuah kehancuran yang membuat setiap anggota komunitas bersikap apatis terhadap orang lain. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Daerah dapat mengganggu keefektifan penggunaan bahasa Indonesia karena tidak semua anggota komunitas mengetahui bahasa daerah dari setiap anggota komunitas.
Lebih lanjut, Haward menegaskan bahwa setiap anggota komunitas mestinya mampu mengintegrasikan diri serta beradaptasi dalam situasi kehidupan komunitas. Artinya bahwa kebiasaan menggunakan bahasa daerah di dalam komunitas harus ditinggalkan dengan menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa komunikasi sehari hari. Hal tersebut dapat mempermudah komunikasi dan interaksi sosial.
Kemantapan bahasa dan kemantapan berbahasa
Anggota komunitas Biara Duns Scotus datang dari berbagai daerah yang berbeda-beda. Perbedaan latar belakang tersebut sering kali menciptakan diskomunikasi karena kecenderungan menggunakan bahasa Daerah dalam kegiatan bersama. Orang Manggarai menggunakan bahasa Manggarai dan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, sedangkan orang yang berasal dari Atambua, kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan hanya menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari.
Kebiasaan ini (menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Daerah) dapat merusak keefektifan bahasa Indonesia karena orang yang berasal dari Atambua, kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat keefektifan bahasa sebagai sarana komunikasi berkorelasi dengan tingkat kemantapan bahasa sebagai suatu sistem yang mencakupi keseluruhan pola dan kaidah-kaidah kebahasaan. Kemantapan bahasa dapat diamati berdasarkan mutu dan keterampilan dalam menggunakan bahasa secara baik. Artinya bahwa penggunaan bahasa tersebut dapat dimengerti oleh mitra tutur.
Mutu dan keterampilan bahasa ini bersifat individual tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kebiasaan dalam lingkungan (komunitas) menggunakan bahasa yang sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga dapat dipahami oleh semua anggota komunitas. Hal yang sama juga pada kemantapan bahasa Indonesia sangat ditentukan oleh kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam komunikasi sehari-hari.
Di komunitas Biara Duns Scotus, bebarapa anggota komunitas (baca: orang Manggarai) menggunakan bahasa campuran (bahasa Indonesia dan bahasa Daerah). Kebiasaan tersebut dapat mengganggu keefektifan penggunaan bahasa Indonesia karena beberapa anggota komunitas lain (orang yang berasal dari Atambua, Kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan) tidak memahami kandungan makna dari yang hendak disampaikan.
Di samping itu, kemantapan bahasa perlu dibedakan dari kemantapan berbahasa. Kemantapan bahasa berkaitan dengan kaidah-kaidah dan norma-norma, sedangkan kemantapan berbahasa berkaitan dengan para pemakai bahasa. Meskipun demikian, kedua hal tersebut berbanding sejajar sebagai sarana komunikasi. Artinya bahwa kemantapan berbahasa bertolak dari kemantapan bahasa yang digunakan dalam komunikasi.
Hal yang menjadi alat ukur adalah kemantapan sistem, keluasan khazanah perbendaharaan kata, dan tersedianya perangkat istilah untuk ranah pemakaian yang diperlukan. Kebiasaan menggunakan bahasa campuran (bahasa Indonesia dan bahasa Daerah) dapat merusak penggunaan perbendaharaan kata dalam komunikasi.
Di komunitas Biara Duns Scotus, beberapa anggota komunitasnya cenderung kurang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dalam komunikasi sehari-hari. Kebiasaan tersebut berakibat pada pola pengembangan bahasa Indonesia dalam relasi dengan orang lain dalam komunitas.
Penggunaan akronim yang tidak benar
Pada dasarnya bahasa Indonesia mempunyai pola dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam komunikasi dengan berdasarkan pada motif dan tujuannya. Dengan kaidah-kaidah itu, orang dapat menggunakan bahasa Indonesia secara struktur sehingga maknanya sampai pada tujuan, yaitu dapat dipahami oleh mitra tutur.
Namun dalam proses pengembangan bahasa Indonesia, orang seringkali menggunakan akronim-akronim yang muncul begitu saja tanpa berpedoman pada kaidah yang berlaku. Misalnya di Biara Duns Scotus, beberapa anggota komunitas menggunakan akronim-akronim yang biasa digunakan oleh anak mudah zaman sekarang dan tidak dimengerti oleh anggota komunitas yang lain, seperti kata epen (emang penting), tipen (tidak penting), masbulo (masalah buat lho), baks (rokok), wales(nyantai aja, jangan buru-buru), galebo(gak jelas), dan sebagainya.
Penggunaan akronim-akronim tersebut dapat mengganggu relasi sosial di antara anggota komunitas karena beberapa anggota komunitas (khususnya pastor-pastor tua) kurang respek terhadap penggunaan akronim-akronim tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Faris Jebada menegaskan bahwa penggunaan akronim-akronim yang berkembang saat ini sangat menghambat komunikasi karena banyak orang yang tidak mengerti.
Lebih lanjut, Faris Jebada menjelaskan bahwa Komunitas Biara Duns Scotus juga merupakan sebuah komunitas pendidikan yang semestinya membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, karena tidak semua anggota komunitas memahami kandungan makna dari setiap akronim-aronim tersebut.
Penggunaan akronim-akronim tersebut, pada saatnya nanti, akan menjadi bumerang bagi keefisienan dan keefektifan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi. Lebih jauh lagi, hal tersebut diakui olehFransisko Andry Hanfi Tjipto bahwa kebiasaan menggunakan akronim-akronim tersebut dalam kehidupan sehari-hari dapat juga mempengaruhi penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam mengerjakan tugas-tugas dari kampus.
Oleh karena itu, akronim-akronim seperti itu harus secara ketat dibatasi ruang geraknya dan juga membiasakan diri untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari hari. Kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam komunikasi sehari-hari dapat meningkatkan rasa kepedulian di antara anggota komunitas.
Kesantunan Berbahasa Dalam Kehidupan di Biara Duns Scotus
Kesantunan berbahasa merujuk kepada cara dan bentuk bahasa yang digunakan oleh seseorang dengan penuh sopan dan beradab. Kesantunan berbahasa selalu berintegrasi dengan konteks sosial seperti kebiasaan dan kebudayaa. Dalam kehidupan bersama di komunitas (baca: komunitas Biara Duns Scotus) tentunya akan selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
Proses interaksi dan komunikasi itu terjadi dalam suatu sistem dengan bersumber pada kesatuan bahasa, yaitu bahasa yang dapat dipahami oleh mitra tutur sehingga informasi atau pesan dari penutur dapat sampai kepada mitra tutur. Setiap orang mempunyai cara dalam menyampaikan pesan atau informasi itu. Hal ini sangat bergantung dari siapa mitra tuturnya (status sosial antara penutur dan mitra tutur), dalam situasi seperti apa (resmi atau tidak resmi), di mana, dan aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan saat komunikasi. Hal ini berarti kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak membuat mitra tutur merasa tersinggung atau marasa dirugikan.
Salah satu aspek yang sangat penting untuk diperhatikan ketika dua atau lebih orang berkomunikasi adalah menjaga kesopansantunan atau keharmonisan penutur dan mitra tutur. Ada sebuah ungkapan yang mengatakan “berbicara, jangan asal berbicara” merupakan sebuah ungkapan yang mengandung makna yang sangat dalam karena kegiatan komunikasi melibatkan perasaan. Sikap itu harus dijaga supaya penutur dan mitra penutur sama-sama merasa aman.
Menurut Kushartani, dalam kutipan Antinius Nesi dan Ventianus Sarwoyo, menyatakan bahwa sebuah interaksi sosial akan terjalin dengan baik apabila syarat-syarat tertentu terpenuhi. Salah satu syaratnya adalah kesadaran akan bentuk sopan santun yang dapat ditunjukkan dengan berbagai hal, seperti menghindari penggunaan bahasa tabu, penggunaan pilihan kata honorifik, dan penggunaan bentuk pronomina tertentu dalam percakapan. Di komunitas Biara Duns Scotus, beberapa anggota komunitas mempunyai pandangan yang berbeda terhadap konsep kesopanan dalam berbahasa.
Menurut orang Jawa, adalah cara orang Manggarai berbicara, kesannya kurang sopan karena suaranya sangat keras dan semacam terbawa emosi, misalnya “jangan terlalu malas, bawakan gelas ke sini!” Menurut orang Manggarai sendiri, ungkapan tersebut sudah menjadi kebiasaan cara berbicaranya. Di samping itu, dalam budaya Jawa terdapat tingkat sapaan terhadap orang yang usianya lebih tinggi, misalnya kata “kamu” hanya digunakan untuk menyapa teman sebaya, tetapi dalam budaya Manggarai kurang memeperhatika sapaan seperti itu. perbedaan perspektif dalam cara berkomunikasi sangat mengganggu keefektifan penggunaan bahasa Indonesia karena orang cenderung tidak mampu untuk beradaptasi dengan konteks kehidupan komunitas yang terdiri dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Kesantunan berbahasa juga tidak terlepas dari prinsip kesepakatan (konvensi) bahasa yang memiliki kaidah-kaidah tertentu untuk menciptakan hubungan yang saling menghargai antara anggota pemakai bahasa itu. Dasar terciptanya sopan santun berbahasa tersebut adalah sikap hormat penutur kepada mitra tutur yang terwujud dalam penggunaan bahasa. Sikap sopan santun dalam berbahasa juga mempunyai hubungan yang erat dengan fungsi bahasa sebagai sarana pemersatu. Misalnya, anggota komunitas Biara Duns Scotus dapat dipersatukan dengan bahasa Indonesia.
Namun persoalannya kembali kepada cara menyampaikan pesan atau informasi dari penutur kepada mitra tutur. Oleh karena itu, dalam kegiatan komunikasi, tidak cukup hanya memperhatikan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, tetapi juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah pemakaian bahasa Indonesia yang santun untuk menciptakan kehidupan bersama yang kondusif dan dapat meningkatkan rasa kepedulian terhadap sesama.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
Pemakaian bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari merupakan salah satu proses pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Proses tersebut perlu dilaksanakan dengan memperhatikan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Situasi komunitas Biara Duns Scotus yang heterogen menuntut pentingnya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia untuk mengingkatkan kehidupan bersama yang harmonis dan interaktif.
Pembinaan bahasa Indonesia merupakan kegiatan yang berkenan dengan usaha membudidayakan pemakaian bahasa Indonesia agar para pemakai bahasa Indonesia memiliki sikap positif yang mencakup kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, kesetiaan terhadap bahasa, dan kesadaran akan norma bahasa Indonesia.
Sehubungan dengan itu, pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus terus diusahakan untuk meningkatkan mutu pemakaian dengan menanamkan sikap positif pada setiap penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan komunikasi. Namun realitanya bahwa upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia menghadapi berbagai macam persoalan, seperti kecenderungan menggunakan bahasa daerah, kurang adanya motivasi untuk meningkatkan mutu pemakaian bahasa Indonesia.
Berdasarkan realitas tersebut, setiap orang perlu memiliki kesadaran bahwa bahasa Indonesia mempunyai fungsi untuk memersatukan kehidupan bersama dalam konteks keindonesiaan yang multi bahasa dan khususnya kehidupan komunitas Biara Duns Scotus. Kesatuan bahasa dapat menciptkan relasi sosial yang kondusif dan menghindari diskomunikasi yang membawa dampak perselisihan di antara anggota komunitas. Oleh karena itu, kefektifan penggunaan bahasa Indonesia dimulai dengan mengembangkan kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Bahasa Indonesia mempunyai peran yang sangat sentral dalam kehidupan bersama di Komunitas Biara Duns Scotus. Hal tersebut berdasarkan latar belakang kehidupan dari setiap anggota komunitas yang berbeda-beda, yaitu orang Manggarai menjadi mayoritas, sedangkan orang yang berasal dari Atambua, kupang, Malang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan menjadi minoritas. Perbedaan latar belakang itu menempatkan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi yang mempersatukan kehidupan bersama.
Penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya memerhatikan fungsinya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga perlu memerhatikan keefektifan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk memperteguh kehidupan bersama yang rukun dan damai. Keefektifan penggunaan bahasa Indonesia itu selalu berkaitan dengan kesantunan berbahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam dinamika komunikasi tersebut. Namun, ada beberapa faktor yang menghambat penggunaan bahasa Indonesia secara efektif, yaitu kecenderungan menggunakan bahasa daerah, dan pemakaian akronim yang tidak benar.
Hambatan-hambatan tersebut dapat di atas dengan memerhatikan proses pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam komunikasi sehari-hari. Upaya tersebut bermaksud menciptakan komunikasi yang kondusif di antara anggota komunitas. Oleh karena itu, meskipun realita yang menunjukkan bahwa orang Manggarai cenderung menggunakan bahasa daerah dalam kegiatan bersama, tetapi bahasa Indonesia tetap menjadi satu-satunya sarana komunikasi yang dapat memersatukan kehidupan di komunitas Biara Duns Scotus.
Oleh Albertus Dino
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. Bahasa Indonesia: Pemakai dan Pemakaiannya. Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, 2000.
Chaer, A. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009.
Halliday, Mak dan Ruqaiyah Hasan. Language, context, and text: Aspect of language
Keraf, Goris. komposisi. Ende: Nusa Indah, 2004.
Masinambow. E. K. M dan Paul Haenen. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Nesi, Antonius dan Ventianus Sarwoyo. Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur. Ende: Nusa Indah, 2012.
Previous article
Next article
Terima kasih telah memanfaatkan buku Analisis Wacana:Logis Berwacana dan Santun Bertutur. Semoga ke depan nama ditulis secara benar dalam tubuh karangan. Profisiat.
ReplyDelete